Liputan6.com, Jakarta - Fenomena El Nino kini tengah menjadi perbincangan. Sebab, El Nino disebut menjadi salah satu penyebab melambungnya harga bahan pangan saat ini.
Gangguan iklim yang disebabkan oleh El Nino menyebabkan tingkat produksi petani terganggu, sehingga turut berimbas pada harga jual kepada konsumen.
Baca Juga
Melansir dari laman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) www.bmkg.go.id Senin (4/3/2024), El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian timur dan tengah yang lebih tinggi dari normalnya.
Advertisement
Sementara, permukaan laut di wilayah Pasifik bagian barat dan perairan Indonesia yang biasanya hangat (warm pool) menjadi lebih dingin dari normalnya.
Pada saat terjadi El Nino, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik bagian tengah. Sehingga menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.
Berkurangnya curah hujan akan menyebabkan kekeringan parah, disertai dengan potensi peningkatan kebakaran hutan, defisit air permukaan yang mengakibatkan defisit penyimpanan air di waduk, danau, dan sungai.
"Kekeringan parah yang diakibatkan oleh El Nino bisa menyebabkan adanya peningkatan potensi puso atau gagal panen pada sektor pertanian, khususnya padi," ujar Peneliti Ahli Utama (Research Professor) dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Edvin Aldrian dalam paparannya di The 3rd International Conference on Radioscience, Equatorial Atmospheric Science and Environment (INCREASE) 2023.
"Sehingga, El Nino juga mengharuskan pemerintah mengimpor beras, membuat pompa, dan meningkatkan kualitas irigasi dan sumber daya air," sambung dia.
Lantas, apakah itu sebenarnya fenomena El Nino yang terjadi di Indonesia hingga jadi salah satu penyebab melambungnya harga pangan? Berikut dihimpun Liputan6.com dari berbagai sumber:
Mengetahui Apa sebenarnya El Nino
Dilansir dari BMKG, istilah El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang berarti 'anak laki-laki'. El Nino awalnya digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang pesisir Peru dan Ekuador.
Kondisi yang muncul sejak berabad-abad lalu ini dinamai oleh para nelayan Peru sebagai El Niño de Navidad, yang berarti kelahiran anak laki-laki, karena biasanya terjadi pada bulan Desember menjelang natal. Karena waktu yang berdekatan, fenomena tersebut disamakan dengan nama yang disematkan pada Kristus.
Menghangatnya perairan di wilayah Amerika Selatan ini berkaitan dengan anomali pemanasan lautan yang lebih luas di Samudera Pasifik bagian timur, bahkan dapat mencapai garis batas penanggalan internasional di Pasifik tengah.
Ada pun iklim di Samudera Pasifik dapat bervariasi dalam tiga kondisi (fase):
1. Fase Netral: Angin pasat berhembus dari timur ke arah barat melintasi Samudra Pasifik menghasilkan arus laut yang juga mengarah ke barat dan disebut dengan Sirkulasi Walker. Selama fase Netral, suhu muka laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dari bagian timur Pasifik.
2. Fase El Nino: Angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.
3. Fase La Nina: Embusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Bagi Indonesia, hal ini berarti risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
Dalam istilah ilmu iklim saat ini, El Nino menunjukkan kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian timur dan tengah yang lebih panas dari normalnya, sementara anomali suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian barat dan perairan Indonesia yang biasanya hangat (warm pool) menjadi lebih dingin dari normalnya.
Pada saat terjadi El Nino, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik bagian tengah sehingga menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.
Advertisement
Penyebab Terjadinya El Nino
El Nino Dipicu oleh peningkatan suhu permukaan air di Samudra Pasifik Tengah dan Timur. Perubahan suhu ini menyebabkan pergeseran angin dan arus laut, yang mengubah pola cuaca secara global.
Dilansir dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (National Aeronautics and Space Administration; disingkat NASA), El Nino terjadi secara alami dan berulang dalam jangka waktu tertentu, biasanya dalam rentang 2-15 tahun sekali. Penyebab dari terjadinya fenomena ini adalah sebagai berikut:
1. Pemanasan Suhu Permukaan Laut.
Biasanya, angin pasat berhembus dari timur ke barat di kawasan Samudra Pasifik. Angin ini mendorong air hangat ke arah barat sehingga menyebabkan permukaan air di wilayah barat Samudra Pasifik menjadi lebih hangat daripada di wilayah timur.
2. Redaman Bawah Permukaan
Dalam kondisi normal, lapisan air hangat di wilayah barat Pasifik tersebut didorong oleh angin pasat ke bawah permukaan laut. Akibatnya, lapisan air lebih hangat ini terperangkap di bawah permukaan laut yang lebih dingin di wilayah timur.
3. Perubahan Sirkulasi Atmosfer
Ketika El Nino mulai berkembang, angin pasat melemah atau bahkan berbalik arah, sehingga menyebabkan air hangat yang sebelumnya terperangkap di bawah permukaan laut di wilayah barat naik ke permukaan. Air hangat ini kemudian mengalir ke arah timur dan menyebabkan peningkatan suhu permukaan laut di wilayah Timur Pasifik.
4. Perubahan Pola Cuaca Global
Peningkatan suhu permukaan laut di wilayah Timur Pasifik mempengaruhi pola cuaca global dengan mengubah distribusi panas di atmosfer. Dampaknya dapat dirasakan di seluruh dunia, termasuk peningkatan suhu, perubahan pola hujan, dan anomali cuaca lainnya.
Dampak pada Bidang Pertanian di Indonesia
Dengan meningkatnya derajat anomali suhu permukaan laut di wilayah El Nino, akan terjadi penurunan curah hujan bulanan di wilayah Indonesia berkisar 0-55 mm.
Berdasarkan keterangan Penyuluh Pertanian dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Provinsi Bali Kadek Leni, dampak yang terjadi dari El Nino terlihat pada penurunan debit sungai serta berkurangnya tinggi muka air waduk dan muka air tanah.
"Hal ini bisa memberikan dampak signifikan terhadap sektor pertanian. Mulai dari kekeringan yang mengurangi ketersediaan air irigasi, menyebabkan penurunan produksi tanaman, hingga gagal panen," kata Kadek Leni.
Selain itu, El Nino juga bisa menimbulkan penyakit tanaman akibat perubahan pola cuaca, seperti peningkatan suhu dan kelembaban rendah. Beberapa penyakit seperti hawar daun, layu, dan penyakit lainnya berpotensi menyebar cepat membuat kerugian besar pada tanaman pertanian.
Lalu, perubahan pola hama semisal wereng padi, ulat grayak, dan kutu daun mampu berkembang biak cepat di bawah kondisi panas dan kering.
Kondisi ini bisa memicu buah-buahan dan sayuran yang tumbuh dalam kondisi yang tidak ideal cenderung memiliki ukuran yang lebih kecil, rasa yang kurang enak, dan kualitas yang buruk secara keseluruhan.
Perubahan ini akan menyebabkan ketidakstabilan pasar. Gagal panen atau panen dengan kualitas buruk dapat menyebabkan pasokan dapat berkurang, yang kemudian memicu kenaikan harga dan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Advertisement
Jadi Satu-satunya Penyebab Kenaikan Harga Beras?
Meski pun menjadi salah satu pemicu naiknya harga beras, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menerangkan, El Nino bukan penyebab tunggal atas kenaikan harga beras.
"Produksi padi sudah menurun selama dua tahun terakhir. Berdasarkan data yang disampaikannya, pada 2022 berkisar 31 juta ton lebih, sementara pada 2023 menjadi 30,9 juta ton turun sekitar 400 ribu sampai 500 ribu ton," ucap Khudori.
Dia menjelaskan, faktor lain yang membuat harga beras di pasaran naik yakni banyak aneka bantuan yang dikucurkan oleh pemerintah seperti bantuan pangan dalam bentuk beras (natura) dan bantuan sosial lain.
Meski pun beberapa bantuan diberikan dalam bentuk uang dan bukan barang, tetapi jika pemerintah membeli beras ke pasar dalam jumlah besar di waktu bersamaan, maka pasti punya tekanan pada harga.
Permintaan pada masa kampanye Pemilu 2024 juga menjadi meningkat karena banyak aktivitas dari sebagian besar peserta pemilu yang memborong beras dan pangan dalam jumlah besar. Entah itu untuk serangan fajar, ataupun bagi-bagi sembako dan sebagainya.
Sementara itu, Pakar Pertanian dari Universitas Lampung Bustanul Arifin, juga menambahkan bahwa selain El Nino, kondisi ekonomi beras global juga berpengaruh terhadap harga beras di Indonesia.
"Mungkin masih ingat bahwa pada Juli 2023 India melarang ekspor beras. Pertimbangannya politis, PM Modi menghadapi Pemilu pada 2024. Dia tidak ingin harga domestik beras India naik signifikan," ungkapnya.
"PM juga menikmati efek pemberitaan setelah beberapa negara datang ke India, berunding, minta dikecualikan dari kebijakan larang ekspor beras, misalnya, negara yang telah datang ke Delhi adalah Singapura, Butan, Mauritania dan lain-lain. Akibatnya, harga beras dunia juga naik sangat tinggi, melebihi US$ 620/ton untuk beras medium dan US$ 680/ton untuk beras premium. Ini merupakan rekor tertinggi, bahkan melebih harga ketika Krisis Pangan 2008," sambung dia.
Bustanul bersama beberapa analis pernah mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi kekeringan ekstrim ini. Namun, tak mendapat respons yang berarti.
Di sisi lain, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan memiliki pandangan lain. Namun, Eddy tak bisa menyimpulkan bahwasanya El Nino berdampak kepada kenaikan harga beras.
"Saya hanya fokus kepada bagaimana perilaku El Nino," ujar dia.
Eddy kemudian mengulas perilaku El Nino sejak Mei 2023 hingga 2024. Eddy menjelaskan bahwa intensitas El Nino tergolong moderat karena berkisar antara 1.0 dan tidak sampai 2.0. Hanya saja, kata dia, durasinya sedikit lebih panjang.
"Diperkirakan sampai April 2024, sudah kembali netral," kata Eddy Hermawan saat dihubungi pada Senin (26/2/2024).
Eddy kemudian mencoba membandingkan El Nino pada tahun 1997, 1998, dan 2015. Kala itu, intensitasnya tergolong ekstrim. "Tapi durasinya pendek hanya enam bulan," ungkapnya.
Riwayat El Nino
Sebelum 2023-2024, dalam 30 tahun terakhir memang hanya terdapat dua peristiwa El Nino ekstrem. Pertama pada 1997-1998, dan kedua pada 2015-2016.
Disebut-sebut, tahun 2015-2016 merupakan tahun dengan El Nino terekstrim di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir berdasarkan Suhu Permukaan Laut (SPL).
Tahun 2015-2016 memang sempat diberikan predikat El Nino terparah dan terkuat dalam sejarah. Saat itu, sistem cuaca di dunia menjadi kacau. Banjir dan kenaikan suhu juga menyapu belahan bumi bagian utara.
Pada 2016, SPL menurun dan menjadikan El Nino disebut dalam kondisi normal.
Sementara itu, pada tahun 2017, yang terjadi adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO), siklus yang berputar sebelum terjadinya El Nino dan dingin tak normal akibat La Nina. Dengan kata lain, tahun 2017 merupakan tahun “netral”.
El Nino dengan kekuatan lemah terjadi dari Oktober 2018 sampai Maret 2020. Pada periode tersebut nilai anomali tertinggi terjadi pada November 2018 sebesar 0,98°C. Kondisi El Nino tahun 2015 dan 2019 telah menyebabkan Indonesia mengalami kemarau panjang hingga menyebabkan kebakaran lahan termasuk lahan pertanian dan penurunan produksi pertanian.
Kondisi ini sesuai dengan hasil yang disampaikan Irawan (2016) bahwa frekuensi kejadian El Nino cenderung meningkat dengan durasi yang semakin panjang, tingkat anomali iklim yang semakin besar, dan siklus kejadian yang semakin pendek.
Berdasarkan data anomali SPL diketahui Indonesia mengalami La Nina pada Oktober 2020 sampai Maret 2021 dengan intensitas lemah yang bersamaan dengan musim penghujan pada periode tersebut. Setelah fenomena La Nina tersebut diikuti musim kemarau normal dari bulan April sampai September 2021. Pada Oktober 2021 sampai Desember 2022, Indonesia mengalami La Nina dengan intensitas lemah sampai sedang selama 1,5 tahun berturut-turut.
Sementara pada awal Desember 2023, SPL di wilayah Nino mencapai 3.4, masih melewati batas normalnya dengan nilai indeks mencapai +1.886 pada dasarian II Desember 2023, nilai indeks ENSO > +0.5 diprediksi terus bertahan setidaknya hingga April 2024.
Advertisement
Prediksi Kondisi El Nino 2024
Dalam "Climate Outlook 2024" atau "Pandangan Iklim 2024", Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2024, gangguan iklim dari Samudra Pasifik yaitu ENSO diprakirakan akan berada pada fase El Nino lemah-moderat di awal tahun 2024, kemudian selanjutnya hingga akhir tahun 2024 diprediksikan berada pada fase Netral.
"Fase Netral akan bertahan hingga akhir tahun 2024. Namun, terdapat peluang kecil bahwa ENSO akan berkembang menjadi fase La Nina pada semester kedua 2024," kata Dwikorita dalam laporannya.
Ada pun berdasarkan laporan Climate Outlook 2024 yang dirilis BMKG, indeks El Nino kali ini diperkirakan akan berada pada kisaran anomali +0,94 hingga +0,06 atau lemah hingga netral.
"Pertimbangan lainnya karena kondisi El Nino lemah di periode musim hujan sudah tidak berdampak bagi curah hujan di Indonesia," ungkap dia.
Dalam outlook yang dirilis pada 21 Januari 2024 itu, BMKG juga mengungkapkan, pada awal tahun hingga kuartal pertama 2024, curah hujan pada musim hujan diprediksi normal, kecuali Indonesia bagian selatan yang diprediksi di bawah normal.
Sementara curah hujan pada kuartal kedua, yakni awal musim kemarau diprediksi secara umum normal pada pertengahan tahun.
Kemudian di awal musim hujan pada kuartal ketiga hingga akhir tahun diperkirakan berada pada kecenderungan lebih rendah dari normalnya.
Meskipun secara umum curah hujan diprediksi normal, BMKG memperingatkan sejumlah wilayah di Indonesia berpotensi mengalami curah hujan tahunan tinggi, yakni lebih dari 2.500 mm per tahun. Sehingga tidak akan lebih parah dari tahun 2015.