Seorang peneliti nuklir Soedardjo yang telah bekerja di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) selama hampir 32 tahun diberhentikan institusinya. Koordinator Kontras Haris Azhar menduga pemecatan terkait kritikan yang kerap dilontarkan.
"Salah satu hal yang membuat Soedardjo prihatin adalah proyek PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) di Bangka Belitung (Babel) terkesan dipaksakan karena dilakukan dengan segala cara, termasuk melanggar hukum," kata Haris di Kontras, Jakarta, Sabtu (12/10/2013).
Menurut Soedardjo, seperti dituturkan Haris, Batan tidak perlu sampai melakukan studi tapak untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Bangka Belitung. Karena berdasarkan peraturan perundangan, Batan tidak punya wewenang terkait PLTN.
"Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran pasal 13, Batan hanya memiliki wewenang terkait reaktor nuklir yang bersifat nonkomersial," kata Haris.
Sedangkan reaktor nuklir komersial alias PLTN, lanjut Haris, wewenang itu berada di tangan BUMN, koperasi dan atau swasta. Oleh karena itu, studi tapak untuk PLTN Babel yang merupakan langkah awal pembangunan PLTN bukanlah wewenang Batan.
Namun kritik tersebut, sambung Haris, tidak diindahkan. Studi tapak tersebut tetap dimulai pada 2011 dan kabarnya sudah selesai dilakukan beberapa bulan lalu. Tak mengherankan bila kemudian Soedardjo juga menyuarakan hal itu ke publik. Batan pun tidak tinggal diam terhadap aktivitas Soedardjo.
"Setelah melakukan berbagai hal secara sistematis untuk mendesak mundur Soedardjo, akhirnya Batan memberi hukuman penurunan pangkat yang diikuti dengan pencopotan dari jabatan peneliti serta pemberhentian terhadap yang bersangkutan menjelang Lebaran Idul Fitri lalu, tepatnya per 1 Agustus 2013," jelas Haris.
Aktivis dan pengamat hukum nuklir Dian Abraham menambahkan, kasus ini adalah bukti energi nuklir dan demokrasi tidak bisa berjalan seiring.
"Sebelum PLTN dibangun pun para pendukungnya sudah menunjukkan energi nuklir memiliki sifat otoritarianisme, serba rahasia dan takut terhadap pikiran yang jujur dari warga masyarakatnya," ujar Dian. (Rmn/Sss)
"Salah satu hal yang membuat Soedardjo prihatin adalah proyek PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) di Bangka Belitung (Babel) terkesan dipaksakan karena dilakukan dengan segala cara, termasuk melanggar hukum," kata Haris di Kontras, Jakarta, Sabtu (12/10/2013).
Menurut Soedardjo, seperti dituturkan Haris, Batan tidak perlu sampai melakukan studi tapak untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Bangka Belitung. Karena berdasarkan peraturan perundangan, Batan tidak punya wewenang terkait PLTN.
"Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran pasal 13, Batan hanya memiliki wewenang terkait reaktor nuklir yang bersifat nonkomersial," kata Haris.
Sedangkan reaktor nuklir komersial alias PLTN, lanjut Haris, wewenang itu berada di tangan BUMN, koperasi dan atau swasta. Oleh karena itu, studi tapak untuk PLTN Babel yang merupakan langkah awal pembangunan PLTN bukanlah wewenang Batan.
Namun kritik tersebut, sambung Haris, tidak diindahkan. Studi tapak tersebut tetap dimulai pada 2011 dan kabarnya sudah selesai dilakukan beberapa bulan lalu. Tak mengherankan bila kemudian Soedardjo juga menyuarakan hal itu ke publik. Batan pun tidak tinggal diam terhadap aktivitas Soedardjo.
"Setelah melakukan berbagai hal secara sistematis untuk mendesak mundur Soedardjo, akhirnya Batan memberi hukuman penurunan pangkat yang diikuti dengan pencopotan dari jabatan peneliti serta pemberhentian terhadap yang bersangkutan menjelang Lebaran Idul Fitri lalu, tepatnya per 1 Agustus 2013," jelas Haris.
Aktivis dan pengamat hukum nuklir Dian Abraham menambahkan, kasus ini adalah bukti energi nuklir dan demokrasi tidak bisa berjalan seiring.
"Sebelum PLTN dibangun pun para pendukungnya sudah menunjukkan energi nuklir memiliki sifat otoritarianisme, serba rahasia dan takut terhadap pikiran yang jujur dari warga masyarakatnya," ujar Dian. (Rmn/Sss)