SETARA Institute Sebut RUU TNI Masih Beri Ruang Dwifungsi Tentara dan Militerisme

Pemerintah sudah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI ke DPR RI pada Selasa, 11 Maret 2025. Meski begitu, draft tersebut dinilai masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap dapat mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme.

oleh Nanda Perdana Putra Diperbarui 14 Mar 2025, 14:25 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2025, 14:25 WIB
FOTO: TNI AD Gelar Apel Pasukan di Monas
Prajurit TNI AD mengikuti Apel Gelar Pasukan Jajaran TNI AD di Lapangan Monas, Jakarta, Selasa (25/1/2022). Pasukan TNI AD dan Alutsista dipamerkan saat mengikuti gelar apel pasukan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah sudah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI ke DPR RI pada Selasa, 11 Maret 2025. Meski begitu, draft tersebut dinilai masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap dapat mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme.

Ikhsan Yosarie dari SETARA Institute yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemanan menyampaikan, sejak awal pihaknya menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidak memiliki urgensi. Sebab, UU TNI No. 34 tahun 2004 masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional, sehingga belum perlu diubah.

“Yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam Konstitusi,” tutur Ikhsan dalam keterangannya, Jumat (14/3/2025).

Koalisi masyarakat sipil menilai, secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah. Pertama, perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI.

“Untuk di kantor Kejaksaan Agung, penempatan ini tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum. Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu,” jelas dia.

Sejak awal dibentuk, kata Ikhsan, pihaknya sudah mengkritisi keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Kejaksaan Agung yang sejatinya tidak diperlukan lantaran hanya menangani perkara koneksitas dan semestinya tidak perlu dipermanenkan menjadi sebuah jabatan.

“Untuk kepentingan koneksitas sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan tim Kejaksaan Agung dan oditur militer. Lagipula, peradilan koneksitas selama ini juga bermasalah karena seringkali menjadi sarana impunitas,” ungkap dia.

 

Promosi 1
Penyempitan

Penyempitan

Dia mengatakan, peradilan koneksitas pun sepatutnya dihapus lantaran jika militer atau sipil terlibat tindak pidana umum maka akan langsung tunduk dalam peradilan umum, sehingga tidak perlu koneksitas.

Dengan demikian, penambahan jabatan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidaklah tepat, termasuk keberadaan Jampidmil.

Penempatan TNI aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga diyakini tidak tepat. KKP merupakan lembaga sipil, sehingga tidak seharusnya ditempati oleh prajurit TNI aktif.

“Prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan di KKP sudah seharunsya mengundurkan diri,” ujarnya.

Hal sebenarnya yang diperlukan, lanjut Ikhsan, bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, namun justru penyempitan, pembatasan, dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI.

“Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah,” terangnya.

 

Dipandang Berlebihan

Selain itu, koalisi menilai penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas, seperti misalnya ikut menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan. Penanganan narkoba semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum.

Sebagai alat pertahanan negara, TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya. Sebab, penanganan narkotika seharusnya lebih menekankan pada aspek medis, dan penegakan hukum pun harus melakukannya secara proporsional, artinya tidak represif atau bahkan justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya.

“Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi war model dengan melibatkan militer di dalamnya dan bukan criminal justice sistem model lagi sehingga ini berbahaya karena akan membuka potensi execive power,” tuturnya.

Lebih berbahaya lagi, sambung Ikhsan, pelibatan tentara dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34 Tahun 2004, namun akan diatur lebih lanjut dalam PP sebagaimana draft RUU TNI.

“Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri,” tukasnya.

Atas dasar hal tersebut, koalisi dengan tegas menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR, sebab masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan Dwi Fungsi TNI dan militerisme di Indonesia.

“Pernyataan kepala komunikasi presiden yang menilai tidak ada Dwi Fungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat dan tidak memahami permasalahan yang ada dalam RUU TNI,” Ikhsan menandaskan.

Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya