Memilih Childfree, Apakah Jadi Keputusan Permanen?

Pembahasan mengenai childfree ramai di media sosial pada beberapa hari terakhir.

oleh Ika Defianti diperbarui 18 Feb 2023, 06:35 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2023, 06:35 WIB
Ilustrasi childfree
Ilustrasi childfree (dok.unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan mengenai childfree ramai di media sosial beberapa hari terakhir. Hal tersebut lantaran sejumlah pernyataan seorang konten kreator terkenal yang menjadi perdebatan warganet.

Childfree merupakan istilah ketika seseorang atau pasangan suami istri atau pasutri memilih untuk tidak memiliki anak. Psikolog klinis & Co-Founder Ohana Space Veronica Adesla menyatakan, keputusan untuk childfree tidak berlaku final. Atau seseorang atau pasangan yang memilih childfree dapat mengubah keputusan tersebut di masa mendatang.

"Perjalanan terus berjalan. Jadi, kalau pun orang di sewaktu-waktu ada yang bilang gue mau childfree aja, tapi ternyata di periode waktu ke depannya, dia ternyata memutuskan untuk punya anak, boleh enggak? Boleh aja. Karena berarti ada sesuatu perubahan yang terjadi," kata Veronica kepada Liputan6.com.

Kendati begitu, dia menyatakan ada beberapa pertimbangan yang harus dilakukan jika seseorang berencana memilih childfree. Hal yang utama yaitu alasan utamanya. Misalnya adanya beberapa kecemasan, kekhawatiran, hingga ancaman di masa mendatang.

Veronica meminta agar orang atau pasutri tersebut dapat melakukan diskusi keresahan tersebut bersama pakar profesional seperti halnya psikolog hingga psikiater. Yakni untuk membantu pemeriksaan mengenai kekhawatirannya tersebut.

"Apakah ini karena kecemasan berlebihan atau memang ini karena sesuatu uang objektif. Jadi, punya teman diskusi apalagi kalau memang sama profesional itu untuk bisa melihat secara netral. Seperti itu. Jadi, yang pertama diketahui adalah reason-nya apa? Alasannya apa? Kemudian kalau memang butuh bantuan untuk diskusi, diskusilah dengan professional," papar dia.

Selain itu kata Veronica, rencana childfree juga harus didiskusikan dengan pasangannya. Sebab childfree tidak hanya mengenai diri sendiri namun juga dengan pasangan. Kemudian pertimbangan mengenai konsekuensinya.

Sebab ketika memilih childfree, seseorang atau pasangan akan kehilangan kesempatan melewatkan momen-momen bahagia, berharga bersama anak. Lalu masa tua yang kemungkinan akan hidup sendiri.

"Jadi kemungkinan ada loneliness enggak, mungkin. Ini yang harus dipikirin dari awal, ini konsekuensi. Belum lagi orang nanya, orang kemudian kayak nge-judge, itu kita harus siap. Tanpa kita merasa kalau kita udah mempertimbangkan dan kita siap, artinya emosi kita lebih stabil karena tahu itu konsekuensi yang dihadapin dan kita tidak tergoncang," ucap Veronica.

 

Respons BKKBN

ilustrasi anak laki-laki
Ilustrasi anak laki-laki dan ibunya (Foto: Unsplash)

Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyikapi maraknya isu mengenai pilihan hidup 'childfree marriage' atau keinganan untuk tak memiliki anak setelah menikah di kalangan milenial.

Hasto menyampaikan, BKKBN memandang isu yang viral di media sosial itu sebagai hal yang bisa mendorong publik untuk lebih mengenal hak-hak reproduksi baik pria maupun wanita, serta tanggung jawab suatu pasangan dalam satu keluarga.

Fenomena tersebut, menurut Hasto tentunya tidak bisa lepas dari perspektif sosial dan budaya yang terbentuk di masyarakat, di mana umumnya mereka telah memasuki usia dewasa akan menikah, dan selanjutnya memiliki anak.

"Di sinilah pentingnya setiap pasangan calon pengantin sebaiknya melakukan perencanaan pernikahan agak memiliki visi dan misi pernikahan yang sama,” kata Hasto Wardoyo.

Hasto menekankan, melalui perencanaan pernikahan yang kuat, termasuk dengan mengikuti kursus pranikah, calon pasangan dapat mengetahui konsep ideal pernikahan, mulai dari usia pernikahan ideal, kesiapan finansial, fisik, mental dan emosi, hubungan antarpribadi (interpersonal), keterampilan hidup (life skill), sampai dengan kesiapan intelektual.

“Berbagai bekal dalam perencanaan pernikahan melalui kursus pranikah itu dapat menjadi modal dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak atau tidak, serta hal-hal lain saat menjalani kehidupan berkeluarga. Namun, keputusan untuk memiliki anak atau tidak merupakan hak dan pilihan dari masing-masing pasangan,” kata dokter spesialis kebidanan dan kandungan lulusan Universitas Gadjah Mada itu.

Hasto menguraikan, penyebab seseorang atau suatu pasangan tidak ingin memiliki anak, dapat digolongkan dalam dua kluster besar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya