Liputan6.com, Jakarta - Revolusi Artificial Intelligence (AI) mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk cara masyarakat beragama. AI tidak hanya mempercepat akses terhadap informasi keagamaan, tetapi juga menggeser otoritas tradisional dalam tafsir agama.
Dalam konteks ini, Denny JA memperkenalkan teori baru yang menghubungkan sosiologi agama dengan revolusi AI. Suatu perspektif yang oleh Budhy Munawar-Rahman disebut sebagai 'Teori Denny JA tentang Agama dan Spiritualitas di Era AI'.
Baca Juga
Teori Denny JA ini sejalan dengan survei seorang dosen UIN Bandung pada tahun 2020. Survei itu menemukan 58 persen generasi milenial lebih memilih belajar agama melalui media sosial seperti Instagram dan YouTube dibandingkan dengan menghadiri pengajian langsung dari pemuka agama.
Advertisement
Teori Denny JA ini mulai diajarkan di berbagai kampus negeri dan swasta di Indonesia, baik sebagai mata kuliah mandiri maupun bagian dari kurikulum sosiologi agama dan filsafat.
Denny JA memperluas kajian para pemikir besar seperti Edward Burnett Tylor, Karl Marx, Émile Durkheim, dan Max Weber dengan menambahkan dimensi baru mengenai bagaimana AI mempengaruhi akses, interpretasi, dan peran sosial agama di era digital.
Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta Anick HT mengatakan teori ini tidak menggantikan sosiologi agama klasik, tetapi melengkapi dan memperkaya pemahaman tentang interaksi agama dengan perkembangan zaman.
"Agama selalu menjadi fenomena sosial yang dinamis. Dengan hadirnya AI, kita menyaksikan perubahan besar dalam akses terhadap informasi, interpretasi teks suci, dan peran sosial agama dalam masyarakat," ujar Anick dalam keterangannya, Minggu (16/2).
Anick menjelaskan, aspek utama dalam Teori Denny JA adalah pergeseran otoritas keagamaan akibat AI dan dunia digital. Menurut dia, dulu, akses terhadap pemahaman agama dikendalikan oleh pemuka agama dan institusi keagamaan. Tafsir agama diwariskan secara hierarkis melalui ulama, pendeta, atau guru spiritual.
Kini, kata Anick, AI memungkinkan siapa pun untuk mengakses ribuan tafsir dari berbagai tradisi hanya dalam hitungan detik, menerjemahkan teks ke dalam berbagai bahasa, serta membandingkan konteks sejarah dan sosial dalam agama.
“Pemuka agama tetap memiliki tempat dalam membimbing komunitas, tetapi kini bukan lagi satu-satunya sumber rujukan,” tambah Anick.
Penerapan AI dalam Pemahaman Agama
Anick mencontohhkan, di Arab Saudi, AI mulai digunakan untuk menjawab pertanyaan seputar Islam berdasarkan kitab-kitab klasik. AI juga dipakai dalam penerjemahan kitab suci.
"Teknologi ini memungkinkan akses lebih luas ke teks keagamaan dalam berbagai bahasa, mempercepat penyebaran pemahaman agama secara global," papar Anick.
Berikutnya, asisten AI untuk ritual keagamaan di Jepang. Beberapa kuil Buddha menggunakan robot untuk membacakan doa bagi para jamaah.
"Algoritma AI mulai digunakan untuk menganalisis pola perubahan keyakinan dan praktik spiritual dalam masyarakat global," imbuh Anick.
Untuk itu, kata Anick, teori Denny JA melengkapi sosiologi agama klasik dengan memberikan perspektif baru mengenai agama di era AI. Teknologi tidak akan menggantikan esensi pengalaman spiritual, tetapi akan mengubah cara manusia berinteraksi dengan agama dan mencari makna hidup.
"AI mengubah posisi otoritas agama, tetapi tidak menggantikan pengalaman spiritual. Agama akan bertahan, beradaptasi, dan menemukan cara baru untuk memberikan makna bagi kehidupan manusia," tutup Anick.
Advertisement
