Liputan6.com, Jakarta Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah merevisi Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Dalam revisi itu terdapat pasal perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).
Baca Juga
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansah menyampaikan, perguruan tinggi tidak memiliki pengalaman dan tidak semua mengkaji soal pertambangan secara mendalam.
Advertisement
"Selama ini kan perguruan tinggi enggak punya pengalaman, pengalaman terkait dengan tambang kan. Jadi untuk pengelolaan tentu ini diperlukan satu kebijakan regulasi yang baik, yang komprehensif tentang tata kelolaannya," tutur Trubus kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Trubus menilai, jika aturan tersebut diberlakukan, maka sangat perlu pengaturan prosedur yang jelas dan tepat sasaran. Terlebih, perguruan tinggi terbagi menjadi negeri dan swasta.
"Yang negeri saja itu ada tiga jenis, pertama satuan kerja atau satker, itu perguruan tinggi negeri yang paling bawah (levelnya), kayak UPN itu. Nah yang kedua ada perguruan tinggi tipenya BLU, Badan Layanan Umum, kayak UNJ itu. Nah, kemudian yang tertinggi itu yang nomor satu itu PTNBH, Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, seperti UI, UGM, ITB," jelas dia.
Untuk perguruan tinggi negeri, maka yang cukup layak mendapatkan izin tambang adalah yang berjenis PTNBH, alias tidak semua perguruan tinggi bisa mengelola pertambangan.
Sementara untuk swasta, ada lebih banyak ragam jenis perguruan tinggi, yang sebenarnya tidak bisa begitu saja menggunakan tingkat akreditasi sebagai tolok ukur perizinan kelola tambang.
"Di penjelasannya itu memang berdasarkan akreditasi. Nah akreditasi swasta selama ini ada kategori yang dikelola yayasan, badan wakaf seperti Universitas Islam Indonesia, ada juga yang dikelola oleh perkumpulan. Akreditasinya itu ada yang paling baik itu Unggul, yang kedua ada Sangat Baik, dan Baik," ujar Trubus.
"Nah, tentu ini jadi masalah karena selama ini kan penentuan unggul tidak itu kan ya tidak lepas dari perilaku koruptif. Jadi itu banyak perguruan tinggi yang memperoleh Unggul yang sebenarnya itu tidak sesuai fakta. Kalau ini mengelola tambang bagaimana," kata Trubus.
Baca juga Rapat dengan Baleg DPR soal Tambang, Walhi: Berhentilah Mengikuti Kejahatan Mulyono
Dampak Baik Perguruan Tinggi Kelola Tambang
Menurut Trubus, sisi positif perguruan tinggi mengelola tambang mungkin saja membuat lembaga akademik terkait menjadi lebih mandiri dari sisi finansial. Namun, dia melihat niat pemerintah yang ingin lepas tanggung jawab atas 20 persen dana pendidikan dari APBN.
"Ya jadi disuruh nyari sendiri (pendanaan). Karena Indonesia itu aneh. Kita itu jumlah perguruan tinggi negeri itu jumlahnya sekitar 184 kalau enggak salah. Nah, itu menyedot anggaran 20 persen, itu saja enggak membawa kemajuan. Istilahnya kompetitif dengan perguruan tinggi lain (termasuk dengan swasta)," ungkapnya.
Mungkin saja, lanjut Trubus, perguruan tinggi yang menerima izin tambang nanti akan membebaskan biaya pendidikan alias gratis.
Hanya saja, dia tetap menggarisbawahi, bahwa hanya segelintir saja yang dapat mengurus pertambangan, sesuai dengan regulasi ketat yang diterapkan.
Kemudian, tata kelola perguruan tinggi yang menerima izin tambang harus jauh lebih baik dengan adanya faktor kemandirian, lantaran tidak lagi bergantung pada APBN.
"Jadi dia bisa memberi ruang kepada anak-anak, orang tua masyarakat penghasilan rendah itu supaya digratiskan," kata dia.
Advertisement
Dampak Buruk Perguruan Tinggi Kelola Pertambangan
Sementara dampak buruknya, perguruan tinggi yang mendapatkan izin tambang bisa saja menjadi bungkam atas kritik terhadap pemerintah. Tidak ketinggalan juga kekhawatiran praktik korupsi di lingkungan civitas akademik.
"Ya, itu dari sisi politik. Lebih banyak ke tata kelola, ke pengawasan, kemudian reinforcement, penegakan aturannya. Karena kan di kita ini seringkali aturan yang dibikin itu malah ditabrak-tabrak kan. Jadi kita itu banyak undang-undang, diberikan undang-undang itu untuk dilanggar," tuturnya.
Trubus menegaskan, harus ada tolok ukur selain dari penilaian akreditasi kampus, khususnya bagi perguruan tinggi swasta. Misalnya dengan mengukur seberapa besar kontribusi kampus bagi masyarakat, hingga lama berdirinya universitas tersebut.
"Misalnya universitas yang sudah lama, Atma Jaya, Trisakti, swasta kan, Pancasila, itu UKI misalnya, yang sudah lama. Saya khawatir nanti banyak disuap itu nanti kalau (urusan izin tambang), terus perguruan tinggi baru muncul hanya untuk nyari itu, dibuat-buat," kata Trubus.
"Itu yang bahaya, di kita ini karena perguruan tinggi itu sering dijadikan oleh swasta-swasta, konglomerat terutama, itu untuk pengalihan pajak," Trubus menandaskan.
Â