Mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Djoko Sarwoko, sudah diperiksa Komisi Yudisial (KY), Selasa 1 Oktober kemarin. Pemeriksaan itu terkait dikabulkannya peninjauan kembali (PK) yang diajukan buronan kasus BLBI Sudjiono Timan.
Salah seorang sumber terpercaya di KY menyebutkan sesuatu yang mengejutkan. Yakni, ada berkas yang hilang dalam perkara PK Sudjiono. Berkas itu merupakan pendapat hukum Djoko Sarwoko yang menyatakan menolak mengabulkan PK Sudjiono.
"Ada berkas hilang yang itu merupakan pendapat dari Pak Djoko, kan dia menolak. Nah, berkasnya itu hilang," kata sumber tersebut, Rabu (2/10/2013).
Pihaknya mengetahui berkas itu hilang dari mulut Djoko sendiri saat memberi klarifikasi ke KY kemarin. Djoko pun ditanya tahu dari mana berkas berisikan pendapat hukumnya itu hilang. "Dia bilang tahunya dari Suhadi (Suhadi)," ujar sumber itu. Suhadi merupakan Ketua Majelis PK Sudjiono.
Dia melanjutkan, tentu hilangnya berkas tersebut harus ditelusuri. Sebab, berkas itu merupakan bagian penting yang terpisahkan dalam putusan PK Sudjiono. "Ini harus ditelusuri. Kalau kita menemukan bukti, ini berarti ada unsur pidananya (hilangnya berkas)," katanya.
Dia melanjutkan, bila melihat seksama dari berkas yang hilang itu, patut diduga ada rekayasa yang bermuara pada putusan Majelis PK.
"Berarti ini kan ada rekayasa, ada yang bermain. Soalnya ini ada berkas yang hilang, dokumen negara," ucap dia.
"Kan kalau Pak Suhadi membaca berkas itu mungkin dia sependapat (menolak). Tapi karena bekas itu hilang, berarti ada masalah sengaja dihilangkan supaya tidak dibaca hakim lain. Padahal kan berkas itu jadi pertimbangan hakim lain juga," paparnya.
Pendapat Hukum Berbeda
Pada Selasa kemarin, Djoko Sarwoko memberi keterangannya ke KY terkait PK Sudjiono Timan yang dikabulkan MA. Sebelum pensiun sebagai hakim agung, kata Djoko, dirinya memang ditunjuk untuk menjadi ketua majelis PK Sudjiono bersama hakim agung Andi Samsan Nganro dan Abdul Latief. Dalam pengakuannya, saat itu Djoko bersama Latief memberi pendapat hukum menolak PK Sudjiono. Sementara Andi memberi pendapat mengabulkan.
"Tapi saya lihat kerugian negara besar sekali. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (MA) untuk sidang perkara lebih dari Rp 50 miliar itu majelisnya harus lima orang," kata Djoko di Gedung KY, Jakarta, kemarin.
Saat MA akhirnya menunjuk 5 anggota majelis PK yang terdiri atas 3 hakim agung dan 2 hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Djoko mulai memasuki masa pensiun, sampai akhirnya lepas jabatan pada 31 Desember 2012.
Sebagai ketua majelis, Djoko akhirnya menunjuk hakim pengganti, yaitu Suhadi. Suhadi direkomendasikan oleh Djoko karena dinilai idealis dan berprestasi. Bahkan digadang-gadang menggantikan dirinya sebagai Ketua Kamar Pidana di MA.
"Dia punya pengalaman jadi ketua pengadilan kelas IA, pernah jadi panitera di MA, bahkan saat fit and proper test di DPR dulu itu dia terbaik nomor satu. Saat pelatihan Tipikor di diklat MA juga nomor satu," jelas Djoko.
"Seharusnya kalau dia gunakan ilmu dan pengalamannya, kalau tidak ada pengaruh yang lain, harusnya putusannya bagus," imbuh Djoko.
Meski begitu, lanjut Djoko, bukan berarti dia mengatakan bahwa putusan PK Sudjiono tidak bagus. Hanya karena jadi pembicaraan publik maka putusannya patut dipertanyakan.
Komposisi hakim agung untuk perkara PK itu akhirnya terdiri atas Suhadi, Sri Murwahyuni, Andi Samsan Nganro, Abdul Latief, dan hakim ad hoc Sofyan Marthabaya.
Hasilnya, 4 hakim sepakat menerima PK Sudjiono, sedangkan Sri Murwahyuni memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) alias menolak. Latief yang saat proses awal bersama Djoko memberi pendapat menolak, berbalik menjadi menerima PK tersebut. "Kalau kemudian Latief mengubah (pendirian), ya itu urusan dia," kata Djoko.
MA mengabulkan PK perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Sudjiono Timan. PK itu diajukan oleh istri Sudjiono, Vanni Barki, bersama kuasa hukumnya, Hasdiwati pada 2012 lalu.
PK yang diketuk palu pada 31 Juli 2013 itu dikabulkan oleh Majelis PK yang diketuai oleh Hakim Agung Suhadi dengan anggota Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Sophian Marthabaya, dan 2 hakim ad hoc sebagai anggota.
Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) pun mensinyalir ada 'bau amis' dalam putusan PK Sudjiono tersebut. Mereka menduga ada suap dalam putusan itu.
Sudjiono adalah Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dalam perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono dinilai telah merugikan Negara sebesar US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta.
Kini nama Sudjiono masuk dalam daftar 14 koruptor yang menjadi buronan Kejaksaan Agung. (Mut/Yus)
Salah seorang sumber terpercaya di KY menyebutkan sesuatu yang mengejutkan. Yakni, ada berkas yang hilang dalam perkara PK Sudjiono. Berkas itu merupakan pendapat hukum Djoko Sarwoko yang menyatakan menolak mengabulkan PK Sudjiono.
"Ada berkas hilang yang itu merupakan pendapat dari Pak Djoko, kan dia menolak. Nah, berkasnya itu hilang," kata sumber tersebut, Rabu (2/10/2013).
Pihaknya mengetahui berkas itu hilang dari mulut Djoko sendiri saat memberi klarifikasi ke KY kemarin. Djoko pun ditanya tahu dari mana berkas berisikan pendapat hukumnya itu hilang. "Dia bilang tahunya dari Suhadi (Suhadi)," ujar sumber itu. Suhadi merupakan Ketua Majelis PK Sudjiono.
Dia melanjutkan, tentu hilangnya berkas tersebut harus ditelusuri. Sebab, berkas itu merupakan bagian penting yang terpisahkan dalam putusan PK Sudjiono. "Ini harus ditelusuri. Kalau kita menemukan bukti, ini berarti ada unsur pidananya (hilangnya berkas)," katanya.
Dia melanjutkan, bila melihat seksama dari berkas yang hilang itu, patut diduga ada rekayasa yang bermuara pada putusan Majelis PK.
"Berarti ini kan ada rekayasa, ada yang bermain. Soalnya ini ada berkas yang hilang, dokumen negara," ucap dia.
"Kan kalau Pak Suhadi membaca berkas itu mungkin dia sependapat (menolak). Tapi karena bekas itu hilang, berarti ada masalah sengaja dihilangkan supaya tidak dibaca hakim lain. Padahal kan berkas itu jadi pertimbangan hakim lain juga," paparnya.
Pendapat Hukum Berbeda
Pada Selasa kemarin, Djoko Sarwoko memberi keterangannya ke KY terkait PK Sudjiono Timan yang dikabulkan MA. Sebelum pensiun sebagai hakim agung, kata Djoko, dirinya memang ditunjuk untuk menjadi ketua majelis PK Sudjiono bersama hakim agung Andi Samsan Nganro dan Abdul Latief. Dalam pengakuannya, saat itu Djoko bersama Latief memberi pendapat hukum menolak PK Sudjiono. Sementara Andi memberi pendapat mengabulkan.
"Tapi saya lihat kerugian negara besar sekali. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (MA) untuk sidang perkara lebih dari Rp 50 miliar itu majelisnya harus lima orang," kata Djoko di Gedung KY, Jakarta, kemarin.
Saat MA akhirnya menunjuk 5 anggota majelis PK yang terdiri atas 3 hakim agung dan 2 hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Djoko mulai memasuki masa pensiun, sampai akhirnya lepas jabatan pada 31 Desember 2012.
Sebagai ketua majelis, Djoko akhirnya menunjuk hakim pengganti, yaitu Suhadi. Suhadi direkomendasikan oleh Djoko karena dinilai idealis dan berprestasi. Bahkan digadang-gadang menggantikan dirinya sebagai Ketua Kamar Pidana di MA.
"Dia punya pengalaman jadi ketua pengadilan kelas IA, pernah jadi panitera di MA, bahkan saat fit and proper test di DPR dulu itu dia terbaik nomor satu. Saat pelatihan Tipikor di diklat MA juga nomor satu," jelas Djoko.
"Seharusnya kalau dia gunakan ilmu dan pengalamannya, kalau tidak ada pengaruh yang lain, harusnya putusannya bagus," imbuh Djoko.
Meski begitu, lanjut Djoko, bukan berarti dia mengatakan bahwa putusan PK Sudjiono tidak bagus. Hanya karena jadi pembicaraan publik maka putusannya patut dipertanyakan.
Komposisi hakim agung untuk perkara PK itu akhirnya terdiri atas Suhadi, Sri Murwahyuni, Andi Samsan Nganro, Abdul Latief, dan hakim ad hoc Sofyan Marthabaya.
Hasilnya, 4 hakim sepakat menerima PK Sudjiono, sedangkan Sri Murwahyuni memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) alias menolak. Latief yang saat proses awal bersama Djoko memberi pendapat menolak, berbalik menjadi menerima PK tersebut. "Kalau kemudian Latief mengubah (pendirian), ya itu urusan dia," kata Djoko.
MA mengabulkan PK perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Sudjiono Timan. PK itu diajukan oleh istri Sudjiono, Vanni Barki, bersama kuasa hukumnya, Hasdiwati pada 2012 lalu.
PK yang diketuk palu pada 31 Juli 2013 itu dikabulkan oleh Majelis PK yang diketuai oleh Hakim Agung Suhadi dengan anggota Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Sophian Marthabaya, dan 2 hakim ad hoc sebagai anggota.
Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) pun mensinyalir ada 'bau amis' dalam putusan PK Sudjiono tersebut. Mereka menduga ada suap dalam putusan itu.
Sudjiono adalah Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dalam perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono dinilai telah merugikan Negara sebesar US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta.
Kini nama Sudjiono masuk dalam daftar 14 koruptor yang menjadi buronan Kejaksaan Agung. (Mut/Yus)