Liputan6.com, Jakarta - Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mencermati pleidoi Teddy Minahasa usai dituntut hukuman mati dalam kasus peredaran narkoba jenis sabu.
Nota pembelaan atau pleidoi Teddy Minahasa (TM) ydisampaikan dalam persidangan Kamis (13/4/2023) siang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
"Dugaan tentang ini (perang bintang) pun sudah saya kemukakan sejak Oktober tahun lalu, jauh sebelum persidangan dimulai," ujar Reza dalam keterangannya.
Advertisement
Perang bintang semacam ini, menurut Reza, sangat berbahaya karena saling mangsa antaranggota kepolisian.
"Keberadaan klik (clique) atau subgrup di internal kepolisian sudah cukup banyak dikaji. Jika antarklik itu saling berkompetisi secara konstruktif, maka ini berdampak positif bagi masyarakat," kata Reza.
Positifnya pertama, publik bisa teryakinkan bahwa posisi-posisi penting di lembaga kepolisian memang diisi oleh SDM terbaik. Dan kedua, strategic model dalam penegakan hukum. Yaitu polisi-polisi akan berlomba melakukan penegakan hukum bukan demi kepastian, kemanfaatan, apalagi kepastian hukum, melainkan untuk memperoleh credit point.
"Apapun motif para polisi itu, pastinya khalayak luas akan lebih terlindungi. Terlindungi oleh para personel polisi yang gila kerja demi pangkat dan jabatan, saya pandang sah-sah saja," sambungnya.
Sebaliknya, lanjut Reza, sangat mengerikan kalau antarklik polisi saling bersaing dengan cara destruktif bahkan sabotase satu sama lain. Hal ini jelas berbahaya karena memperlihatkan praktik pemangsaan dalam organisasi yang berkultur toxic.
"Apabila antar-subgrup di dalam tubuh kepolisian itu bersaing dengan cara destruktif, maka hal tersebut bisa merusak kohesivitas organisasi kepolisian. Dan kalau institusi kepolisian sudah pecah belah, maka publik yang merasakan mudaratnya," ujar Reza yang juga bekerja sebagai peneliti pada ASA Indonesia Institute.
Lebih-lebih, kalau sesama klik dan personel polisi saja bisa terjadi kriminalisasi, maka betapa rentannya masyarakat mengalami malapetaka serupa.
Di samping dengan alasan mengurangi pesaing dalam berkarier, ia menjelaskan sabotase antarklik di internal kepolisian juga dapat dapat dilakukan untuk melindungi oknum. Artinya, polisi-polisi baik dijungkal sedemikian rupa agar polisi-polisi yang nakal tetap leluasa melakukan pidana. Baik pidana secara individual maupun dalam bentuk sindikasi bersama pihak eksternal kepolisian
"Nah, kembali ke pledoi TM. Dengan adanya indikasi perang bintang di balik kasus TM, sangat patut jika Mabes Polri mendalami informasi-informasi sensitif yang disampaikan TM," jelas dia.
Secara kebetulan, ia menilai ada kemiripan antara spekulasi dikemukakannya dengan isi pleidoi Teddy.
Dilihat dari sisi Teddy, ini pada awalnya seolah diniatkan sebagai penjebakan legal (chance-providing type of entrapment) dalam rangka menorehkan catatan prestasi yang dapat mendukung kenaikan jabatan dan kepangkatan AKBP Dody Prawiranegara. Namun rencana tersebut dibatalkan Teddy.
Sementara bagi AKBP Dody, ini menjadi perbuatan pidana yang sama sekali tidak diketahui Teddy. Yakni, Dody dan Teddy menjual narkoba ke Linda untuk memperoleh uang tunai yang dibutuhkan Dody untuk 'menembak Mabes'.
"Makna kiasan itu sepertinya adalah pelicin untuk memperlancar karir DP di Polri. Namun begitu tertangkap, DP mengklaim bahwa ia sebatas melaksanakan perintah dari TM yang tidak bisa DP tolak," ulas Reza.
Pesan Dibalik Pleidoi Teddy
Menurut Reza, di balik pleidoi Teddy seolah memberi pesan kepada Kapolri. Pada lingkup makro, Kapolri berhadapan dengan setidaknya dua agenda pembenahan internal yang sangat berat.
Pertama, penguatan sistem pengembangan karier. Kedua, memastikan Polri bersih dari kemungkinan adanya anasir-anasir jahat.
"Dalam bingkai Program Prioritas Kapolri, dua agenda tadi bertalian dengan program 1-3, 14, dan 15," imbuh Reza.*
Advertisement