Soal Pemakzulan Jokowi, PDIP Minta Denny Indrayana Evaluasi Pemilu 2009

Hasto mengatakan Presiden dan Wakil Presiden RI dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu ia mengingatkan presiden Jokowi tidak bisa asal dimakzulkan.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 07 Jun 2023, 13:56 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2023, 13:52 WIB
FOTO: Presiden Jokowi Hadiri Rakernas II PDIP
Presiden Joko Widodo atau Jokowi (tengah kanan) menyalami Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto saat tiba untuk menghadiri rapat kerja nasional (Rakernas) II PDIP di Jakarta, Selasa (21/6/2022). Rakernas PDIP kali ini mengusung tema 'Desa Kuat, Indonesia Maju dan Berdaulat'. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto meminta mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana menggunakan kerangka berpikir intelektual ketika melayangkan pernyataan ke publik.

Pernyataan Hasto itu menjawab pertanyaan awak media soal pernyataan Denny yang menyarankan DPR RI menggunakan hak angket memakzulkan Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi.

"Beliau (Denny) kan sosok akademisi ya, harus berbicara menggunakan kerangka berpikir intelektual. Jangan berbicara tentang perasaan, apalagi berbicara tentang pemakzulan," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Sekolah Partai, Jakarta Selatan, Rabu (7/6/2023).

Dia mengatakan Presiden dan Wakil Presiden RI dalam sistem politik di Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu ia mengingatkan presiden tidak bisa asal dimakzulkan.

"Dalam sistem politik ketika presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, legitimasi dan legalitas pemimpin nasional itu sangat kuat. Tidak bisa diberhentikan di tengah jalan. Itu harus melalui mekanisme yang tidak mudah," ujar dia.

Sekjen PDIP ini kemudian mengajak Denny untuk sekadar melihat Pemilu 2009 ketika yang bersangkutan menyinggung isu pemakzulan.

Menurut Hasto, diduga instrumen negara dipakai pada Pemilu 2009, sehingga satu partai politik di lingkaran rezim kala itu bisa mengalami lonjakan suara secara signifikan sebesar 300 persen.

"Nah, kalau berbicara pemakzulan, Pak Denny saya ajak untuk coba evaluasi pemilu yang terjadi pada tahun 2009, ketika instrumen negara digunakan, sehingga ada partai politik yang bisa mencapai kenaikan 300 persen," ujarnya.

Hasto menyebutkan peristiwa pada 2009 saat sebuah partai di lingkaran rezim yang mengalami peningkatan, tidak terjadi pada era pemerintahan Jokowi.

Hasto: Jokowi Pemimpin yang Kedepankan Dialog

Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Foto: Dok Biro Pers Sekretariat Presiden RI)

Hasto mengatakan PDIP sebagai partai pendukung pemerintah era Jokowi tidak mengalami kenaikan secara signifikan sampai 300 persen.

"Kalau PDI Perjuangan ini, kan, kemarin naiknya hanya satu, berapa, lah sampai 8 persen. Itu pun dengan berbagai upaya kerja lima tahun, sehingga jangan, lah, apa yang dahulu dilakukan oleh Pak Denny Indrayana yang merupakan bagian dari rezim pemerintahan saat itu kemudian dipersepsikan akan terjadi pada pemerintahan Pak Jokowi yang sudah teruji dalam komitmen menjaga demokrasi," kata Hasto.

"Pak Jokowi ini pemimpin yang berdialog, yang tidak punya dendam politik. Sama dengan Ibu Megawati Soekarnoputri mengedepankan rekonsiliasi nasional," sambung Hasto.

Hasto mengatakan sosok Megawati Soekarnoputri, Jokowi dan Ganjar Pranowo ialah figur yang memahami sistem politik yang perlu dilandasi Pancasila.

"Presiden Jokowi cawe-cawe demi loncatan kemajuan agar bonus demografi yang akan datang 13 tahun lagi betul-betul dapat dipersiapkan sebaiknya agar kita jadi bangsa yang hebat," kata Hasto.

Denny Indrayana Dorong DPR Gunakan Hak Angket Makzulkan Presiden Jokowi

Denny Indrayana menemui Menko Polhukam Mahfud Md, Kamis (21/11/2019).
Denny Indrayana menemui Menko Polhukam Mahfud Md, Kamis (21/11/2019). (Liputan6.com/ Putu Merta Surya Putra)

Beredar surat terbuka di jagad maya Twitter dari akun @dennyindrayana kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berisi desakan agar menggunakan hak angketnya untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo.

Dasar desakan itu adalah, Denny menduga presiden selaku kepala negara telah melakukan skenario Pemilu 2024 melalui alat-alat negara agar Anies Baswedan tidak dapat menjadi kontestan Pemilu kelak.

Saat dikonfirmasi, Denny membenarkan dan mengizinkan mengutip isi suratnya. 

"Sebagai bukti awal, saya tuliskan kesaksian seorang tokoh bangsa, yang pernah menjadi Wakil Presiden, bahwa Presiden Jokowi sedari awal memang mendesain hanya ada dua capres dalam Pilpres 2024, tanpa Anies Baswedan," kata Denny mengawali surat terbuka di akunnya tersebut dikutip Liputan6.com, Rabu (7/6/2023).

"Sebagai bukti awal, kesaksian tersebut tentu harus divalidasi kebenarannya. Saya menyarankan DPR melakukan investigasi melalui hak angketnya, yang dijamin UUD 1945," Denny melanjutkan.

Dalam surat yang ditulis tertanggal 7 Juni 2023 di Melbourne, Australia, itu Denny berpendapat bahwa DPR sudah layak lakukan pemakzulan karena menggunakan kekuasaannya untuk ikut campur atau cawe-cawe dalam proses Pemilu 2024.

Salah satu bentuk cawe-cawe itu adalah adanya dugaan gerakan sistematis yang dirancang agar Anies Baswedan gagal menjadi kontestan Pilpres dan Pemilu hanya dilakukan oleh dua pasang capres-cawapres saja.

Temuan lain juga dia dapatkan ketika berbincang dengan politikus Demokrat Rachland Nashidik dimana alasan Presiden SBY turun gunung karena adanya informasi dari orang dekat Presiden ke-6 RI itu bahwa hanya akan ada dua peserta Pilpres saja, sementara Anies Baswedan akan dijerat KPK. Informasi itu didapat SBY dari tokoh yang pernah menjadi Wakil Presiden.

"Hak angket harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah ada tangan dan pengaruh kekuasaan Presiden Jokowi yang menggunakan KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, untuk menjegal Anies Baswedan menjadi kontestan dalam Pilpres 2024?" tulis Denny.

Upaya sistematis lainnya dalam pandangan Denny adalah upaya pembiaran Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilaihan partai.

Denny menduga ujung dari gerakan itu adalah agar Anies Baswedan tidak maju di Pilpres 2024. Jokowi dianggap membiarkan gerakan begal Moeldoko terhadap Demokrat sesuai dengan Undang-undang Parpol.

"Tidak mungkin Presiden Jokowi tidak tahu, Moeldoko sedang cawe-cawe menganggu Partai Demokrat, terakhir melalui Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung."

"Hak angket harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi membiarkan atau bahkan sebenarnya menyetujui -lebih jauh lagi memerintahkan langkah KSP Moeldoko yang menganggu kedaulayan Partai Demokrat?" Denny menambahkan.

Upaya sistemastis lainnya agar Pilpres berjalan hanya dua kontestan adalah penggunaan kekuasaan dan sistem hukum, singkatnya menggunakan kasus hukum untuk menekan partai politik yang dinilai Presiden Jokowi tidak sejalan dengan strategi pemenangan Pilpres 2024.

Dia mencontohkan kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa. Suharso, berdasarkan temuan Denny, dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Baswedan. Penguasa, ujar Denny, juga mengarahkan kasus mana yang ditangani, mana yang disetop.

"Hak angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres?" ujar Denny.

Infografis Ragam Tanggapan Jokowi Ingin Cawe-Cawe Urusan Politik. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan Jokowi Ingin Cawe-Cawe Urusan Politik. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya