Pengamat Sebut Bola Panas RUU Kesehatan di Tangan Komisi IX DPR RI

Pengamat Kebijakan Publik Chazali H. Situmorang menyebut perjalanan panjang RUU Kesehatan begitu melelahkan dan bola panasnya berada di tangan DPR RI.

oleh Gilar Ramdhani pada 08 Apr 2023, 14:51 WIB
Diperbarui 08 Apr 2023, 14:51 WIB
Pengamat Sebut Bola Panas RUU Kesehatan di Tangan Komisi IX DPR RI
Pemerhati Kebijakan Publik, Chazali H. Situmorang.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Kebijakan Publik Chazali H. Situmorang menyebut perjalanan panjang RUU Kesehatan begitu melelahkan. Setelah masuk dalam daftar Prolegnas, Baleg DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan mengundang berbagai stakeholder kesehatan. Sayangnya dalam proses RDP itu, Baleg tidak punya konsep yang lengkap berupa Naskah Akademik.

“Dalam proses RDP itu, Baleg tidak punya draft atau konsep yang lengkap berupa Naskah Akademik, tetapi memberikan beberapa pertanyaan, dan didiskusikan. Saat bersamaan beredar di masyarakat Naskah Akademik dan Draft RUU (Omnibus) Kesehatan, dan menimbulkan kehebohan dan kegemparan sejagad dunia profesi kesehatan. Pihak DPR tidak mengakui mengeluarkan Draft NA dan RUU itu. Demikian juga pihak Kemenkes. Mungkin yang mengedarkan hantu bernama Omnibus,” kata Chazali H. Situmorang dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Sabtu (8/9).

Bahkan, menurut Chazali, draft RUU Kesehatan yang beredar itu dibahas secara resmi dan diam-diam oleh para pejabat Kemenkes. Para OP (Organisasi Profesi) kesehatan menyebutnya operasi senyap. Namun, belakangan pihak Baleg DPR baru secara resmi mengeluarkan Draft RUU (Omnibus) Kesehatan, yang mirip dengan draft yang beredar di masyarakat. 

Diketahui Dosen FISIP Unhas ini, Komisi IX DPR menyatakan tidak dilibatkan dan tidak mengusulkan RUU (Omnibus) Kesehatan itu. Bahkan ada kecenderungan menolak karena tidak urgens. Komisi IX lebih fokus pada pembahasan RUU Pengawasan Obat dan Makanan, yang akhirnya ditelan RUU Kesehatan. 

“Akhirnya Sidang Paripurna DPR memutuskan untuk membahas RUU Kesehatan itu, sebagai inisiatif DPR, dan menyerahkan Draft RUU (Omnibus ) Kesehatan kepada Pemerintah untuk dibahas,” sebut Chazali.  

Tarik ulur belum selesai. Pihak Komisi IX DPR, jelas Chazali melakukan protes karena ada upaya untuk membahas RUU itu di Baleg, bukan di Komisi IX DPR yang membidangi Kesehatan, ketenagakerjaan dan kependudukan. 

“Secara tupoksi memang urusan Komisi IX DPR, tetapi yang paling ”memahami” dan “sepaham” dengan Kemenkes adalah Baleg DPR. Karena protes keras Komisi IX DPR, pimpinan DPR memutuskan pembahasan mitra pemerintah di Komisi IX DPR. Komisi IX menunjuk 27 orang sebagai Panja DPR, dan Pemerintah menyiapkan 84 orang sebagai Panja Pemerintah,” urainya.

Soal DIM Pemerintah yang Diserahkan ke Komisi IX DPR

Sewaktu penyerahan DIM Pemerintah oleh Menkes kepada Pimpinan Komisi IX DPR, Rabu 5 April 2023, Menkes menjelaskan dengan mantap bahwa DIM RUU kesehatan itu sudah menyerap 75% aspirasi masyarakat.

“Terhimpun 6.011 masukan partisipasi publik melalui public hearing, sosialisasi, dan website telah didengar, dipertimbangkan, dan diberikan penjelasan. Dari jumlah tersebut sudah 75% ditindaklanjuti,” ujar Menkes Budi dikutip dari laman Kemenkes.go.id.

Menkes menyebutkan sudah menyelenggarakan partisipasi publik dan sosialisasi RUU Kesehatan sejak 13 sampai 31 Maret 2023. Dalam waktu 2 minggu itu total ada 115 kegiatan partisipasi publik, 1.200 stakeholder yang diundang, dan 72 ribu peserta yang terdiri dari 5 ribu Luring, 67 ribu Daring. 

Hasil DIM RUU Kesehatan menggabungkan 10 undang-undang (UU) dan mengubah sebagian isi UU yakni UU nomor 20/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS.

Dari 478 pasal RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3.020, sebanyak 1.037 DIM tetap untuk disepakati di rapat kerja DPR, 399 DIM perubahan redaksional untuk ditindaklanjuti oleh tim perumus dan tim sinkronisasi, 1.584 DIM perubahan substansi untuk ditindaklanjuti oleh panitia kerja (Panja) DPR.

Kemudian DIM penjelasan ada 1.488, sebanyak 609 DIM tetap, 14 DIM perubahan redaksional, 865 DIM perubahan substansi. “Pemerintah mendukung RUU Kesehatan inisiatif DPR karena sejalan dengan upaya transformasi sistem kesehatan Indonesia,” ucap Menkes Budi.

Di balik itu, Chazali yang juga mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional periode 2011-2015 ini mengaku masih memiliki banyak pertanyaan mengingat kedalaman substansi yang dibahas tidak jelas diungkapkan.

“Suatu kerja yang luar biasa. Cepat sepertinya substansinya memang sudah dikuasai oleh Tim yang dipersiapkan Kemenkes. Bagaimana kedalaman substansi yang dibahas tidak jelas diungkapkan. Akurasi angka-angka di atas secara kuantitatif “menakjubkan” dalam waktu  2 minggu, tetapi secara kualitatif masih menyisakan pertanyaan,” kata Chazali.

Panja Komisi IX DPR sebanyak 27 orang, “dikepung” sebanyak 84 orang Panja Pemerintah. Dari jumlah itu, Chazali merasa bahwa tidak mungkin RUU Kesehatan itu inisiatif DPR.

“Tapi kenyataannya Baleg DPR mengakui, inisiatif Baleg DPR, bukan Komisi IX DPR,” sebutnya.

Harapan kepada Panja Komisi IX DPR

Lebih lanjut, Chazali mendorong Panja Komisi IX DPR untuk mempelajari terlebih dahulu klaim Kemenkes tentang partisipasi publik yang dilakukan. Prosesnya, substansinya, jangkauan segmen kelompok masyarakat, dan akurasi data yang ditampilkan. 

“Ada ribuan pasal yang dibahas dalam DIM Pemerintah, dan menjaring ribuan masukan masyarakat baik luring dan daring dalam waktu singkat ( sekitar 2 minggu), apakah sudah dapat dipastikan sudah akurat, sudah sinkron korelasi antar pasal. Apakah tidak ada lagi substansinya yang terlewatkan?” jelas Chazali.

Menggali lebih dalam lagi partisipasi masyarakat, menurut Chazali merupakan upaya cross check, dan  pengujian kebenaran informasi yang diperoleh Panja DPR, dan mensinkronkannya dengan masukan DIM Pemerintah. 

“Pasal-pasal yang krusial, menimbulkan kegaduhan, dan tidak bermanfaat untuk masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya, dihapuskan saja. Menyisir pasal-pasal yang tidak perlu diangkat dalam bentuk norma Undang-Undang, tetapi cukup regulasi di bawahnya, untuk dihapus,” jelasnya.

Bercermin dari temuan Muhammad Joni, SH, MH, yang menyebutkan DIM yang dibuat Menkes itu pada DIM 50 Pasal 1 angka 37, menghapus keberadaan Organisasi Profesi  Kesehatan, menurut Chazali itu suatu usulan yang menunjukkan arogansi kekuasaan dan menabrak norma-norma hukum  lainnya. RUU Kesehatan dengan pendekatan Omnibus Law diduga dapat memberangus eksistensi organisasi profesi.

Oleh karena itu, Chazali menyarankan Panja Komisi IX DPR untuk  merubah konsep Draft RUU Kesehatan tidak menggunakan metode Omnibus Law. Ini memungkinkan karena yang mengusulkan DPR, dan proses dalam pembahasannya bisa saja berubah dengan tidak membahas DIM-DIM yang berasal dari UU Sektor Kesehatan tertentu. 

“Dengan demikian Draft Undang-Undang Kesehatan yang baru itu menjadi jejaring dan menghilangkan irisan kontroversial dengan UU lain di Sektor Kesehatan seperti UU Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, Kedokteran, Bidan, Perawat dan lain-lain,” ungkap Chazali.

Dorong Fokus Pembahasan DIM Terkait Kesehatan

Draft RUU Kesehatan, sebagai revisi terhadap UU Kesehatan yang lama ( No. 36/2009), menurut Chazali sebaiknya tidak perlu menyentuh UU SJSN dan UU BPJS yang bersifat Lex Specialis. Cukup mengelaborasi substansi terkait Kesehatan yang tercantum dalam UU SJSN dan UU  BPJS ke dalam RUU Kesehatan.

Soal isu tenaga kesehatan dokter spesialis dan pendidikan kedokteran, STR, SIP dan lainnya, menurut Chazali itu juga, tidak perlu diatur dalam bentuk UU. Cukup regulasi di bawahnya dalam bentuk Kepres, PP, dan PMK. Dikhawatirkan Menkes tidak memahami substansi yang hendak dibongkar-pasang itu, tetapi berkeyakinan harus dibongkar. 

Chazali meyakini DPR Komisi IX sudah memahami bahwa penyusunan RUU dengan pendekatan Omnibus Law menyisakan persoalan yang tidak selesai. Terlebih sampai hari ini demo buruh masih berlangsung protes UU Cipta Kerja, UU P2SK yang menyabet  JHT masuk dalam UU P2SK, dan persoalan dengan pihak Kepolisian terkait wewenang penyelidikan, masih belum selesai. 

Lebih lanjut, Chazali mengingatkan Panja Komisi IX DPR harus ekstra hati-hati atas potensi  masuknya kepentingan lain yang bermotif jaringan bisnis kesehatan dan kekuasaan untuk mengendalikan BPJS Kesehatan dengan memporak porandakan pasal-pasal dalam UU SJSN dan UU BPJS, melalui tangan Omnibus Law. 

Peserta JKN, kata Chazali selama ini sudah merasakan manfaat JKN, dan dikelola oleh BPJS Kesehatan secara independen sebagai badan hukum publik, merupakan aset yang harus dijaga dan dipelihara oleh DPR. 

“Perlu diingat, RUU SJSN dan RUU BPJS diusulkan atas inisiatif DPR. Akan menjadi suatu yang ironi jika UU SJSN dan BPJS porak poranda di tangan DPR,” tutupnya.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya