Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menilai pemberian hak utama patroli dan pengawalan (patwal) kendaraan pimpinan lembaga negara RI agar dikhususkan hanya untuk presiden dan wakil presiden.
"Untuk kendaraan pimpinan lembaga negara Republik Indonesia dikhususkan cukup bagi presiden dan wakil presiden," kata Djoko dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (27/1/2025) seperti dilansir Antara.
Baca Juga
Hal itu disampaikannya merespons patwal terhadap pejabat negara beberapa waktu belakangan yang menimbulkan persepsi kurang baik di masyarakat, menyusul kasus teranyar patwal terhadap mobil dinas RI 36 yang viral di media sosial.
Advertisement
Menurut dia, pejabat negara lain tidak perlu dikawal seperti halnya presiden dan wakil presiden sebab Jakarta dalam kesehariannya menghadapi hiruk pikuk kemacetan sehingga dapat berimbas kepada pengguna jalan lainnya
"Perhitungkan, sekarang setiap hari lebih dari 100-an kendaraan harus dikawal polisi menuju tempat beraktivitas, jalan-jalan di Jakarta akan semakin macet dan membikin pengguna jalan menjadi stress dengan bunyi-bunyian sirene kendaraan patwal," ujarnya.
Â
Hak Pengguna Jalan
Padahal, lanjut dia, jalan yang dibangun melalui pungutan pajak sudah semestinya semua masyarakat berhak menikmatinya, kecuali ada kekhususan bagi kendaraan tertentu seusai Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Adapun pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan diatur dalam Pasal 134 UU LLAJ, dengan urutan: (a) kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; (b) ambulans yang mengangkut orang sakit; (c) kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas; (d) kendaraan pimpinan lembaga negara RO; (e) kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; (f) iring-iringan pengantar jenazah; dan (g) konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Polri.
"Pada dasarnya menggunakan sarana dan prasarana jalan untuk keperluan berlalu lintas adalah hak asasi setiap orang. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Tidak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku," tuturnya.
Untuk itu, dia menilai pejabat negara bisa menggunakan fasilitas angkutan umum di Jakarta yang sudah memberikan pelayanan dengan cakupannya setara dengan kota-kota di dunia, yakni 89,5 persen wilayah Jakarta.
"Artinya, ketersediaan layanan angkutan umum di Jakarta sudah sedemikian merata tidak jauh berbeda dengan kota dunia lainnya yang masyarakat dan pejabat sudah terbiasa menggunakan angkutan umum. Angkutan umum yang tersedia di Jakarta sudah beragam, seperti ojek, bajaj, mikrolet, bus, KRL, LRT hingga MRT," katanya.
Â
Advertisement
Peka Kehidupan Sosial
Menurut dia, pejabat negara semestinya membiasakan menggunakan angkutan umum, minimal sekali seminggu, dengan demikian akan mengetahui kondisi sebenarnya kehidupan masyarakat.
"Diperlukan pejabat yang peka terhadap kehidupan sosial masyarakat. Hal yang langka di Indonesia, jika bisa menemukan pejabat yang mau setiap hari menggunakan kendaraan umum ke tempat kerja," ucapnya.
Dia menambahkan agar sanksi pidana dan denda bagi setiap orang yang melanggar ketentuan pemberian hak utama kendaraan bermotor dengan menggunakan alat peringatan berupa bunyi dan sinar di luar golongan yang termasuk dalam Pasal 134 UU LLAJ harus ditinggikan agar memberi efek jera.
"Oknum aparat penegak hukum yang mengawal kegiatan tertentu karena menerima sejumlah uang juga harus ditertibkan," kata akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu.