Liputan6.com, Jakarta Kolaborasi multi-pihak diperlukan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dampak nyata dari dukungan pendanaan global untuk SDGs tersebut harus lebih utama ketimbang keuntungan ekonominya.
Hal itu disampaikan CEO Tanoto Foundation Benny Lee pada Thematic Session di pertemuan High Level Forum on Multi-Stakeholder Partnership (HLF-MSP) 2024 di Bali, 3 September 2024. Agenda yang dihelat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI ini berupaya mengajak dunia untuk bersama-sama menghadapi berbagai tantangan global.
Baca Juga
Dengan tema Sthrengthening MSP for Development: Towards a Transformatif Change, forum ini memfasilitasi seluruh pemangku kepentingan dalam menciptakan solusi inovatif dan aksi nyata, sehingga negara-negara di dunia dapat mencapai kemajuan secara berkelanjutan.
Advertisement
Dalam sesi Thematic Session: Scalling Up SDG’s Financing Effectiveness: Stronger Commitments Greater Actions, Benny menyatakan Tanoto Foundation berkomitmen memberikan dukungan pendanaan yang berdampak nyata terhadap pembangunan berkelanjutan.
“Dengan waktu kurang dari enam tahun hingga 2030, capaian SDGs memerlukan pendekatan multi-pihak guna mendorong percepatan di tingkat lokal sekaligus menyadari perlunya mengatasi kesenjangan antara pembiayaan SDGs dan efektivitas program-programnya,” paparnya.
Untuk itu, Tanoto Foundation telah menginisiasi sejumlah program kolaboratif. Program tersebut antara lain PASTI (Partnership To Accelerate Stunting Reduction In Indonesia) yang digencarkan untuk mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia. Program ini sesuai target pemerintah dalam menekan prevalensi stunting pada balita.
Melalui program ini, Tanoto Foundation tidak bergerak sendiri, melainkan berkolaborasi dengan banyak pihak, seperti BKKBN, USAID, Amman Minerals, BCA, Bakti Barito, dan Wahana Visi Indonesia. Kemitraan ini menyediakan pendanaan untuk mendukung pelaksanaan program BKKBN selama empat tahun, dimulai pada tahun 2022. Bertindak sebagai katalis, Tanoto Foundation menggalang dukungan finansial dan mengawasi desain program, pemilihan area, dan proses pemantauan untuk memastikan dampak yang menyeluruh.
Selain PASTI, Tanoto Foundation juga memprakarsai SDG Academy Indonesia yang menekankan pentingnya penguatan kapasitas baik secara internal maupun eksternal. Menggandeng UNDP dan Bappenas, program ini memberi pelatihan pada lebih dari 15.000 individu dan memberikan sertifikasi kepada 400 sosok-sosok pemimpin yang sesuai SDGs.
“Untuk mendukung pencapaian SDGs, para aktor dan pihak terkait harus memiliki kapasitas mencapainya. Selain itu SDGs juga perlu disesuaikan dengan konteks lokal atau kebutuhan spesifik di negara yang diintervensi. Karenanya perlu dilakukan localize SDGs. Melalui SDG Academy Indonesia kami berupaya meningkatkan kapasitas dan penyebaran praktik baik di kalangan aktor-aktor non-negara serta menerapkannya inline dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia,” imbuh Benny.
“Selain itu, monitoring dan evaluasi juga menjadi elemen penting. Sebagai filantropi, kami selalu berupa menciptakan dampak yang maksimal dari tiap inisiatif yang ada. Karena itu, kami memonitor dan mengevaluasi program-program kami secara rutin sehingga perbaikan untuk menciptakan dampak yang lebih maksimal dapat terus dilakukan,” sambung Benny.
Benny juga menambahkan bahwa kolaborasi bukan hanya tentang pendanaan, namun juga termasuk mengkolaborasikan pengetahuan dan keahlian masing-masing.
“Kami telah memulai berbagai kerja sama dengan berbagai pihak, bukan hanya untuk mengumpulkan sumber daya, melainkan juga berbagi pengalaman, pengetahuan, dan jejaring, yang tentu akan melengkapi satu sama lainnya dalam mencapai tujuan kemitraan,” tutup Benny.
Dalam sesi HLF-MSP 2024 tersebut, sebelumnya mengemuka adanya kesenjangan antara komitmen dan kontribusi nyata dalam pendanaan global terutama bagi negara-negara berkembang. Sebagai contoh, komitmen Development Assistance Committee (DAC) hanya 5 negara yang konsisten memenuhi komitmen tersebut. Dalam pendanaan iklim, negara-negara maju baru memenuhi komitmen tersebut pada 2022-2023.
Sejumlah faktor melatari situasi-situasi tersebut, antara lain adanya motif politik dan kurangnya standarisasi global untuk menjamin kuantitas dan kualitas pendanaan. Melalui diskusi di sesi ini, empat prinsip efektivitas pendanaan pembangunan dunia, seperti termuat di Dokumen Nairobi, yakni kepemilikan negara, fokus pada hasil, kemitraan inklusif, dan transparansi dan akuntabilitas harus dipastikan terpenuhi.
Belum Sesuai Jalur
Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Ekonomi dan Sosial Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Li Junhua menyatakan, SDGs belum sesuai jalurnya. Saat ini, kata dia, ada sekitar 600 juta penduduk dunia masih mengalami kemiskinan, sementara 50 persen perempuan tak memiliki akses pembiayaan. Menurutnya, komitmen pendanaan global saat ini mungkin tak selaras dengan prinsip-prinsip SDGs.
“Beberapa upaya sedang dilakukan untuk menyelaraskan hal itu. Kita harus berhasil, berhasil bersama-sama, melalui perubahan secara menyeluruh,” ujar Junhua.
Ia menjelaskan, pembiayaan inovatif harus berfokus pada dampak nyata di negara-negara berkembang.
“Bukan hanya di bidang lingkungan hidup, melainkan juga mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan multi-pihak, secara bilateral dan trilateral. Selain itu, mendorong kolaborasi negara Selatan-Selatan untuk memastikan bahwa aliran dana tersebut efektif,” paparnya.
Advertisement
Pendekatan Komprehensif
Salah satu panelis lain, Sekretaris Pembangunan Nasional Ekuador, Sariva Moya, menyatakan bahwa sejak 2015 pendanaan global memang terus meningkat. Namun tak semua dari alokasi pendanaan itu membuahkan hasil nyata.
Ia pun menekankan perlunya pendekatan komprehensif untuk mengatasi berbagai tantangan pembiayaan tersebut, seperti adanya standar umum dan kerja sama multilateral.
“Tantangan pendanaan inovatif tak dapat diselesaikan sendiri-sendiri, melainkan melalui kolaborasi dan rasa saling percaya,” tandasnya.