Liputan6.com, Jakarta Musim penghujan telah tiba. Intensitas hujan yang meningkat mulai terlihat. Padahal, puncak musim penghujan di DKI Jakarta diprakirakan baru terjadi pada Januari-Februari 2023.Â
Muncul ketakutan, banjir kembali menyapa.
Baca Juga
Masih teringat jelas hujan deras berjam-jam yang mengguyur Jakarta pada Selasa 31 Desember 2019 lalu. Saat sebagian warga Jakarta masih hanyut dalam perayaan pergantian tahun.
Advertisement
Mereka tak menyangka beberapa jam ke depan, di hari pertama 2020, Ibu Kota mendapat 'hadiah' istimewa.
Salah satu hujan paling ekstrem di Indonesia meneror Jakarta. Banjir datang mengiringi. Sebagian besar wilayah di Jakarta pun lumpuh dan gulita.Â
Bagaimana tidak? Curah hujan awal tahun itu merupakan salah satu hujan paling ekstrem selama pencatatan curah hujan harian yang dilakukan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sejak 1866. Curah hujan paling tinggi terjadi di wilayah Halim Perdana Kusuma.
"Dari data observasi BMKG, pada 1 Januari 2020, pernah tercatat terjadi curah hujan mencapai 377 mm di wilayah Halim Perdana Kusuma," kata Senior Forecaster BMKG, Riefda Novikarany, kepada Liputan6.com, Sabtu 10 Desember 2022.Â
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat 158 kelurahan di 38 kecamatan, dari total 44 kecamatan, terdampak. 31.232 jiwa harus mengungsi di 269 lokasi pengungsian per 1 Januari 2020. Bahkan, 8 orang meninggal dunia karena bencana itu.
Banjir akibat hujan ekstrem tersebut diperparah dengan limpasan air yang besar dari daerah hulu.Â
Belum lagi berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air, penyempitan dan pendangkalan sungai akibat sedimentasi dan sampah, rob, serta penurunan tanah, yang memperparah banjir kala itu.
Alhasil, banjir tersebut butuh waktu lama untuk surut di beberapa titik.Â
Belum 'sembuh' dari banjir awal tahun, banjir parah kembali menerjang Ibu Kota pada 24 Februari 2020. Aktivitas warga di 294 RW lumpuh. Lebih dari 3.500 jiwa mengungsi.Â
Kembali merujuk pada data BMKG, banjir besar di Jakarta yang terjadi pada 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015, selalu terkait curah hujan ekstrem.
"Melihat rekapitulasi kejadian bencana hidrometeorologi yang terjadi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, secara umum dapat dikatakan kejadian genangan/banjir yang terjadi di wilayah DKI Jakarta dipicu oleh curah hujan dengan intensitas tinggi, yang dapat mencapai intensitas lebih dari 150mm/24 jam, hujan yang terjadi dalam durasi yang cukup panjang serta kondisi lingkungan yang belum siap menerima intensitas hujan yang cukup tinggi," ungkap Riefda.
Jika melihat data BPBD DKI selama Januari-Juli 2021, rata-rata korban banjir Jakarta mencapai 470 orang. Jumlah ini lebih tinggi daripada jumlah korban banjir selama 2018 dan 2019.Â
Rata-rata jiwa yang menjadi korban banjir di DKI Jakarta selama 2018 adalah 405 orang. Pada 2019, rata-rata jumlah korban banjir adalah 75 jiwa.
Sementara, ada 9 bencana banjir/genangan pada 2018 di Jakarta Selatan, sebagai wilayah yang mengalami banjir paling banyak. 14 bencana banjir/genangan di Jakarta Selatan pada 2019. 43 bencana banjir/genangan di Jakarta Timur pada Januari-Juli 2021.
Namun, Pj Sekda Uus Kuswanto memastikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah siap menyambut musim penghujan. Hanya saja, dia enggan berkomentar banyak soal kesiapan jajarannya itu.
"Sudah, sudah. Antisipasi masing-masing SKPD juga disiapkan. Insyaallah, dinas terkait sudah mempersiapkan ya, insyaallah. Makasih ya," ujar Uus, saat ditemui di Ancol, Sabtu 10 Desember 2022.
Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono telah mengimbau masyarakat untuk terus memantau potensi cuaca ekstrem dari sumber resmi untuk mengantisipasi ancaman bencana alam, salah satunya banjir.
"Kami imbau tetap waspada dan dengan kondisi cuaca atau pun alam yang tidak bersahabat, selalu melihat informasi dari BMKG dan informasi cuaca lainnya," kata Heru di Jakarta, seperti dilansir Antara, Minggu 4 Desember 2022.
Kepala Seksi Pencegahan BPBD DKI Jakarta Rian Sarsono menjelaskan, pihaknya telah memiliki mitigasi menghadapi bencana, salah satunya banjir.
Menurut dia, menyambut musim penghujan 2022-2023 pun BPBD dan pihak terkait telah melakukan mitigasi banjir. Salah satunya menjalin komunikasi dengan lurah, sekolah, dan masyarakat.Â
"Sebenarnya sudah ya. Jadi Setiap tahun itu kita sudah melakukan komunikasi, peningkatan kapasitas, dan tahun ini kita juga sudah melakukan beberapa mitigasi dalam bentuk komunikasi kepada lurah, kemudian kepada masyarakat, kepada anak sekolah, serta dengan potensi ancaman bencana yang kemungkinan akan terjadi. Seperti kita ada kegiatan namanya sekolah madrasah aman bencana, peningkatan kapasitas bagi komunitas di lingkungan masyarakat, dan di lembaga-lembaga lembaga keagamaan masyarakat sendiri,"Â jelas Rian.
Dia juga mengatakan, jajarannya sedang melakukan penempatan jalur-jalur evakuasi di beberapa wilayah kelurahan yang rawan banjir.
Pemprov juga melakukan normalisasi sungai dan percepatan pembangunan waduk serta embung. "Kemudian melakukan beberapa pembersihan sungai-sungai oleh Dinas Lingkungan Hidup itu untuk mitigasi strukturalnya. Kalau dari BPBD sendiri kami telah melakukan beberapa pelatihan bagi masyarakat," lanjut dia.
Apalagi, menurut Rian, banjir Jakarta merupakan bencana yang bisa diprediksi. Sebab, banjir Jakarta biasanya berasal dari limpahan air di hulu (Bogor). Ketika Bendung Katulampa Siaga 1, bisa diprediksi jam berapa banjir akan sampai di Ibu Kota.
"Banjir Jakarta itu sebenarnya sudah bisa diprediksi. Banjir Jakarta itu bukan banjir bandang tapi dari Katulampa Siaga 1 itu sudah bisa kita prediksi sekitar beberapa jam sampai ke Jakarta. Jadi sebenarnya yang kita untuk dari sisi masyarakat sendiri melakukan sosialisasi kepada masyarakat, RT/RW. Kalau sudah dapat informasi dari pemerintah terkait dengan ketinggian air, maka mereka juga harus bersiap-siap apa yang harus mereka lakukan, apa yang harus mereka amankan, ke mana mereka harus evakuasi ke tempat yang lebih aman," tutur Rian.
Dia menambahkan, BPBD sudah melakukan distribusi beberapa peralatan penanganan banjir ke wilayah kelurahan maupun di tingkat wilayah kota.
Selain itu, BPBD telah memiliki petugas penanganan bencana di tiap kota. Satu petugas bertanggung jawab pada satu kelurahan.
Saat terjadi informasi peringatan dini terkait dengan potensi banjir di beberapa wilayah sungai, maka petugas ini akan menginformasikan ke kelurahan.
"Kami memiliki pusat data dan informasi kebencanaan apabila sudah terjadi Siaga 1 atau Siaga 2 di beberapa pintu air yang berpotensi banjir, maka kami melakukan peringatan dini dengan istilahnya DWS ya, Disaster Warning System. Nanti kami menginformasikan dari sentra kami di BPBD di pusat data dan informasi kebencanaan. Kemudian kita melakukan penyampaian pesan itu melalui beberapa pengeras suara yang ada di wilayah kelurahan rawan banjir," ujar Rian.
"Kemudian melalui SMS blast, kemudian kepada masyarakat bantaran yang berpotensi banjir, kemudian kita melakukan blast juga WA kepada perangkat setempat seperti lurah, camat dan wali kota soal kemungkinan potensi banjir yang terjadi akibat curah hujan yang tinggi atau kenaikan pintu air," sambung dia.Â
Â
Prakiraan Cuaca dan Hujan di DKI Jakarta pada 2023
Seperti disebutkan di atas, BMKG memprediksi puncak musim penghujan terjadi pada Januari-Februari 2023. Yang melegakan, untuk saat ini, curah hujan di DKI Jakarta belum tergolong ekstrem.
Berdasarkan data observasi BMKG pada 6-7 Desember 2022 selama 24 jam, tercatat curah hujan mencapai 107 mm di wilayah Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur.
"Dan pada data observasi terakhir tanggal 9 Desember 2022 kemarin, tercatat curah hujan tertinggi sebesar 50 mm di wilayah Pompa Arcadia Jakarta Selatan. Kondisi ini belum mencapai curah hujan intensitas ekstrem," kata Senior Forecaster BMKG Riefda Novikarany.
Sementara, selama November 2022, intensitas hujan tergolong tinggi yang disertai kilat/petir dan angin kencang. Kondisi ini menyebabkan 5 kali banjir dan gangguan transportasi.
"Dari rekapitulasi bencana hidrometeorologi yang dikumpulkan oleh BMKG melalui media massa," terangnya.
Pada puncak musim penghujan Januari-Februari mendatang, dia memprakirakan ada potensi hujan dengan intensitas cukup tinggi, frekuensi yang lebih sering dan durasi panjang.
"Untuk itu perlu di waspadai potensi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, frekuensi hujan yang lebih sering dan durasi hujan yang cukup panjang, serta beberapa wilayah dengan topografi lokal yang dominan dapat mendukung potensi pertumbuhan awan hujan yang dapat menghasilkan hujan yang terkadang disertai dengan kilat/petir dan angin kencang," kata Riefda.
Hasil riset Tim Variabilitas, Perubahan Iklim, dan Awal Musim (TVPIAM) Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun memprakirakan hal yang relatif serupa. Pada Desember 2022 hingga pertengahan Januari 2023, tidak ada potensi cuaca ekstrem.
"Jika dilihat potensinya pada bulan Januari 2023, kemungkinan akan terjadinya bukan di wilayah Barat Jawa tapi di Timur. Di Jawa Bagian Timur ini ada potensi besar karena sudah terbentuknya konvergensi cuaca di Laut Jawa, intrusi dari Samudera Hindia masuk ke Wilayahnya Jawa Timur," ujar Peneliti TVPIAM BRIN Erma Yulihastin saat dihubungi Liputan6.com, Bandung, Senin, 12 Januari 2022.
Namun, lanjut dia, hasil riset itu dapat berubah karena cuaca yang dinamis disertai dengan berbagai pra kondisi cuaca yang mendukung.
Dia menjelaskan riset prakiraan cuaca yang disebutkan tadi, dilakukan dengan menggunakan data Kajian Awal Musim Wilayah Indonesia Jangka Madya (KAMAJAYA) pada Oktober 2022.
"Nanti jika sudah diperbaharui di-update dengan November 2022, kemungkinan akan bisa berubah. Tapi dengan input yang masih Oktober kita lihat potensinya seperti itu. Jadi tidak ada potensi ekstrem yang parah di awal periode pergantian tahun," kata Erma.
Dia menegaskan kembali, kondisi cuaca ekstrem berpotensi terjadi di Jawa Bagian Timur memasuki pertengahan Januari 2023.
Sedangkan Jawa bagian Barat, kondisi cuacanya relatif aman disebabkan adanya mekanisme Monsun Asia yang disertai adanya aliran udara yang kuat dari Utara.
"Ancaman seperti itu tidak ada. Tapi ancaman yang lain itu bukan dari mekanisme monsun, namun dari pembentukan badai vortex yang kemungkinan terjadi di periode 11-20 Januari 2023. Itu ada potensi besar di situ," ucap Erma.
Potensi gangguan cuaca ekstrem di periode tersebut bahkan akan meluas di hampir seluruh Pulau Jawa.
Mekanisme gangguan cuaca itu bukan dari seruak dingin dan monsun Asia, tapi Erma menerangkan yang nanti terjadi berasal dari mekanisme sirkulasi angin yang berputar di atas Pulau Jawa.
"Saya tadi katakan bahwa ada vortex di Pulau Jawa dan Vortex Borneo di Kalimantan. Jadi ada dua badai kembar vortex yang akan terbentuk. Dengan hasil dari input Oktober 2022, tapi kalau data November 2022 sudah masuk kemungkinan bisa berubah ya," jelas Erma.
Alasannya, data input cuaca Oktober 2022 belum terjadi Badai Pakhar yang terjadi di dekat Filipina. Bibit Badai Pakhar ini kemungkinan sudah terdeteksi pada data November 2022.
Dia yakin, masuknya data cuaca November 2022, akan mengubah seluruh riset prediksi kondisi cuaca menjelang akhir dan awal tahun.
"Cuaca memang seperti itu ya. Sangat tergantung dengan input data terakhir yang digunakan," ungkap Erma.
Memasuki April 2023, kondisi cuaca berpotensi masuk fase netral. Harusnya pada fase netral ini adalah untuk pemulihan kondisi. Namun, ada hal yang harus diwaspadai.
"Yang harus benar-benar diantisipasi selain ancaman yang terdekatnya ada di Januari 2023 yaitu ada potensi terbentuknya dua sirkulasi badai, kemungkinan memicu banyak banjir. Antisipasi ke depannya yaitu di 2024 adanya pembentukan El Nino," terang Erma.
El Nino kali ini kemungkinan terjadi tidak seperti biasanya. TVPIAM BRIN meriset, El Nino mendatang akan sangat besar dan bersamaan adanya La Nina yang kuat.
La Nina telah terjadi 3 tahun terakhir di Indonesia. Itu merupakan La Nina yang berkepanjangan.
"Maka pada 2024 nanti kemungkinan kita akan mengalami strong El Nino atau El Nino yang berkepanjangan. Jadi ada dua skenario yang harus diantisipasi sejak dari sekarang. Pemerintah harus mengantisipasi musim kering berkepanjangan," tukas Erma.
Musim kering yang akan terjadi berkepanjangan ini berdampak kepada hasil persawahan, perkebunan dan komoditas yang kondisinya berkaitan dengan cuaca. Selain kondisi pengairan dan stok air bersih yang dipersiapkan.
Â
Akankah Berakhir?
Dengan kondisi seperti ini, akankah banjir Jakarta berakhir?
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan bisa saja Jakarta bebas banjir. Namun, banyak hal yang harus dikejar agar banjir tak lagi meneror DKI Jakarta.
"Iya bisa ada kemungkinan itu. Kalau lihat nggak banyak dilakukan, perubahan, ya nggak bisa. Apalagi ini kan transisi dari Anies ke Pj kan kurang fokus pada program, lebih banyak ke politiknya," kritik Trubus saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu 14 Desember 2022.
Tidak usah berbicara mimpi bebas banjir, tidak banyaknya perubahan yang dilakukan, dia menilai DKI Jakarta belum siap menghadapi puncak musim penghujan 2023. Dia menilai, program mengatasi banjir yang digulirkan di era Anies Baswedan, gagal. Sebut saja sumur resapan.
"Wah belum. Ini masih banyak yang harus dikerjakan. Titik-titik banjirnya tambah banyak, sementara program Pak Anies untuk sumur resapan juga gagal. Masalahnya itu. Kalau yang sekarang ini kan hanya melanjutkan doang. Dia enggak punya kebijakan, cuma ini sepertinya komunikasi buruk dan gagal fokus dia. Lebih ngurusin yang ndak perlu," kata Trubus.
"Jadi kalau (pengentasan) banjir belum ada. Nanti kalau sudah banjir, menggenang semua. Sodetan Kali Ciliwung baru dibuka, program naturalisasi Anies gagal, program sumur resapan gagal. Yang ada, rutinitas kan? Cuma bersihkan gorong-gorong, terus pengerukan-pengerukan doang. Itu kan rutinitas saja," jelas dia.
Dia juga mengkritisi upaya kolaborasi dengan masyarakat yang belum optimal dan masih lemah. Sebut saja soal penggerakan RT/RW, tokoh-tokoh masyarakat di setiap kampung dan kompleks.
"Ini kan kesiapsiagaan, misalnya kalau terjadi banjir harus apa, bagaimana, tahu tempat yang biasa banjirnya tinggi harus evakuasi ke mana, kan ada," tukas dia.
Oleh karena itu, dia memprediksi, ada kemungkinan banjir Jakarta pada 2020 dan 2007 terulang. Terlebih, perubahan iklim menyebabkan El Nino dan La Nina.
"Yang kedua, permukaan tanah DKI Jakarta itu terus turun juga, apalagi ada dampak gempa dari Cianjur juga, Jakarta sebagian ada yang turun. Mau enggak mau ya air nampung di situ. Penanganan terhadap penanggulangan rob juga kita masih lemah," kata Trubus.
Ketidaksiapan DKI Jakarta menyambut musim penghujan yang disebut Trubus, juga tercermin dalam rata-rata lama penanganan banjir pada tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Liputan6.com, rata-rata lama penanganan kejadian banjir pada 2018 adalah 6 hari.
Rata-rata lama penanganan kejadian banjir pada 2019 adalah 5,57 hari, yang berarti secara-rata-rata penanganan kejadian bencana dilakukan selama sekitar 5-6 hari setelah tanggal mulai bencana.
Sementara, rata-rata lama penanganan kejadian banjir di bulan Jan-Jul 2021 adalah 0.45 hari, yang berarti secara-rata-rata penanganan kejadian bencana dilakukan selama sekitar 1-2 hari setelah tanggal mulai bencana.
Sedangkan rata-rata lama penanganan banjir pada 2020, tidak ada data. Namun, di beberapa titik, penanganan banjir pada Januari mencapai belasan hari. Sebut saja di penanganan banjir di sebuah mal di Jakarta Barat dan Jakarta Timur.Â
Pengamat Perkotaan Yayat Supriyatna memiliki pendapat yang berbeda soal bisa atau tidak banjir Jakarta berakhir. Dia mengatakan, semua tergantung pada curah hujan yang mengguyur Ibu Kota.Â
"Jadi tergantung kondisi ya, sudah dia kategori hujan lebat sudah nyerah kita. Sudah enggak bisa apa-apa, tapi kalau hujannya masih intesitas sedang sama rendah, aman. Tapi kalau sudah tinggi ya sudah nyerah," ujar Yayat kepada Liputan6.com, Kamis 15 Desember 2022.
Dia menggambarkan, hubungan Jakarta dan banjir itu sebagai CLBK, singkatan dari Cinta Lama Belum Kering. Jakarta itu, lanjut dia, siap tidak siap jika dihadapkan dengan banjir. Namun, dia menggarisbawahi, Jakarta menyerah jika curah hujan yang turun ekstrem.Â
"Kalau siap nggak siap ya nanti lah, ini CLBK namanya, Cinta Lama Belum Kering. Jakarta tuh nyerah kalau sudah hujan ekstrem. Itu saja kuncinya. Jakarta nyerah kalau hujan ekstrem. Karena intensitasnya tinggi, sementara kapasitas dari sistem tata airnya sudah enggak mampu lagi. Jadi dengan kondisi yang seperti itu kita berharap saja curah hujan di Januari-Februari itu tidak ada yang ekstrem," tutur Yayat.
"Di atas 100 milimeter itu sudah pasti karena memang sudah lemah kita dalam konteks tata airnya," lanjut dia.
Terlebih, dia mengamati ada sejumlah wilayah langganan banjir yang memang tidak bisa diatasi karena kondisi geografisnya. Ada pula daerah yang hanya bisa dikurangi banjirnya dengan memaksimalkan pompa. Â
"Untuk wilayah yang sudah sering langganan ya mau diapain lagi," tukas Yayat.
Imbauan
BMKG pun memberikan sejumlah imbauan untuk warga DKI Jakarta dan sekitarnya. Untuk mengantisipasi dampak peningkatan curah hujan selama puncak musim hujan, BMKG selalu menghimbau masyarakat untuk:
1. Mengenali potensi bencana di lingkungannya dan mulai memahami cara mengurangi risiko bencana tersebut misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan, menata lingkungannya, dll.
2. Tetap tenang namun tetap waspada terhadap potensi bencana terutama banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi, khususnya bagi masyarakat yang tinggal dan berada di daerah rawan bencana banjir atau banjir bandang dan longsor.
3. Tetap mengupdate informasi prakiraan cuaca beserta potensi dampak bencana hidrometeorologi yang dikeluarkan BMKG melalui website, akun sosial media resmi yang dikelola BMKG, dapat menghubungi call center 196 serta dapat langsung datang ke kantor BMKG terdekat.
BMKG pun memberikan imbauan kepada pihak-pihak untuk melakukan persiapan antara lain:
1. Melakukan Peningkatan Sistem Koordinasi Dan Kecepatan Koordinasi antar kementrian/lembaga, pemerintah daerah, TNI/Polri, LSM serta pemuka masyarakat untuk antisipasi bencana hidrometeorologi yang akan terjadi.
2. Penataan lingkungan sekitar tempat tinggal dan resapan air.
3. Cek kondisi sungai dengan melakukan susur sungai orang dewasa, termasuk cek kondisi pintu-pintu air pengatur drainase perkotaan.
4. Membersihkan dan merapikan wilayah bantaran sungai dari sampah, serta memperkuat tanggul sungai yang sudah mulai longsor.
5. Melakukan penebangan ranting dan batang pohon yang sudah tua/lapuk di taman kota dan sepanjang jalan.
6. Melakukan sosialisasi dan edukasi masyarakat terkait antisipasi terjadinya bencana Hidrometeorologi yang akan terjadi pada periode musim hujan 2022-2023.
BPBD DKI Jakarta menambahkan, masyarakat diimbau selalu mengikuti prediksi bencana dari pemerintah atau lembaga terkait. Juga selalu mengamankan peralatan-peralatan pribadi yang penting apabila berada di bantaran sungai. Kemudian selalu ikuti lah perintah dari perangkat setempat seperti lurah, RT, RW, apabila terjadi informasi kemungkinan terjadi bencana sekitar masyarakat.
Â
Â
Advertisement
Curah Hujan Tinggi Picu Pergerakan Tanah
Memang, Desember-Januari dikategorikan sebagai musim basah di Wilayah Barat Indonesia. Kondisi cuaca ini harus diwaspadai karena kerap kali turun hujan dengan intensitas cukup tinggi.
Hujan dengan intensitas tinggi ini memicu terjadinya gerakan tanah berupa tanah longsor, ambles, banjir bandang, serta banyak macam lainnya.
Koordinator Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sumaryono, masyarakat harus mewaspadai potensi gerakan tanah dalam kurun dua bulan terakhir ini.
"80 persen kejadian gerakan tanah di Indonesia itu akibat curah hujan yang tinggi. Sedangkan pemicu lainnya dikarenakan oleh gempa, tapi itu kita belum tahu kapan waktunya," ujar Sumaryono saat dihubungi Liputan6.com, Bandung, Kamis, 8 Desember 2022.
Menurut dia, gerakan tanah sering terjadi di wilayah lereng, perbukitan dan aliran sungai. Selain itu, likuifaksi atau pencairan tanah berpengaruh, mendukung terjadinya gerakan tanah.
Sumaryono mengatakan, untuk potensi wilayah gerakan tanah yang terjadi di perkotaan yang minim lereng dan bukit serta aliran sungai, kemungkinannya kecil. Kalau pun terjadi, hanya di kawasan perbatasan dengan wilayah lainnya yang memiliki struktur tanah curam dengan kemiringan.
"Untuk Jakarta sih dalam peta rawan kawasan rawan bencana (KRB) gerakan tanah PVMBG tidak terlalu berisiko. Aman-aman saja, paling berpotensi di kawasan Jakarta Selatan atau kawasan di bantaran sungai. Itu juga kalau curah hujannya tinggi," kata Sumaryono.
Sumaryono menjelaskan data yang lebih detail soal ancaman dan jumlah kejadian tanah longsor di Jakarta dimiliki oleh BPBD setempat.
Namun, berdasarkan penelitian PVMBG, tidak banyak kejadian gerakan tanah di Ibu Kota Indonesia tersebut.
Jika dirata-ratakan, hanya dua kali dalam setahun kejadian gerakan tanah yang terjadi di Jakarta. Dengan catatan, lanjut dia, jika curah hujan berlangsung tinggi.
"Yang kemarin viral di Jakarta itu hanya terjadi di kiri kanan sungai. Namun, banyak yang fokus ke nama kecamatannya, tapi bukan sekecamatan terjadinya gerakan tanah. Mohon untuk gerakan tanah diutamakan dilihat peta rawan bencananya, bukan nama kecamatannya," sebut Sumaryono.
Sumaryono mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta, waspada saat memasuki musim hujan. Sebab, pada musim penghujan ini, volume air dalam tanah meninggi.
Akibat tinggi volume air dalam tanah, apabila tanahnya rapuh dalam kata lain tidak kompak maka akan terjadi pelapukan.
Hal ini akan berakibat terjadi gerakan tanah berupa longsor atau banjir bandang. Sumaryono mengingatkan kepada masyarakat agar jeli melihat tanda-tanda akan terjadinya gerakan tanah.
"Jika kusen sudah miring, pintu susah ditutup itu tandanya ada gerakan tanah tipe lambat. Adanya retakan tanah yang setengah lingkaran atau tapal kuda, itu harus segera mengungsi karena akan longsor," sebut Sumaryono.
Jika menemukan retakan, masyarakat harus segera menambalnya secepat mungkin. Alasannya agar kekompakan tanah dapat dikembalikan dan tidak melebar akibat masuknya air.
Sumaryono menambahkan pemicu lainnya terjadinya gerakan tanah akibat alih fungsi lahan yang tidak mengikuti aturan yang ada.
Semisal aktivitas penambangan dengan menggunakan alat peledak, pembangunan pemukiman di kawasan rawan bencana gerakan tanah, pemotongan lereng yang tidak semestinya.
"Sebenarnya sekarang sudah cukup bagus soal penataan ruang. Kini revisi-revisi penataan ruang itu mereka memanfaatkan peta - peta bahaya. Baik itu bahaya longsor, banjir sehingga nanti dicari lokasi yang aman untuk dikembangkan," jelas Sumaryono.
Penataan ruang ini merupakan investasi jangka panjang dalam pembangunan. Sehingga nantinya tidak membahayakan.
Seperti lahan lindung dialihfungsikan menjadi pemukiman dapat memicu bencana alam. Dapat berupa banjir, kekeringan dan gerakan tanah.
Â
Analisis dan Visualisasi Data oleh Pacmann
Analisis: Nurul Wafiqah Tarihoran & Dewi Astuti;
Visualisasi: M Wahyu Hidayat