Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan dilanda kabar tak sedap beberapa pekan terakhir. Bermula dari terendusnya kekayaan fantastis seorang bekas pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo, lalu menyeruak persoalan lain ke permukaan. Satu per satu gaya glamor anak buah Sri Mulyani disorot publik. Dandanan perlente mereka jadi buah bibir masyarakat. Harta benda harga selangit dipertontonkan di sosial media.
Teranyar, Menko Polhukam Mahfud Md mengungkap adanya transaksi mencurigakan di kalangan pejabat Kemenkeu yang nilainya mencapai Rp300 triliun. Nilai tersebut tentunya sangat fantastis dan patut diusut tuntas dan dibuat terang benderang. Transaksi mencurigakan yang menjadi sorotan itu melibatkan 460 orang di Kementerian Keuangan dan sudah terjadi sejak 2009.
Baca Juga
Kendati sudah terendus sejak 14 tahun lalu, namun tidak ada tindak lanjut dari Kementerian Keuangan terkait transaksi mencurigakan itu.
Advertisement
"Itu tahun 2009 sampai 2023, ada 160 laporan lebih, itu tidak kemajuan informasi. Sudah diakumulasi semua melibatkan 460 orang lebih di kementerian itu. Yang akumulasi terhadap transaksi yang mencurigakan itu bergerak di sekitar Rp300 triliun. Tapi, sejak tahun 2009," ujar Mahfud dalam keterangannya, Kamis (9/3/2023).
Mahfud menyayangkan transaksi mencurigakan tersebut tak ditindaklanjuti langsung oleh pihak Kemenkeu. Padahal, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sudah menyampaikan adanya kejanggalan transaksi itu sejak 2009.
"Sejak 2009, karena laporan tidak di-update tidak diberi informasi, respons. Kadang kala respons itu muncul sesudah menjadi kasus. Kayak yang Rafael, Rafael itu kasus sudah dibuka, lho ini sudah dilaporkan dulu kok didiemin, baru sekarang," kata Mahfud.
Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana membenarkan pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md soal adanya transaksi janggal para pejabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mencapai Rp 300 triliun.
Ivan menyebut laporan hasil analisis terkait sudah dia sampaikan ke pihak Kemenkeu sejak 2009. "Sudah kami serahkan ke Kemenkeu sejak 2009 sampai 2023," ujar Ivan.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola mengatakan, pihak Irjen Kemenkeu harus bergerak cepat dengan didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Penelusuran aliran dana itu menjadi kewajiban Irjen Kemenkeu sebagai pemeriksa internal, yang dapat didukung KPK/Kejaksaan Agung, PPATK, dan BPK/BKPK," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (9/3/2023).
Dia menegaskan, upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong audit investigatif bersama terutama terhadap para terduga pegawai Kemenkeu.
"Masalahnya laporan kejanggalan aliran dana ini sudah sejak lama, tapi tidak ada tindak lanjut. Artinya ada problem kelembagaan dalam aspek pengawasan yang masih lemah, seperti proses data sharing belum berjalan dengan baik, dan pemantauan bersama belum berjalan sebagaimana seharusnya," ungkap Alvin.
Dia pun menyayangkan, bahwa selama ini dugaan pencucian uang tidak selalu bisa berdiri sendiri. Menurutnya, selalu ada pidana awal yang mengikutinya.
Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 69 disebutkan, "untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya".
"Selama itu dari hasil tindak pidana asal, seperti korupsi atau tindak pidana lain yang diatur di UU TPPU. Di situ letak kelemahan instrumen kita," jelas Alvin.
Dalam upaya pemeriksaan, Irjen Kemenkeu pun bisa memecat pegawai yang diduga melakukan kesalahan, sambil ditelusuri terus dugaan pidananya.
"Idealnya, etik dan pidana harus tetap ditelusuri. Jadi dipecat bisa, tapi enggak menggugurkan penyelidikan pidananya," kata Alvin.
Jangan Sampai Jadi Pepesan Kosong
Sementara, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, apa yang jangan hanya sekedar wacana terlebih di tahun politik. Semua pihak harus berani mulai melakukan penyelidikan.
"Pada dasarnya tentu saja harus melalui proses penyelidikan. Apakah ini berasal dari kasus tindak pidana korupsi, tindak pidana lainnya, atau berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang," ungkap dia kepada Liputan6.com, Kamis (9/3/2023).
Menurut dia, di tahun jelang Pemilu 2024 ini, banyak isu yang terkesan gonjang-ganjing, tapi tidak ada kejelasan berikutnya.
"Cuma saja di tengah tahun politik ini terlalu banyak gonjang-ganjing isu tanpa kemudian ada eksekusi yang jelas. Oleh karena itu perlu pula disimak siapa yang akan melakukan tindakannya," kata Feri.
Menurut dia, Jika KPK, dirinya khawatir dengan lembaga yang cenderung memperlihatkan masalah kerap diduga oleh publik bahwa langkah-langkah KPK lebih banyak langkah politisnya dibandingkan upaya penegakan hukum.
"Jadi jangan sampai isu ini dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik di masa yang akan datang atau dana ini disita akan dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan politik menjelang tahun Pemilu. Jadi isu ini harus disikapi dengan benar agar kemudian tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan," pungkasnya.
Advertisement
KPK dan Kemenkeu Memilih Irit Bicara, Sebut Tak Tahu Laporan Mahfud Md
Dikonfirmasi secara terpisah, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memilih irit bicara. Tak ada penjelasan apakah ini akan langsung diambil alih, atau sudah mendapatkan laporannya.
"Sejauh ini belum ada laporan dimaksud," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri. Kamis (9/3/2023).
Sementara, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh, mengaku hingga saat ini belum menerima informasi tersebut. Oleh karena itu, pihaknya akan melakukan pengecekan lebih lanjut terkait temuan transaksi mencurigakan itu.
"Memang sampai saat ini khususnya Inspektorat Jenderal belum menerima informasinya seperti apa. Nanti akan kami cek," kata Awan Nurmawan kepada Liputan6.com, Kamis (9/3/2023).
Hal serupa juga diungkapkan Staf Ahli Menteri Keuangan Yustinus Prastowo. Yustinus menyatakan pihaknya masih enggan berkomentar banyak terkait informasi transaksi mencurigakan tersebut, karena belum menerima dengan resmi surat dari PPATK.
"Kami belum menerima suratnya, jadi belum bisa berkomentar," ujar Prastowo.
Kendati demikian, Yustinus menegaskan Kementerian Keuangan tetap berkomitmen untuk mendukung semua proses penyelesaian kasus tersebut, dan memastikan akan menindaklanjuti lebih dalam serta menyampaikan kepada publik terkait hasilnya nanti.
"Komitmen kemenkeu kita ada pada sisi yang sama. Jadi, komitmen yang tidak perlu diragukan karena tadi regulasi sistem bekerja, kami pastikan semua akan ditindaklanjuti dengan baik, dan kami akan transparan kepada anda
"Dan waktunya ketika ada perkembangan tentu kami akan juga punya tanggung jawab moral untuk menyampaikan kepada publik," ujarnya.
DPR Minta Kemenkeu Selidiki, Berencana Akan Panggil Sri Mulyani
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni, mengaku terkejut dengan pernyataan Mhafud. Ia menyebut apabila transaksi tersebut benar maka hal itu sudah kelewat batas.
"Saya agak kaget juga dengarnya Pak Mahfud bicara bahwa ada Rp 300 T transaksi di Kemenkeu. Super gila kalau beneran terjadi," kata Sahroni saat dikonfirmasi, Kamis (9/3/2023).
Politikus NasDem itu menyatakan pihaknya mendukung langkah PPTAK menelusuri temuan tersebut
"Saya apresiasi ke PPATK pada hal-hal dugaan tentang transaksi tersebut agar menjadi pencerahan kemudian untuk di dalami lebih dalam," ujar Sahroni.
Dia pun meminta Kemenkeu harus segera bertindak dan juga berkomunikasi dengan PPATK. "Saya rasa perlu disikapi oleh Kemenkeu langsung ke PPATK terkait hal dugaan tersebut," jelas Sahroni.
Senada, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani meminta pemerintah bersama lembaga penegak hukum yakni KPK atau Kejaksaan Agung dan dengan dukungan PPATK dan BPK atau BPKP untuk menuntaskan temuan transaksi mencurigakan tersebut.
"Tuntaskan temuan transaksi mencurigakan tersebut. (Karena) diantara transaksi tersebut, bisa jadi bukan sekedar transaksi mencurikan tetapi terindikasi tindak pidana korupsi dan pencucian uang," kata Arsul pada Liputan6.com, Kamis (9/3/2023).
Politikus PPP itu menyatakan, lantaran transaksi-transaksi mencurigakan ini diduga menyangkut pejabat-pejabat dari instansi yang menjadi sumber penerimaan negara, yakni pajak dan bea cukai, maka urgensi penuntasan secara hukum sangat penting.
"Ada beberapa alasan (penuntasan kasus penting). Pertama, ini menyangkut transaksi dengan jumlah yang masif. Kedua, terbukanya transaksi di ruang publik secara serius mengancam tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Ditjen Pajak dan Bea Cukai serta Kementerian Keuangan pada umumnya," jelas Arsul.
Alasan ketiga kasus tersebut berpotensi meruntuhkan moral dan etos kerja aparatur Kementerian Keuangan secara keseluruhan akibat antipati masyarakat.
"Padahal saya yakin lebih banyak mereka yang baik atau bersih dari pada yang nakal dan korup," kata dia.
Sementara, Komisi XI DPR RI berencana memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menyusul sederet kasus yang saat ini ramai menjadi perbincangan.
Sebut saja, kasus Rafael Alun Trisambodo yang ternyata memiliki 40 rekening. Terbaru, ada dugaan transaksi mencurigakan dengan total nilai Rp 300 triliun yang disebut Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Ini juga yang menjadi tindak lanjut dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan ada peluang untuk memanggil Menkeu Sri Mulyani dan jajarannya. Hanya saja, saat ini posisi DPR masih dalam masa reses.
"Terkait dengan memanggil Menkeu ke DPR, nanti kan ada mekanisme pemanggilan itu. Mekanismenya adl DPR sekarang sedang reses, maka nanti akan pada masa sidang kita akan masuk, kita akan bicarakan di rapat internal urgensi kepentingannya memanggil Menteri Keuangan," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (8/3/2023).
Misbakhun menerangkan, kecenderungannya adalah memang di awal masa sidang tahun ini. Mengingat sejumlah kasus yang terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan.
Komisi XI sebagai mitra Kemenkeu, kata dia, dipandang perlu untuk melakukan diskusi langsung dengan Menkeu dan jajarannya.
"Nah, apakah nanti diagendakan itu akan jadi keputusan internal di Komisi XI. Tapi kalau dilihat dari begitu kuatnya berita-berita di media saat ini, menurut saya ini menjadi hal yang sangat serius untuk ditanyakan secara langsung ke Menteri Keuangan," sambungnya.
Advertisement