Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang penahanan AKBP Bambang Kayun Bagus PS. Bambang merupakan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait dengan pemalsuan surat dalam perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia (ACM).
"Tim penyidik telah memperpanjang masa penahanan Tersangka BK (Bambang Kayun) untuk 40 hari ke depan sampai dengan 3 Maret 2023 di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (8/2/2023).
Baca Juga
Ali mengatakan, tim penyidik masih membutuhkan waktu untuk melengkapi berkas penyidikan Bambang Kayun. Menurut Ali, tim penyidik ingin maksimal dalam mengumpulkan bukti pidana Bambang Kayun.
Advertisement
"Perpanjangan penahanan ini sebagai salah satu langkah tim penyidik untuk lebih memaksimalkan pengumpulan alat bukti sebagaimana dugaan unsur pasal suap yang disangkakan pada tersangka dimaksud," kata Ali.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Perwira Polisi AKBP Bambang Kayun Bagus PS (BK), mantan Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri sebagai tersangka.
Bambang Kayun dijerat dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait dengan pemalsuan surat dalam perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia (ACM) yang ditangani Mabes Polri. Dia diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp56 miliar.
Ketua KPK Komjen (Purn) Firli Bahuri menyebut Bambang Kayun menerima suap dari pasangan suami istri, Emilya Said dan Herwansyah.
"Tersangka BK diduga menyatakan siap membantu (Emilya dan Herwansyah) dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang dan barang," ujar Firli dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).
Â
KPK Ungkap Duduk Perkara Kasus Bambang Kayun
Firli menyebut, mulanya Bambang Kayun menerima suap sekira Rp5 miliar dari Emilya dan Herwansyah terkait pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT ACM. Dalam kasus pemalsuan surat ahli waris itu, Emilya dan Herwansyah dijerat sebagai tersangka di Bareskrim Polri.
Uang Rp5 miliar tersebut merupakan upaya Bambang Kayun memberi saran agar Emilya dan Herwansyah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas penetapan tersangkanya di Mabes Polri.
"Dengan saran tersebut, tersangka BK menerima uang sekitar Rp5 Miliar dari ES (Emilya Said) dan HW (Herwansyah) dengan teknis pemberiannya melalui transfer bank menggunakan rekening dari orang kepercayaannya," kata Firli.
Selama proses pengajuan praperadilan, Bambang Kayun diduga membocorkan isi hasil rapat Divisi Hukum Mabes Polri untuk dijadikan bahan materi isi gugatan praperadilan. Sehingga, hakim dalam putusannya mengabulkan dan menetapkan status tersangka terhadap Emilya dan Herwansyah tidak sah.
Â
Advertisement
Bambang Kayun Diduga Terima Suap dan Gratifikasi Hingga Rp 56 Miliar
Selain uang, Bambang Kayun diduga menerima satu unit mobil mewah yang model dan jenisnya ditentukan sendiri. Bambang Kayun juga diduga menerima uang hingga berjumlah Rp1 miliar Emilya dan Herwansyah untuk membantu pengurusan perkaranya.
"Sehingga, keduanya tidak kooperatif selama proses penyidikan hingga akhirnya ES dan HW melarikan diri dan masuk dalam DPO Penyidik Bareskrim Mabes Polri," kata.
Selain itu, Bambang Kayun diduga menerima gratifikasi lainnya dalam jabatannya sebagai Kassubag Pidana dan HAM bagian Penerapan Hukum Biro Bankum Divisi Hukum Polri. Ia diduga menerima gratifikasi senilai Rp 50 miliar. Jadi total suap dan gratifikasi yang diduga diterima Bambang mencapai Rp 56 miliar.
"Tersangka BK menerima uang secara bertahap yang diduga sebagai gratifikasi dan berhubungan dengan jabatannya dari beberapa pihak yang jumlah seluruhnya sekitar Rp50 Miliar," kata Firli.
Atas perbuatannya, Bambang Kayun disangkakan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.