[OPINI] Menengok Postur RAPBN 2016: Ekspansif dan Distributif

Ini tentu preseden yang tidak baik bagi perekonomian yang butuh kecepatan bertindak.

oleh Liputan6 diperbarui 09 Nov 2015, 19:07 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2015, 19:07 WIB
Ryan Kiryanto
Ryan Kiryanto

Liputan6.com, Jakarta - Pada akhirnya pemerintah bersama DPR menyepakati pengesahan RAPBN 2016 pada 30 Oktober lalu. Semua fraksi sepakat dengan postur RAPBN 2016, kecuali agenda Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 40,42 triliun yang ditangguhkan.

Untuk soal ini, DPR dan pemerintah sepakat menunda pencairan PMN untuk dibahas kembali pada APBN Perubahan 2016. Kementerian BUMN sedianya mendapatkan suntikan PMN untuk 24 BUMN.

Tentu dengan penundaan pembahasan PMN ini, tidak membuat rencana strategis BUMN yang ‘berhak’ menerima PMN menjadi patah semangat.

Rencana strategis tetap harus dilakukan, dengan mengupayakan sumber pendanaan alternatif. Bisa dari perbankan BUMN, bisa pula dari sumber eksternal lainnya. Misalnya melalui penerbitan saham atau obligasi.

Maklum, kini BUMN-BUMN tersebut harus kreatif mencari solusi pendanaan agar proyek-proyek strategis tetap terealisasi, salah satunya berupa pinjaman perbankan lokal.

Penundaan PMN ini jangan sampai berdampak kepada masyarakat yang terganggu oleh terhambatnya pembangunan proyek strategis, utamanya di bidang infrastruktur fisik.

Terkait dengan postur RAPBN 2016, terdapat beberapa catatan atasnya. Pertama, untuk pertama kalinya penggunaan belanja negara 2016 disepakati Rp 2.095 triliun. Ini berarti menembus rekor baru di atas Rp 2.000 triliun.

Tentu ini akan berdampak pada kepercayaan pasar, karena signal anggaran yang ekspansif tampak nyata. Rinciannya adalah belanja pemerintah pusat Rp 1.325,6 triliun, yang terdiri dari belanja kementerian atau lembaga (K/L) senilai Rp 784,1 triliun dan belanja non KL Rp 541,4 triliun (subsidi energi Rp 102,1 triliun‎).

Lalu ada transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 770,2 triliun. Ini pun mencerminkan spirit distribusi ‘kekayaan’ yang merata dalam artian tidak terkonsentrasi di pusat saja.

Harapannya, daerah-daerah dan desa-desa mampu mengelola anggaran yang lebih besar ke sektor-sektor produktif untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.

Pembangunan ekonomi di daerah dan desa akan mendorong masuknya pemodal ke sana, sehingga mampu mengekang hasrat pekerja daerah dan desa untuk merambah kota-kota yang sejatinya sudah makin sumpek.

Kedua, pendapatan negara ditetapkan Rp 1.822,5 triliun. Rinciannya, penerimaan perpajakan senilai‎ Rp 1.546,7 triliun, yang terdiri dari pendapatan pajak dalam negeri Rp 1.‎506,5 triliun dan pendapatan pajak perdagangan internasional Rp 40,1 triliun.

Di sini tentu harus dicermati, penggunaan baseline untuk perhitungan kenaikan pajak: apakah menggunakan basis prognosis realisasi penerimaan pajak 2015 ataukah tetap berdasarkan asumsi target penerimaan pajak 2015 sebagaimana tertuang dalam APBNP 2015.

Ketepatan penggunaan baseline angka ini akan menentukan tingkat keakurasian penerimaan pajak tahun depan. Tidak seperti yang terjadi tahun ini, di mana prognosis penerimaan pajak maksimal hanya berkisar 80% dari yang ditargetkan.

Lalu ada sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 273,8 triliun, yang terdiri dari penerimaan sumber daya alam (SDA) Rp 124,8 triliun, pendapatan laba BUMN Rp 34,1 triliun, PNBP lainnya Rp 79,4 triliun, dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) Rp 35,3 triliun.

Ini masih ditambah dengan penerimaan hibah senilai Rp 2 triliun. Sumber penerimaan nonpajak ini hendaknya bisa dioptimalkan sebagai bumper atau penyangga jika penerimaan pajak tidak tercapai.

Ketiga, dengan demikian pos pembiayaan ditetapkan Rp 273,2 triliun atau 2,15% dari produk domestik bruto (PDB). Dari postur anggaran ini, terlihat spirit ekspansi yang lebih kuat, setidaknya terlihat dari volume belanja, termasuk besaran transfer ke daerah dan desa, yang mengindikasikan distribusi atau pemerataan yang lebih baik.

Keempat, secara substansial RAPBN 2016 bukan hanya soal perbedaan volume belanja dan penerimaan. Asumsi makro juga mengalami perubahan menjadi lebih wajar dan realistis, kendati cukup menantang.

Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,3% dari sebelumnya 5,7% dalam APBN-P 2015. Suatu proyeksi yang konservatif dan wajar di tengah tekanan eksternal yang masih kuat.

Inflasi ditargetkan 4,7% pun cukup wajar, karena tendensi inflasi memang akan melandai seiring perbaikan infrastruktur logistik. Optimalisasi peran Tim Pengendali Inflasi baik di pusat maupun daerah menjadi kunci sukses pencapaian inflasi yang rendah, pada kisaran 3,5-4,5% tahun depan.

Tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan 5,5% dinilai wajar, karena di atas ekspektasi inflasi yang 4,7% maupun konsensus yang 3,5-4,5%, sehingga masih memberikan insentif bagi investor.

Lalu ICP (Indonesia Crude Price) ditetapkan 50‎ dolar AS per barel dari sebelumnya 60 dolar AS per barel. Patokan ini pun wajar mengacu pada pergerakan harga minyak dunia sepanjang tahun ini di kisaran 45 dolar AS per barel.

Lifting minyak sebesar 830.000 barel per hari. Lifting gas rerata 1,15 juta barel setara minyak. Begitu juga dengan kurs rupiah dikoreksi menjadi Rp 13.900 dari sebelumnya, Rp 12.500 per dolar AS.

Sesungguhnya asumsi kurs ini masih undervalued yang mencerminkan pemerintah kurang percaya diri. Kurs rupiah yang wajar bisa dipatok di kisaran Rp 13.000-Rp 13.500 per dolar AS, dengan titik tengah Rp 13.250 per dolar AS.

Logikanya, semakin baik kondisi makroekonomi Indonesia, tentu akan mendorong apresiasi mata uangnya.

Kelima, asumsi nonmakroekonomi atau target pembangunan pun disepakati. Misalnya, angka kemiskinan ditetapkan 9-10%. Indeks gini rasio sebesar 0,39. Indeks pembangunan manusia (IPM) dipatok 70,1. Juga TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) diharapkan turun 5,2% hingga 5,5‎%.

Tentu dalam perjalanannya kelak, dimungkinkan ada perubahan di sana-sini. Artinya, memang ada peluang bagi pemerintah untuk memperjuangkan rancangan perubahan RAPBN 2016 pada pengajuan RAPBN-P 2016, misalnya di Februari atau Maret tahun depan.

Namun pemerintah harus sadar, jika itu dilakukan, maka pemerintah akan kehilangan momentum untuk menyerap anggaran dengan cepat. Dan ini tentu preseden yang tidak baik bagi perekonomian yang butuh kecepatan bertindak. Apalagi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,3% tahun depan tidak mudah.

Indonesia dapat keluar dari perekonomian yang melambat, bila pemerintah mampu merealisasikan APBN 2016 dengan baik, efektif, dan efisien. Saat ini perekonomian banyak didorong sektor swasta, bukan dari realisasi pembangunan pemerintah.

Sayangnya, di tengah kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan, daya dorong sektor swasta tidak optimal. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pun melambat.

Maka, setidaknya ada dua ‘amunisi’ yang bisa dilakukan pemerintah untuk keluar dari kondisi perlambatan ekonomi. Pertama, merealisasikan APBN seoptimal mungkin untuk membuat masyarakat lebih sejahtera, melalui kegiatan di sektor produktif yang memberikan multiplier effects.

Kedua, memperbaiki birokrasi pemerintah melalui deregulasi dan debirokratisasi agar dunia usaha bertumbuh lebih cepat.

Kedua amunisi itu akan efektif dijalankan apabila koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan teknis operasional antarkementerian dan antarlembaga pemerintah dapat berjalan optimal, efektif, dan efisien.

Lebih-lebih jika serangkaian paket kebijakan ekonomi dari jilid I hingga jilid VI, bisa dieksekusi dengan disiplin dan komitmen tinggi, tentu hasilnya akan lebih bagus lagi. Barangkali pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa melampaui angka 5,3%. (Sun/Igw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya