Liputan6.com, Jakarta: Sidang Tahunan MPR masih berlangsung alot. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya. Mereka berkeras untuk memperjuangkan nama baik Soekarno dipulihkan, terutama Ketetapan MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 yang mengakhiri kekuasaan Soekarno dicabut dalam ST MPR kali ini. Sikap PDIP ini jelas bertentangan dengan sejumlah fraksi lainnya yang menilai TAP MPRS itu harus tetap berlaku dan tak bisa ditawar lagi. Demikian pemantauan SCTV pada hari kedua ST MPR di Jakarta, Sabtu (2/8) [baca: Komisi Rekomendasi Kemungkinan Terbentuk].
F-PDIP juga memandang pemulihan atau rehabilitasi Soekarno sangat penting sekarang mengingat itikad TAP MPRS yang kontroversial tersebut sudah dilaksanakan presiden saat itu, Soeharto. Terutama Pasal 6 TAP MPRS XIII yang berbunyi penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Presiden Soekarno diserahkan kepada Pejabat Presiden Soeharto. Sebelum perhelatan ST MPR digelar, FPDIP memang berniat membawa TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pelarangan Ajaran Komunisme untuk dikoreksi [baca: Sejumlah TAP MPR Akan Dibawa ke ST].
Menurut anggota F-PDIP Permadi, TAP MPRS XXXIII itu adalah pemasungan terhadap Bung Karno. Permadi beralasan, masih ada Pasal 6 yang intinya menyebutkan Pejabat Presiden Soeharto masih mempunyai kewajiban tindakan hukum terhadap Bung Karno. "[Namun] sampai hari ini belum dilakukan. Jadi itu masih jadi kabut. Status BK [Bung Karno] jadi terkatung-katung," ucap Permadi. Kendati demikian, Permadi menawarkan kompromi dengan fraksi lainnya, yaitu hanya mencabut Pasal 6 TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967.
Permadi memang boleh beralasan demikian. Namun dalam sebuah diskusi di Jakarta, kemarin pagi, sejarawan Anhar Gonggong menyatakan tak sependapat dengan usul pencabutan TAP MPRS/XXV/1966 dalam ST MPR kali ini. Apalagi, selama ini, TAP MPRS tersebut telah digunakan untuk pengambilan berbagai keputusan penting di Indonesia. "Saya tetap tidak setuju kalau TAP itu dicabut dengan alasan bahwa itu sesuatu yg pernah digunakan dalam menyelesaikan persoalan. Tetapi persoalan lain timbul. Bahwa sekarang siapa lagi yang pergunakan itu [TAP MPRS No XXV/MPRS/1966]. Andai Anda ke toko buku, segala larangan komunisme, kan , tetap dilarang atau dijalankan," ujar Anhar.
Kendati demikian, Anhar menyayangkan, jika selama ini TAP MPRS tersebut telah digunakan untuk menghalang-halangi hak keturunan anggota PKI yang lazim disebut dosa turunan. Karena itu bila memang anggota MPR sepakat mencabut TAP MPR ini, keputusan itu harus diterima oleh seluruh anggota masyarakat.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)
F-PDIP juga memandang pemulihan atau rehabilitasi Soekarno sangat penting sekarang mengingat itikad TAP MPRS yang kontroversial tersebut sudah dilaksanakan presiden saat itu, Soeharto. Terutama Pasal 6 TAP MPRS XIII yang berbunyi penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Presiden Soekarno diserahkan kepada Pejabat Presiden Soeharto. Sebelum perhelatan ST MPR digelar, FPDIP memang berniat membawa TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pelarangan Ajaran Komunisme untuk dikoreksi [baca: Sejumlah TAP MPR Akan Dibawa ke ST].
Menurut anggota F-PDIP Permadi, TAP MPRS XXXIII itu adalah pemasungan terhadap Bung Karno. Permadi beralasan, masih ada Pasal 6 yang intinya menyebutkan Pejabat Presiden Soeharto masih mempunyai kewajiban tindakan hukum terhadap Bung Karno. "[Namun] sampai hari ini belum dilakukan. Jadi itu masih jadi kabut. Status BK [Bung Karno] jadi terkatung-katung," ucap Permadi. Kendati demikian, Permadi menawarkan kompromi dengan fraksi lainnya, yaitu hanya mencabut Pasal 6 TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967.
Permadi memang boleh beralasan demikian. Namun dalam sebuah diskusi di Jakarta, kemarin pagi, sejarawan Anhar Gonggong menyatakan tak sependapat dengan usul pencabutan TAP MPRS/XXV/1966 dalam ST MPR kali ini. Apalagi, selama ini, TAP MPRS tersebut telah digunakan untuk pengambilan berbagai keputusan penting di Indonesia. "Saya tetap tidak setuju kalau TAP itu dicabut dengan alasan bahwa itu sesuatu yg pernah digunakan dalam menyelesaikan persoalan. Tetapi persoalan lain timbul. Bahwa sekarang siapa lagi yang pergunakan itu [TAP MPRS No XXV/MPRS/1966]. Andai Anda ke toko buku, segala larangan komunisme, kan , tetap dilarang atau dijalankan," ujar Anhar.
Kendati demikian, Anhar menyayangkan, jika selama ini TAP MPRS tersebut telah digunakan untuk menghalang-halangi hak keturunan anggota PKI yang lazim disebut dosa turunan. Karena itu bila memang anggota MPR sepakat mencabut TAP MPR ini, keputusan itu harus diterima oleh seluruh anggota masyarakat.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)