Ridwan Kamil: Pejabat Publik Itu Selalu Disorot, Jadi Tak Boleh Terpeleset

Kepada Liputan6.com, Emil juga bercerita banyak soal liburan panjang usai melepas jabatan dan gagasannya untuk Jakarta dan IKN.

oleh Rinaldo diperbarui 01 Des 2023, 15:31 WIB
Diterbitkan 01 Des 2023, 15:31 WIB
Ridwan Kamil
Ridwan Kamil saat wawancara khusus dengan tim Liputan6.com di Jakarta, Kamis (9/11/2023). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Menuntaskan tugas sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023 agaknya bukan akhir karier dari Kang Emil. Tawaran posisi baru mulai berdatangan, seperti mengikuti Pilkada Jakarta 2024, mengisi kabinet jika Koalisi Indonesia Maju memenangkan Pilpres 2024 serta tawaran untuk kembali memimpin Jawa Barat di periode kedua.

Pria kelahiran Bandung, 4 Oktober 1971 dan bernama lengkap Mochammad Ridwan Kamil atau biasa disapa Emil ini merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasangan Atje Miscbach Muhjiddin dan Tjutju Suakesih. Ayahnya adalah pengajar di Universitas Padjadjaran, Bandung. Sedangkan ibunya adalah pengajar di Universitas Islam Bandung

Kang Emil menghabiskan masa kecil dan sekolahnya di Bandung. Dia masuk SDN Banjarsari III Bandung pada 1979-1998, SMPN 2 Bandung pada 1984-1987, dan SMAN 3 Bandung pada 1987-1990. Selanjutnya Kang Emil mendapatkan gelar sarjana teknik arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1995.

Pada 7 Desember 1996, Kang Emil menikah dengan Atalia Praratya. Dari pernikahan tersebut, Kang Emil dan Atalia dikaruani dua orang anak, yaitu Emmeril Kahn Mumtadz (1999) dan Camillia Laetitia Azzahra (2004).

Kang Emil kemudian melanjutkan pendidikan masternya di University of California, Berkeley, Amerika Serikat pada 1999 dan lulus dua tahun kemudian. Selama berkuliah master, dia bekerja di Departemen Perencanaan Kota Berkeley, Amerika Serikat.

Melihat profesi kedua orang tuanya, Kang Emil turut serta menggeluti pekerjaan sebagai dosen teknik arsitektur di ITB pada 2002. Selama menjadi dosen, dia juga mendirikan perusahaan Urbane yang bergerak di bidang jasa konsultan perencanaan, arsitektur, dan desain pada 2004.

Perusahan tersebut mengerjakan Museum Tsunami Aceh, Masjid Al Isryad Parahyangan, Inaya Putri Resort Bali, Bandara Ngurah Rai bagian komersial, dan pembangunan lainnya di Indonesia maupun luar negeri.

Pada 2013, secara mengejutkan Kang Emil memulai karier politiknya. Dia mencalonkan diri sebagai Wali Kota Bandung bersama Oded Muhammad Danial. Keduanya diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra.

Kang Emil melakukan proses kampanye dengan gaya baru melalui media sosial yang berisikan tulisan lucu serta bernuansa romantis. Berkat gaya kampanye tersebut, dia berhasil menang dan dilantik sebagai Wali Kota Bandung periode 2013-2018 pada 16 September 2013.

Selama kepemimpinannya, Kang Emil mendirikan Bandung Command Center sebagai pusat kendali Kota Bandung, Open Data Bandung, membangun revitalisasi pejalan kaki Cihampelas sampai Tamansari, merestorasi Sungai Cikapundung, serta menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA).

Usai memimpin Kota Bandung, Kang Emil pun melaju ke Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2018. Dia maju sebagai calon gubernur berpasangan dengan Uu Ruzhanul Ulum sebagai calon wakilnya.

Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum berhasil memenangkan kursi Jabar-1 dengan perolehan suara 7.226.254 (32,88%), mengalahkan tiga pasangan lainnya. Keduanya kemudian dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023 pada 5 September 2018.

Beberapa prestasi yang ditorehkan sebagai gubernur, antara lain penghargaan pembangunan daerah terbaik (PPD), prestasi sertifikasi pemerintahan, penyerap investasi tertinggi Indonesia, layanan investasi terbaik di Indonesia, dan pemimpin daerah paling inovatif saat krisis pandemi Covid-19.

Kini, setelah memutuskan untuk bergabung dengan Partai Golkar, Kang Emil yang ditunjuk sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Penggalangan Pemilih menegaskan siap memenangkan Golkar di Jawa Barat. Kepada Liputan6.com, Kang Emil juga bercerita banyak soal liburan panjang usai melepas jabatan dan gagasannya untuk Jakarta dan IKN.

Berikut petikan wawancara Ratu Annisaa Suryasumirat dengan Ridwan Kamil dalam program Bincang Liputan6.

 

Selesai Gubernur Jadi Kurator IKN

Ridwan Kamil
Ridwan Kamil saat wawancara khusus dengan tim Liputan6.com di Jakarta, Kamis (9/11/2023). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bagaimana rasanya telah menuntaskan tugas sebagai Gubernur Jawa Barat, Kang Emil?

Ada dua kata ya, satu bersyukur karena selamat di akhir jabatan ya. Jadi saya dikenal sebagai wali kota yang selesai, gubernur yang selesai, ada karya dan sebagainya. Itu perasaan leganya luar biasa.

Kedua, lagi menikmati momen bebas. Itu tuh mahal, karena waktu jadi pejabat kan mau pergi ke mana harus minta izin kan? Segala sesuatu harus diatur, sekarang relatif. Jadi saya sedang menikmati.

Lagi senang-senangnya bersama keluarga?

Saya syukur alhamdulillah ya ngurusin keluarga, ngebangun bisnis kecil-kecilan, apa saja yang bikin bahagialah.

Tapi sekarang Kang Emil bergabung dengan Partai Golkar dan ditunjuk sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Penggalangan Pemilih. Apa yang akan Kang Emil lakukan untuk memastikan di Pemilu 2024 nanti suara Golkar bisa mencapai target?

Saya sudah memutuskan bahwa berpolitik itu harus paripurna. Paripurna itu lengkaplah, ada berpolitik secara independen, sekarang mungkin saatnya saya berpolitik juga lewat jalur partai ya, menggerakkan dimensi macam-macam.

Nah, tugas saya dan semua kader partai kan mensukseskan partainya dan momennya kan hanya 5 tahun sekali. Waktu tinggal 100 hari, jadi saya akan menggunakan medsos saya, kan lumayan tuh 30 juta follower ya. Makanya lagi ngendors sekarang banyak-banyak.

Apa yang Kang Emil lakukan dengan media sosial dan pengikut yang sangat banyak itu?

Nah, jadi campaign di udara lewat media sosial, bikin acara-acara, terus mengedukasi anak-anak Gen-Z ini supaya berpolitik. Kamu itu harus menentukan masa depan kamu, jangan sampai hidup kamu diatur oleh orang-orang yang tidak kompeten karena salah pilih.

Nah supaya hidup kamu nyaman, masa depan kamu cerah, berpartisipasilah di dalam keputusan masa depan kamu. Itu adalah politik. Apalagi saya melihat Gen-Z masih apatis, hasil surveinya dari seratusan juta pemilih muda yang disurvei peduli politik praktis itu mungkin hanya 15 persen.

Hasil surveinya begitu, artinya oke sibuk dengan cita-citanya, aspirasinya dan sebagainya. Tapi tetap harus peduli kan supaya tadi hidupnya jangan terinterupsi, diganggu oleh keputusan-keputusan yang nanti menyesal gara-gara keputusannya itu diambil orang-orang yang mungkin tidak pas jadi pemimpin.

Sekaligus menyuarakan agar mereka tidak golput?

Ya itu tadi, masa depanmu adalah tanggung jawabmu. Your future is your responsibility. Nah, saya punya power medsos, konten-konten juga disukai, alhamdulillah. Ciri konten disukai itu gini, minimal konten saya itu dilihat 1 juta oranglah.

Jadi itu standar minimal saya, kan lumayan. Ya sudah, cuma saya belum mulai, baru mungkin minggu depan ya, minggu depan saya minta izin posting-posting saya akan mengedukasi politik, lagi dibikin kontennya sehingga mereka bisa memahami tanpa harus kayak nguliahin gitu ya, tapi lebih sambil ketawa-ketiwi, tapi sebenarnya ada pesan, seperti itu.

Untuk daerah pemilihan Jawa Barat, apakah Kang Emil yakin bisa memenangkan Golkar?

Hidup itu mah harus yakin. Keyakinan, optimisme itu adalah bensin hidup ya, kalau tidak optimis buat apa hidup? Maka hidup itu harus optimis bahwa besok lebih baik, besok kita masih diberi umur, besok masih diberi kesehatan, besok masih diberi kesempatan mengejar cita-cita, besok yakin menang, optimis. Jadi saya optimis insya Allah menang.

 

Momentum Setuju atau Tidak dengan IKN Sudah Lewat

Ridwan Kamil
Ridwan Kamil saat wawancara khusus dengan tim Liputan6.com di Jakarta, Kamis (9/11/2023). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Beberapa waktu lalu kabarnya Kang Emil diajak Pak Jokowi ke IKN, apakah ada tugas atau peran baru dari Presiden?

Ya intinya 3 hari 2 malam kemping ya, jadi Pak Presiden itu karena jauh di Jakarta ingin memastikan apa visi misi di IKN ini antara kalimat-kalimat arahan-arahan yang sifat general, pas ke teknisnya tuh nyambung gitu. Nah, saya itu diberi tugas mengaudit, maka sekarang saya ada jabatan namanya kurator pembangunan IKN.

Jadi itu nanti saya periksa desainnya keren apa nggak? Yang jelek nggak boleh, nggak boleh ada di IKN, kan sayang duitnya kan. Duitnya sama, desainnya jelek sayang banget. Nah, kemudian mengevaluasi kalau ada keterlanjuran ya itu gimana solusinya?

Sehingga nanti suatu hari IKN ini benar-benar juara dunialah, dari desainnya, dari apanya. Sekarang publik belum melihat progresnya, makanya saya mengundang kawan-kawan media ayo ke IKN. Kalau saya optimis ya, ada 200-an proyek dalam rentang hidup saya.

Saya paham mana yang akan berhasil, mana yang mungkin tidak. Tantangan terbesar cuma satu, bagaimana caranya mindahin orang sebanyak banyaknya. Kalau ngebangun gedungnya gitu ya, tower ini tower itu sih bisa keukur ya. Nah itu lagi dicari cara supaya orang itu mau dan itu saya kira bisalah.

Dimulai dulu tentu dengan PNS ya, orang-orang yang berkantor. Makanya sekarang dikebut apartemen-apartemen di sana, dibangun bandara kan, bandara sudah groundbreaking. Jalan tol yang tadinya 2 jam bisa 45 menit dari Balikpapan. Hal-hal begitu dulu yang membuat orang akhirnya oh gampang, oh cepat, oh mudah.

Jadi untuk mempermudah prosesnya itu membangun permukimannya dulu, kemudian juga membangun bandara?

Iya, kenapa? Karena kalau lewat jalur sekarang persepsinya lama. Karena lama orang sudah capai duluan dan akhirnya nggak mau invest kan? Nah, tapi kalau bandaranya ada di jantung IKN-nya langsung, ya cepatlah.

Kayak mendarat di Halim atau mendarat di Kemayoran dulu gitu, kan enak banget kan? Mendarat langsung berkegiatan gitu, nggak usah tembus sana-sini. Makanya tahap satunya itu tahun depan sampai Agustus, saya lebih optimisnya setelah Agustus. Swasta sudah bangun banyak sekali groundbreaking, rumah sakit saja empat.

Artinya saat bertemu dengan Pak Jokowi, ada sejumlah masukan dari Kang Emil terkait IKN?

Ada, banyak sekali kalau dibahas satu-satu ya, ada belasan poin. Tapi yang pertama saya ingin memastikan konsep green, konsep smart itu ya, itu betul-betul nyata gitu, green secara kawasan, green secara jalan, ruang publik, dan hijau secara bangunannya itu dijaga betul.

Kemudian smart, makanya lihat kantor-kantor pemerintahnya pun kayak Google, jangan bayangin kayak kantor di Jakarta ya, kita ke kantor menteri ini nggak. Jadi PNS Gen-Z-nya nggak semua punya fix meja gitu, bisa kerja di mana aja.

Memang kan targetnya juara dunia ya? Artinya dari gaya hidupnya sampai arsitekturnya harus mewakili inovasi. Bahkan nanti di IKN itu nggak boleh pakai mobil bensin.

Jadi nanti punya mobil listrik atau mobil bensin berhenti dulu di pintu kotanya, nanti ada kumpulan taksi-taksi elektrik, bis-bis elektrik yang commuting di sana muter-muter untuk berkegiatan.

Listriknya pun kemarin sudah groundbreaking full dari matahari. Kemarin baru tahap satu 50 megawatt ya. Jadi listrik seperti ini nggak lagi bakar batubara, walaupun di bawahnya batu bara, tapi kan kotor, kita mengasumsikan energinya harus bersih.

Dan lucunya kemarin kan, kita cek kualitas udara terbaik skornya 31, artinya udaranya jernih banget. Di hari yang sama saya telepon ke Jakarta berapa skornya? 180. Di IKN cuma 30. Makanya Pak Jokowi betah kemping di sana.

Nah, sekarang bagaimana caranya meyakinkan pihak-pihak yang sampai saat ini masih kontra dengan IKN?

Sederhana ya. Tidak ada keputusan yang disetujui semua pihak, setuju? Makanya kan dilempar di sidang politik. Tapi kalau sudah diputuskan yang nggak setuju tuh ya ikut saja karena sudah diputuskan.

Jadi sekarang itu sudah bukan momentum setuju tidak setuju, sudah lewat. Sekarang keputusan negara sudah diambil, sudah ada undang-undangnya, kita jaga, kita kawal keputusan bersejarah ini untuk tidak gagal. Itu saja.

Bukan momennya lagi. Anggaran sudah dibelanjakan, undang-undang sebagai dasar hukumnya sudah diketok. Kalau sudah jadi undang-undang mau siapa pun presidennya, itu kan bukan keinginan presiden lagi si IKN itu, sudah keinginan negara.

Artinya, keinginan presiden dan dewan kan dalam konteks trias politika, ya sudah. Makanya itu sudah, sekarang fokus semua mengawal supaya berhasil menjadi world class, berhasil sustainable, green, smart, dan lain-lain itu.

 

Jakarta Tak Hanya Banjir dan Macet

Mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil
Mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. (Liputan6.com/ Nanda Perdana Putra)

Mulai tahun depan ibu kota Indonesia akan pindah ke IKN, bagaimana gagasan Kang Emil soal posisi Jakarta ke depan?

Yang paling kasihan ya kalau Jakarta tidak lagi ibu kota itu artis-artisnya. Dulu kan ada artis Ibu Kota, lebih mahal fee-nya, sekarang jadi artis daerah. Mba Luna Maya menjadi artis daerah, bukan artis Ibu Kota.

Kalau begitu artis-artis harus pindah dong ke Kalimantan?

Iya, kalau mau disebut artis Ibu Kota, pindahlah ke IKN gitu. Di kampung-kampung kan gitu kalau konser, akan datang artis Ibu Kota, itu mah joke-nya ya.

Tapi ini keputusan saya cerita sejarahnya dulu. Jakarta itu dulu wilayah Jawa Barat, sebelum tahun 1950 Jakarta itu adalah sebuah kota di Jawa Barat. Kebetulan bertakdir menjadi tempat proklamasi, tapi administrasinya itu masih Jawa Barat. Tahun 1950-an lahirlah Undang-Undang DKI, maka Jakarta diikhlaskan oleh Jawa Barat berpisah ya membentuk namanya Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Agak unik kenapa? Kota tapi disebut provinsi kan? Kalau provinsi kan harusnya ada desa, ada kabupaten, nah ini kan nggak. Makanya di Jakarta tidak ada desa, kalau saya ada desa. Pada saat tahun depan tidak berstatus lagi DKI menjadi DKJ, Daerah Khusus Jakarta, sebenarnya tidak ada yang berubah secara keseharian, orang tetap kerja, nyari nafkah gitu kan, cuma judul administrasinya saja ya.

Dan ibu kota yang sukses itu butuh waktu puluhan tahun. Apa adanya ya, mungkin 10-15 tahun, 20 tahun Jakarta masih strong ya? Nggak bisa, karena sebuah peradaban itu butuh kadang-kadang ratusan tahun kan untuk menjadi luar biasa gitu.

Makanya IKN itu lima tahun pertama lebih pada energi pemerintahannya saja yang bergeser, Jakarta jadi lebih leluasa karena perkantoran-perkantoran pemerintahnya tidak di sini lagi. Pertanyaannya, berarti kan nanti kantornya kosong-kosong tuh?

Kantor Kementerian Keuangan, Kemenko, nah itulah nanti jadi apa? Ya pasti jadi ekonomi, jadi komersial. Maaf ya, mungkin dulu gedung kementerian anu sekarang jadi hotel bintang lima. Jadi Jakarta mah ekonomi saja, dan itu sudah betul.

Di Amerika itu, contoh ya, pusat bisnis sama ibu kota itu dipisah. Ibu kota Washington DC, pusat bisnis New York. Di Provinsi California, ibu kotanya Sacramento namanya, pusat bisnisnya Los Angeles, San Fransisco gitu. Kalau pusat pemerintahan dicampur bisnis banyak hal negatif sebenarnya.

Contoh ya Jakarta didemo kan, bisnis berhenti kan, macet sana macet sini. Kenapa? Lagi demo di Senayan, lagi demo di Istana dan sebagainya, kenapa? Karena demonya politik di lingkungan bisnis, jadi bisnisnya berhenti, makanya nggak bagus.

Jadi keputusan ini sebenarnya banyak bagusnya dan seseorang harus ngambil keputusan, ya Pak Jokowi mengambil keputusan itu dan bukan ide Pak Jokowi ya saya ingatkan, ini ide Bung Karno. Bung Karno itu dari dulu sudah memikirkan kita harus punya ibu kota baru di Kalimantan kan?

Bedanya menurut analisa planologinya zaman Bung Karno yang dipilih Palangkaraya, tapi sekarang dipilih IKN di Penajam Paser Utara karena dekat dengan air, itu lebih baik, itu poinnya supaya akses logistik akses macam-macam.

Ada dua masalah di Jakarta yang tidak bisa kita pungkiri selalu ada setiap tahunnya, yaitu banjir dan macet.

Sekarang tambah jadi 3, polusi.

Oke banjir, macet, polusi. Nah apa formula yang misalnya Kang Emil bisa siapkan untuk mengatasi semua itu?

Saya belum punya jawaban karena kan saya Gubernur Jawa Barat dulu ya. Tapi gini, tidak ada masalah yang tidak terselesaikan, yang ada itu masalah itu selesai dengan harga mahal atau murah, itu saja.

Jadi banjir bisa selesai ya, contoh ini harganya mahal ya, air potensi banjirnya kan sudah dibendung di zaman saya. Bersama Pak Jokowi kita kan bikin dua bendungan tuh, Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Bogor supaya airnya parkir dulu. Hujan nih, kalau dulu kan main gelontor- gelontor aja ke Ciliwung bikin banjir, ini tahan dulu sekian waktu itu kan sudah mengurangi.

Nah, jadi poin saya masterplan ngurangin banjir itu sudah ada. Tinggal mungkin di gubernur berikutnya dikebut, itu saja. Jadi nggak ada solusi baru. Contoh, air sebelum lurus dia belok dulu di Kanal Barat, Kanal Timur kan, ibarat muter dulu penyodetan apa itu maksudnya supaya air nggak berkumpul. Nah, di zaman Pak Heru sebagai Pj ternyata ada percepatan.

Poinnya masterplan anti-banjir itu sudah ada, kalau ditanya solusi ke saya, percepatan saja, kebut pembangunan solusi banjirnya, bukan suruh cari gagasan lagi hal-hal baru. Orang pintar sudah banyak mikirin anti-banjir gitu kan.

Kemacetan juga sama, kemacetan itu menimbulkan juga masalah ketiga tadi kan polusi ya. Makanya saya ikutan nih sebelum beres gubernur bagaimana ngatasin polusi, salah satunya pola kerja memang harus diubah juga.

Jadi Covid-19 memberi pelajaran, bisakah manusia produktif tanpa harus selalu ke kantor? Bisa, walaupun tidak untuk semua sektor. Waktu saya di Jawa Barat saya bikin peraturan, PNS saya pun di Jawa Barat ya bukan DKI, sudah boleh work from home asal dia memenuhi kriteria, dikasih pola 3-2, 3 ke kantor 2 di rumah, 4-1, 4 di rumah 1 ke kantor dan lain sebagainya.

Sehingga pergerakan kan berkurang gitu. Jam kedatangan bisa diubah, ada yang pagi datangnya jam 7 jam 8 ngantornya, ada yang ditelatin mungkin datang jam 10, tapi yang jam 10 pulangnya lebih malam. Yang ngantor datang pagi pulangnya lebih cepat, Ashar misalnya.

Nah, pola-pola itu secara kreatif harus mulai dilakukan sambil menyempurnakan transportasi publik supaya kelas menengah jangan selalu naik mobil, kelas menengah naik public transport.

Karena saya pernah tinggal 7 tahun di luar negeri ya, Singapura, Hong Kong, Amerika, saya nggak pernah beli mobil walaupun saya mampu. Karena di negara itu mobil bukan selalu jadi simbol keharusan, malah kadang-kadang ribet gitu kan parkir mahal, ya sudah saya naik MRT, saya naik bis, kepepet naik taksi gitu.

Jadi dengan memperbanyak public transport sebenarnya juga bisa mengurangi polusi ya?

Ya untuk kelas menengahnya diperbanyak campaign di situ, pola kerja diubah kan begitu ya. Terus tata ruang juga, tata ruang itu begini, kota yang paling baik itu adalah tinggalnya di situ, kerjanya di situ, ngemalnya di situ. Jangan tinggalnya di A kerjanya di B terus ngemalnya di C.

Contohnya ada, namanya Kelapa Gading, kalau Anda orang Kelapa Gading itu sudah benar. Tinggalnya di Kelapa Gading, ngantornya di Kelapa Gading, malnya di Kelapa Gading. Kalau semua berpikiran seperti itu maka pergerakan bisa diminimalisir.

Tinggalnya di PIK, ngantornya di PIK, belanja dan ngemalnya di PIK, sudah di situ saja. Nanti lintas wilayah mau ke Kemang mau ke mana kalau kepepet saja. Tapi hari-hari kalau bisa hidupnya begitu, di wilayahnya saja.

Kalau sekarang kan tinggalnya di Utara, ngantornya di Selatan, ngemalnya di Barat, ya macetlah.

 

Antara Kembali ke Jabar dan Survei Jakarta

Ridwan Kamil
Ridwan Kamil saat wawancara khusus dengan tim Liputan6.com di Jakarta, Kamis (9/11/2023). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sebagai seorang arsitek bagaimana Kang Emil melihat pembangunan fisik di Jakarta yang makin masif?

Jakarta adalah mesin ekonomi, tinggal humanisnya diperbanyak. Itu PR besar, kebanyakan soal Jakarta ya kritikan saya karena terlalu mendahulukan kenyamanan mobil dibanding manusia. Saya pernah tinggal di Hong Kong. Di Hong Kong itu ibarat nih ya, dari Plaza Indonesia ke Blok M bisa jalan kaki, karena dia punya sistem pedestriannya itu menembus gedung, bukan di lantai aspal.

Jadi ini contoh karena saya pernah tinggal di sana. Jalan kaki itu dua level, level di trotoar pinggir aspal atau di dalam gedung. Jadi antar-gedung itu dikasih jembatan, kebayang nggak? Jadi dari Plaza Indonesia, Grand Hyatt, mau ke Blok M mau ke M Bloc itu nembus-nembus gedung aja dengan nyamannya, tahu-tahu sudah di daerah selatan aja. Nah, kota dengan sepadat ini perlu gagasan itu sehingga hidupnya produktif, tetap nyaman.

Saya punya teman nih, kita ngomongin Jakarta ya saya pengetahuan Jakarta juga memadai. Dia kerjanya di GKBI di Semanggi tuh zaman dulu ya, dia nge-gym-nya di Plaza Semanggi, kan selemparan batu nih, ini GKBI ini Plaza Semanggi. Dia mau nge-gym naik mobil dulu muter dulu ke Bundaran HI kan, kena macet U-turn di Bundaran HI berujung lagi ke Plaza Semanggi, sudah habis 45 menit.

Kalau saya punya ide kan tinggal kasih jembatan ke situ aja, dia nge-gym dari situ 5 menit. Nah, cara kita mendahulukan buat mobil dibanding manusia membuat manusia Jakarta produktivitasnya belum optimal. Jadi maaf ya, sistem mobilitas itu tidak melulu kendaraan mesin itu poin saya.

Bergerak dari poin ke poin di Jakarta itu jangan anggap harus selalu pakai mesin. Mesin itu definisinya mobil, bis, motor, jalan kaki gitu. Nah, sistem jalan kaki ini masih belum paripurnalah mengandalkan trotoar di aspal. Suatu hari kalau ada gagasan itu ya kita setuju.

Artinya, pembangunan fisik di Jakarta ini belum humanis, belum sehumanis yang kita harapkan, padahal potensinya ada. 

Sebagai seorang arsitek yang karyanya sudah mendunia, apakah ada keinginan untuk membangun suatu mahakarya di Jakarta?

Kita harus belajar dari sejarah. Bung Karno waktu pertama kali setelah jadi presiden sama, kalau pakai teori hari ini ya pasti dikritik, kenapa? Negara baru merdeka kok bikin Monas, bikin Istiqlal, bikin Gelora Senayan, bikin Hotel Indonesia, bikin Semanggi.

Setiap keputusan presiden pasti selalu ada pro-kontra. Tapi tujuannya bagus. Apa tujuannya? Membangkitkan semangat bahwa saya baru merdeka nih, ratusan tahun dijajah nih, bisa langsung jadi negara luar biasa karena apa? Punya Gelora Senayan dulu namanya sekarang GBK, kan sampai sekarang keren nggak pernah diapa-apain kan cuman direnov-renov.

Nah sama, jadi itulah yang Bung Karno sebut dengan politik arsitektur. Membangun infrastruktur itu harus ujungnya punya tujuan emosional, psikologis. Gue punya gedung tertinggi, kota gue punya jembatan terkeren gitu kan?

Kalau di New York, saya punya hutan kota terbesar. Jadi infrastruktur itu harus punya nilai membangkitkan rasa kebanggaan, makanya Jakarta harus punya sesuatu yang kelas dunia. Per hari ini ya belum banyak yang bisa kita tawarkan. Kalau ditanya apa, kan belum sayanya. Ini baru sisi berandai-andainya, nanti saja jika takdirnya ada kita wawancara lagi.

 

Cara Kang Emil Memanfaatkan Media Sosial

Ridwan Kamil
Ridwan Kamil saat wawancara khusus dengan tim Liputan6.com di Jakarta, Kamis (9/11/2023). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Kang Emil dikenal juga sebagai figur publik yang sangat familiar di media sosial. Bagaimana harusnya seorang pejabat pemerintahan memanfaatkan media sosial?

Revolusi digital itu membuat semua orang pegang HP, nggak ada yang nggak pegang HP, dari level presiden sampai tukang gorong-gorong semua pegang HP. Kalau dulu sebelum makan berdoa, sekarang sebelum makan foto dulu, upload tunggu like baru makan, contoh ya.

Nah, karena semua orang pegang HP, semua orang mengonsumsi berita lewat HP kan? Maka saya sebagai pemimpin publik juga sama, menggunakan sosial media satu untuk memberitakan ngapain saja saya Senin sampai Sabtu.

Dua mengedukasi, eh nih ada ada berita tentang inovasi pembangkit listrik tenaga surya di Cirata misalkan, floating on the water itu posting tentang edukasi.

Tiga, receh-recehan karena hasil surveinya orang Indonesia itu lebih senang konten receh dibanding serius.

Yang keempat mengklarifikasi, contoh Mesjid Al Jabar di zaman Ridwan Kamil rugi 300 miliar, heboh tuh satu hari penuh. Saya cek ternyata cuma 300 juta, diberitakan 300 miliar aslinya cuma 300 juta, itu pun sudah lunas. Langsung mengklarifikasi kan, redam saja fitnah-fitnah yang tidak perlu.

Jadi itu kebutuhan ya, kebutuhan bagi semua pihak, khususnya pejabat publik yang selalu disorot ya, yang nggak boleh terpeleset. Makanya saya selamat ya sebagai gubenur dari jabatan, itu yang saya syukurin. Salah satunya berkat media sosial.

Bayangkan, saya nggak punya pertahanan media sosial bagaimana saya menjawab, ngasih tahu kesibukan saya, ini gubernur ngapain aja sih, gitu kan, susah dihubungi, komplen susah, kan saya terbuka. Nah, jadi bagi para pemimpin-pemimpin di masa depan, media sosial itu penting sekali.

Bedanya, alhamdulillah follower saya banyak ya, kalau ditotal sudah 30 juta gabungan dari Ig, Tiktok, Twitter sekarang X dan lain sebagainya. Saya free ini setahun, ternyata bisa divaluasi dimonetisasi. Ya sudah, makanya sekarang saya mengendorse lewat media sosial gitu dan 30 jutaan follower saya itu lumayan lho, bisa puluh ratus juta kan sekali endorse.

Jadi saya bilang, ya sudah saya sebulan dua kali saja gitu, nggak usah ngapa-ngapain. Itu the power of economy medsos kan? Jangan mengira medsos hanya buat komunikasi ternyata bisa bikin duit, itu poinnya di era ini gitu.

Nah, waktu saya pejabat, saya nggak boleh making money dari medsos kan karena terikat etika. Sekarang kan bukan pejabat, jadi boleh dimaksimalkan. Jadi poinnya, itulah kenapa saya aktif di media sosial.

Kemudian kenapa Kang Emil kalau membalas komen-komen di Instagram selalu lucu-lucu, disengaja atau bagaimana?

Itu ilmiah. Jadi gini, kan saya sudah bilang saya waktu wali kota datang ke kantor Facebook di Amerika, ditampilin nih Mister Ridwan, kalau posting serius orang Indonesia itu komen dikit, kalau postingnya tidak serius, banyak lucu-lucuan komennya banyak.

Saya tes pulang dari Facebook kan, 'Hai warga Bandung, dalam rangka Adipura buanglah sampah pada tempatnya yuk, semangat!' Yang komen cuma 50. Saya ganti kata-katanya, 'Hai warga Bandung, dalam rangka Piala Adipura yuk buanglah sampah pada tempatnya, buanglah mantan pada temannya', ditambah lucuan dikit kan, yang komen 5.000.

Artinya apa? Ya itu, kenapa lucu karena kelucuan itu menambah traffic. Makanya saya balas pertanyaan yang nyeleneh-nyeleneh saja. Makanya kalau mau dibalas saya jangan nanya yang formal-formal, nggak kan ke-notice gitu. Nanyanya yang aneh-aneh supaya saya bisa menjawab aneh-aneh, terjadi kelucuan traffic-nya naik.

Keliling Eropa dan Bisnis Skincare

Ridwan Kamil
Ridwan Kamil saat wawancara khusus dengan tim Liputan6.com di Jakarta, Kamis (9/11/2023). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Dengan segala kesibukan saat ini apakah Kang Emil masih sempat motoran atau melukis?

Justru itu, kemarin nih ya saya kasih tahu, 10 tahun jadi wali kota-gubernur itu nggak ada libur karena, ini harus direvisi ya peraturannya, kepala daerah itu nggak ada cuti kecuali sakit atau umrah, sudah itu saja. Sehingga saya selama 10 tahun nggak punya waktu yang proporsional buat anak-anak saya, termasuk almarhum Eril itu.

Jadi yang ada tuh gini, Ril, Zara, Papa lagi di Bali, ke sini ya extend sehari gitu, terus mainlah ibaratnya di Bali. Coba kalikan 10 tahun gitu. Anak-anak kepala daerah itu sebenarnya kasihan gitu karena orangtuanya tidak dikasih cuti.

Nah, kemarin setelah 10 tahun saya memendam ini, saya balas dendam, makanya sama istri 20 kota di Eropa saya naik motor, karena saya memang pemotor beneran gitu kan. Keliling-keliling melihat keindahan Swiss yang memang luar biasa, beda tipislah sama Tanjung Priok ya.

Luar biasa pokoknya. Nah, pulang-pulang ya namanya juga healing-healing ya, ya senang saja gitu. Makanya saya bahagia karena ini mumpung setahun break saya mau jalan-jalan lagi, pengen lihat Aurora Borealis di utara dunia itu, cita-cita bucket list-nya belum.

Kang Emil bagi dong tips tetap romantis dengan istri?

Ya buat para cowok-cowok dengerin nih ya, perempuan itu punya kebutuhan dasar, kebutuhan dasarnya itu adalah selalu ingin dipuji gitu. Jadi para cowok, para suami rajin-rajinlah memuji istri, penampilannya, masakannya, gesturnya apa, dan sebagainya gitu.

Karena saya pemimpin, perlakuan ke istri itu kan harus jadi contoh, itu poinnya. Maka kenapa saya ada posting-posting begitu supaya ya rakyat di bawah kan melihatlah. Oh ternyata begitu adanya kan, makanya saya kan memperlihatan itu tuh sebenarnya natural saja memang sehari-hari seperti itu. Saya kalau nge-WA ngirim pesan kan masih I miss you, I love you, itu bukan diada-ada memang sudah keceplosan yang rutin gitu.

Kalau tips jalan-jalan ke luar negeri gimana?

Itu nggak usah diikuti. Berbahagialah di ukuran sepatu sendiri, yang penting mah mencari kebahagiaan. Tuhan menakdirkan saya mampu pergi ke Eropa bukan berarti semua kebahagiaan itu syaratnya ke Eropa, nggak. Main di Monas, main di pinggir sungai, main ke puncak, yang penting happy.

Tukang becak tuh bahagia lho, hidupnya cukup. Tapi kalau tukang becak harus makan steak di mal di Jakarta itu melebihi ukuran sepatunya, pasti stres. Jadi pesan nih ke Gen-Z ya, kamu jangan mengukur bahagia kamu lewat ukuran bahagia orang lain. Masing-masing punya ukuran sepatu sendiri, yang penting happy saja.

Nah, artinya kebetulan saya ada rezekinya memang punya mimpi keliling pakai motor, ya saya pergi ke negeri yang jauh gitu. Dan alhamdulillah lah. Saya itu orangnya fleksibel ya, tadi yang dicari bahagia ya? Kata siapa selalu makan di restoran bahagia? Nggak juga. Saya mungkin 40 persen makan di pinggir jalan, seperti ke tukang bubur PR di Bandung.

Bahkan waktu Pak Anies datang ke Bandung saya traktir di situ, karena memang enak, bukan karena gengsi-gengsian. Nah jadi itu bahagia. Pergi, ya kalau ada duit pergi keluar, nggak juga nggak ada masalah, saya tuh jalan kaki saja sudah happy.

Ketemu orang, diajak selfie apa pulang-pulang senang kan begitu. Jadi kuncinya traveling itu bukan soal kemananya, tapi dengan siapa? Nah itu. Pergi jauh tapi sendirian ngapain?

Anak saya sekolah di Inggris. Sebelum ke Inggris dia mengatakan, Pap kita father daughter moment yuk? Kita pergi berdua saja Ayah dan anak perempuan. Hayuk ke mana? Kita naik kereta ke Jogja, kita lanjut ke Banyuwangi, kita jalan kaki, kita nginap di hotel murah walaupun saya mampu, maaf ya, nginap bintang 5, anak saya nggak mau, yang penting kita backpacker.

Saya backpackeran, selama 3 hari itu saya berkomunikasi dengan anak perempuan saya sebegitu dalamnya. Lagi nunggu panas di pinggir sungai, ngomongin cita-citanya, lagi ngewarung di Banyuwangi deket air terjun cerita kerinduannya ke kakaknya, jadi keren.

Seorang figur publik atau pejabat itu menurut Kang Emil harus mementingkan penampilan atau tidak?

Sekarang saya tanya balik, lebih enak lihat pemimpin yang semrawut apa yang minimal enak dilihat? Kalau diajak selfie minimal nggak perlu pakai filter kan gitu. Nah jadi saya itu mencoba menjadi lelaki yang proporsional saja. Saya pakai kaos oblong banyak momennya, tergantung momen kan? Kadang pakai jas begini mengikuti situasi.

Dalam dua tahun terakhir banyak yang suka nanya kan, ini rahasianya apa? Saya lucu-lucuan saja, karena banyak wudhu, gitu kan, pencitraan sih. Tapi yang benar adalah saya rajin cuci muka, rajin bersih-bersih, merawat itu saja, nggak berlebihan.

Makanya bagi laki-laki yang kadang-kadang suka cuek ya ukurannya tuh tiga, bersih, cerah, glowing, pilih saja. Tapi jangan nggak ada, kalau nggak itu sudah kotor, kusam kan? Padahal bisa dirawat itu. Nah, gara-gara itu banyak yang nanya kan? Nah, akhirnya saya bilang ya sudah kita cari formula yang biasa saya pakai, mumpung saya setahun ini free, saya mau berbisnis skincare khusus laki-laki.

Sampai saya mendesain khusus wadahnya ya. Kan orang kalau, maaf ya, kalau beli skincare itu ada empat macam diplastikin, ah repot. Saya bikin kayak tumbler yang kalau ditaruh-taruh tinggal dibawa traveling gitu.

Saya sampai seinovatif itu karena tahu lelaki itu nggak mau ribet harus buka-buka tas apa nggak. Tunggu tanggal mainnya, kalau saya wara-wiri di baliho itu lagi jualan skincare, bukan mau nyagub.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya