OPINI: Joe Biden Unggul dalam Berbagai Indikator Pilpres, Tapi Donald Trump Masih Bisa Menang

Donald Trump diprediksi akan kalah dengan selisih suara popular dan elektoral yang cukup signifikan dari Joe Biden.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Sep 2020, 17:41 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2020, 17:41 WIB
Pengamat politik Amerika Serikat, Didin Nasirudin. (Dok. Pribadi)
Pemerhati politik Amerika Serikat, Didin Nasirudin. (Dok. Pribadi)

Oleh: Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan pemerhati politik Amerika Serikat

Liputan6.com, Jakarta - Pemilihan Presiden Amerika Serikat tinggal dua bulan lagi. Mayoritas poling dan prediksi yang dirilis oleh berbagai lembaga poling dan situs prediksi Pilpres AS terpercaya menunjukkan, Donald Trump saat ini tertinggal oleh Joe Biden. Jika kondisi poling berlanjut hingga November, Trump diyakini akan kalah dengan selisih suara popular dan elektoral yang cukup signifikan.

Tapi banyak lembaga poling dan 'peramal' hasil pilres tidak mengesampingkan kemungkinan Trump terpilih kembali. Bahkan beberapa hasil poling menunjukkan, mayoritas responden yakin Trump akan menang meskipun Biden unggul telak di poling tersebut.

Misalnya poling Pew Research Center yang dirilis 13 Agustus 2020. Biden unggul +8% (53% vs. 45%) atas Trump di poling tersebut, tapi hanya 48% responden yang meyakini Biden akan menang. Mayoritas (50%) responden malah yakin Trump akan terpilih lagi.

Poling Fox New/Beacon Research yang dirilis pada hari yang sama menunjukkan hasil hampir serupa. Biden unggul 7% (49% vs. 42%), tapi sebagian besar responden (39% vs. 34%) yakin tetangga mereka lebih banyak yang memilih Donald Trump ketimbang Joe Biden.

Mayoritas Presiden AS Memerintah Dua Periode

Politik Amerika Serikat memberi peluang besar bagi presiden petahana untuk terpilih kembali. Sejak negara federasi ini merdeka hampir 250 tahun lalu dan 45 presiden memerintah silih berganti, hanya 5 presiden yang gagal memerintah dua periode: Presiden ke-27 William Taft (1909- 1913), Presiden ke-31 Herbert Hoover (1929 – 1933), Presiden ke-38 Gerald Ford (9 Agustus 1974 – 20 Januari 1977, diangkat menjadi presiden menyusul pengunduran diri Richard Nixon akibat skandal Watergate), Presiden ke-39 Jimmy Carter (1977 – 1981) dan Presiden ke-41 George HW Bush atau George Bush senior (1989-1993).

Kecuali Taft yang berkuasa satu periode karena maju di periode kedua sebagai capres independen, keempat capres di masa lalu gagal terpilih kembali terutama karena kondisi ekonomi negara yang amburadul akibat resesi atau perang. Hoover adalah presiden berkuasa ketika AS mengalami resesi ekonomi terburuk sepanjang sejarah yang dikenal dengan Great Depression. Saat itu angka pengangguran mencapai 25%. Gerard Ford juga menghadapi pengangguran yang terus meningkat, inflasi yang mencapai dua digit, bursa saham yang anjlok parah dan pasokan BBM yang tidak menentu selama pemerintahannya.

Carter mengakhiri masa pemerintahan dengan situasi perekonomian AS yang mengkhawatirkan: angka pengangguran hampir 8% dan inflasi mencapai 13,5%. Bush senior menjadi presiden satu periode lantaran Perang Teluk I yang berkepanjanngan membuat ekonomi dalam negeri AS memburuk dengan angka pengangguran di akhir periodenya mencapai 7,8% dan inflasi 4,5%.

Skor Misery Index Trump Buruk

Ditinjau dari Misery Index—yakni penjumlahan angka pengangguran dan inflasi—skor di tahun akhir pemerintahan Carter dan Bush senior masing-masing mencapai lebih dari 20% dan 10%, alias di atas skor rata-rata 9,22% sepanjang 50 tahun terakhir. Sejarah membuktikan, presiden petahana dengan skor Misery Index di atas rata-rata tidak akan terpiilih kembali.

COVID-19 yang mulai memburuk pada kuartal kedua di tahun keempat kepresidenan Trump membuat puluhan juta orang AS kehilangan pekerjaan. Angka pengangguran rata-rata di AS sepanjang April-Agustus mencapai 12,32% sedangkan laju inflasi rata-rata dalam periode yang sama mencapai 0,52%. Ini berarti skor Misery Index pada 4 bulan terakhir mencapai 12,84, lebih buruk dari skor pemerintahan Bush senior. Jadi dilihat dari skor Misery Index, Donald Trump berpeluang menjadi presiden AS ke-6 yang berkuasa satu periode.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Trump Tertinggal dalam Agregat Poling Nasional dan Swing States

Donald Trump Tinjau Tembok Prototipe di San Diego
Presiden AS, Donald Trump meninjau prototipe tembok perbatasan AS dan Meksiko yang kontroversial di San Diego, Selasa (13/3). Prototipe tembok perbatasan Trump memiliki tinggi sekitar 9 meter, dengan puncak yang tebal dan bundar. (MANDEL NGAN / AFP)

 

Melesetnya prediksi hasil pilpres 6 November 2016 oleh mayoritas lembaga survei tidak menghalangi mereka untuk kembali membuat prediksi dengan memperbaiki metode yang mereka gunakan. Misalnya, sekarang mereka lebih mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan tren partisipasi pemilih. Hasil-hasil poling dengan pendekatan baru ini menunjukkan, Trump tertinggal oleh Biden, baik di poling nasional maupun di swing states.

Menurut RealClearPolitics, Trump kalah -6,2% secara nasional dan -2,7% di 6 swing states utama (Michigan, Wisconsin, Pennsylvania, Florida, Arizona dan North Carolina). Data FiveThirtyEight menunjukkan, Trump ketinggalan -8% secara nasional dan -4,6% di swing states. Sementara CNN Poll of Polls (rangkuman hasil poling 7 lembaga terkemuka) menunjukkan, Trump kedodoran -9% secara nasional dan -6,1 di swing states.

Para 'Peramal' Hasil Pilpres Bawa Berita Buruk untuk Trump

Jika pilpres digelar hari ini maka Trump akan kalah oleh Biden dalam perolehan 201 vs. 337 suara elektoral menurut RealClearPolitic. Menurut FiveThirtyEight, peluang Trump untuk menang pilpres hanya 31% dan presiden petahana ini akan kalah oleh Biden dengan suara elektoral 222 vs. 326. Sementara data simulasi Decision Desk HQ menunjukkan, peluang Trump untuk menang hanya 15.1% dengan raihan 225 suara elektoral, jauh di bawah Biden yang mengumpulkan 313 suara elektoral.

Berbagai lembaga analis politik seperti Cook Political Report, Inside Elections, Predictit Market, Princeton Election Consortium, Niskanen Center dan lain-lain juga memprediksi Trump akan kalah.

Trump Gagal dalam Tes 13 Kunci "Nostradamus" Pilpres AS

Profesor sejarah dari the American University, Allan Lichtman, belum lama ini menganalisa peluang Trump di pilpres bulan November bersama The New York Times. Hasilnya kesimpulannya sama: Trump tidak akan terpilih kembali.

Lichtman kerap dijuluki sebagai "Nostradamus" Pilpres AS karena metodenya yang disebut "13 Keys to Winning the White House" sukses memprediksi pemenang 8 pilpres berturut-turut, mulai dari Ronald Reagan pada 1984 hingga Donald Trump pada 2016.

Sederhananya, metode 13 Kunci Kemenangan Lichtman menguji seorang capres petahana atau capres dari partai petahana dalam 13 faktor kunci--Party mandate, Contest, Incumbency, Third-party, Short-term economy, Long-term economy, Policy change, Social unrest, Scandal, Foreign/military failure, Foreign/military success, Incumbent charisma dan Challenger charisma—untuk mendapat jawaban "Benar" atau "Salah".

Jika jawaban "Salah" ada 5 atau kurang, maka presiden petahana akan terpilih kembali; tapi jika jawaban "Salah" ada 6 atau lebih, maka presiden penantang yang akan menang.

Dari hasil analisis, didapat 7 jawaban "Salah" yakni untuk Party mandate, Short-term economy, Long-term economy, Social unrest, Foreign/military failure dan Incumbent charisma. Artinya sang Nostradamus meramalkan Trump akan kalah pada November nanti.

Terlalu Dini untuk Menganggap Trump Sudah Habis

Posisi Trump sebagai presiden petahana yang didukung suara mayoritas di Senat bisa menjadi tumpuan utama untuk terpilih kembali. Realitas politik AS memberi keuntungan kepada presiden petahana karena: (1) Sebagai penguasa Gedung Putih, presiden petahana mendominasi pemberitaan media; (2) Dia memegang kuasa anggaran, memiliki hak veto dan berwenang membuat executive order sehingga dapat menyalurkan anggaran atau membuat kebijakan sesuai kepentingan politik (misalnya Trump bisa dengan mudah membagikan anggaran subsidi pertanian kapada para petani di red states yang terdampak perang dagang); (3) Dia tidak perlu mengikuti primary lagi sehingga bisa berkampanye lebih awal dengan dana pemilu tidak dihamburkan di primary.

Dengan sumber daya anggaran dan politik yang dimiliki petahana, Trump mengantongi banyak kartu truf untuk membalikkan keadaan. Misalnya, dengan upaya mati-matian oleh para menteri terkait dan jajarannya kasus positif dan kematian akibat COVID-19 bisa ditekan untuk terus menurun hingga November. Trump juga disinyalir tengah menyiapkan 'kejutan Oktober' berupa vaksin Virus Corona yang sudah proven dan siap diedarkan ke warga AS sebelum pilpres.

Pada saat yang sama, dengan mayoritas suara Partai Republik di Senat dan hak veto presiden, Trump dapat menggagalkan berbagai rancangan undang-undang dari DPR yang dikuasai Partai Demokrat jika undang-undang tersebut dirasa dapat memperkuat daya saing Biden, Senator atau anggota DPR Partai Demokrat yang juga akan bertarung di pemilu 3 November.

Di samping itu, persaingan antar capres dari Agustus hingga hari-H akan cenderung semakin ketat karena para pemilih yang galau sudah menemukan capres yang hendak dipilihnya. Trump juga memiliki potensi keunggulan suara elektoral karena 3 dari 6 swing states terpenting yakni Michigan, Pennsylvania dan Wisconsin pada 2016 lalu swing dari Demokrat ke Republik, sehingga posisinya relatif lebih Republican dari rata-rata nasional.

Dua swing states lainnya, Florida dan North Carolina, tetap menjadi swing states murni yang sulit diprediksi. Arizona sebanarnya cenderung semakin Democratic karena populasi warga Hispanic yang mencapai hampir 20%. Tapi Demokrat di swing state ini rawan mengalami voter suppression lantaran Partai Republik menguasai seluruh institusi politik di Arizona.

 

Trump Adalah Pebisnis yang Biasa Menghalalkan Segala Cara

FOTO: Donald Trump Sampaikan Pidato di Konvensi Nasional Partai Republik
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyampaikan pidato pada hari keempat Konvensi Nasional Partai Republik di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (27/8/2020). (AP Photo/Evan Vucci)

Trump punya satu 'kekuatan' yang tidak dimiliki oleh presiden-presiden Partai Republik sebelumnya: dia adalah pebisnis yang tidak kenal batas-batas moral dan etika. Dia tanpa rasa malu atau sesal bisa berbohong, memutar-balikan fakta, menggunakan kata-kata kotor dan merendahkan untuk menyerang musuh-musuh politiknya, memakai isu rasisme untuk mengadu-domba warganya sendiri, atau bahkan meminta negara asing membantunya memenangkan pilpres.

Pada 2016 sebagai calon penantang Trump tanpa tedeng aling-aling meminta bantuan Rusia untuk untuk mempermalukan Hillary Clinton dengan seruannya yang terkenal seperti dilansir MSNBC: "Russia, if you're listening, I hope you're able to find the 30,000 emails that are missing. I think you will probably be rewarded mightily by our press."

Dalam wawancaranya dengan CBS4 News, sohib dan penasehat informal Trump, Roger Stone, mengaku punya 'jalur komunikasi khusus' dengan Julian Assange, pendiri WikiLeaks yang diketahui membocorkan ribuan email yang dicuri dari server Democratic National Committee (DNC) di Internet. Partai Demokrat menuduh WikiLeaks dan Assange merupakan bagian dari konspirasi Rusia untuk memenangkan Trump di Pilres 2016.

Keterlibatan Rusia dalam Pilpes 2016 diakui oleh Senat AS yang dikuasai oleh Partai Republik seperti dikutip The News York Times. Laporan Senate Intelligence Committee yang totalnya mencapai 1.000 halaman yang dirilis pertangahan Agustus 2020 membenarkan bahwa Rusia telah mendisrupsi pemilu AS untuk membantu Trump menjadi presiden. Laporan tersebut juga menyebut agen-agen intelijen Rusia menanggap anggota tim kampanye Trump mudah dimanipulasi dan beberapa penasihat Trump sangat antusias mendapat bantuan dari musuh Amerika.

Laporan Senate Intelligence Committee sebelumnya pada akhir Desember 2019 juga membuat kesimpulan yang mengejutkan. Menurut laporan tersebut seperti ditulis The New York Times, pada pemilu 2016 lalu Rusia berupaya meretas sistem pemilu AS di 50 negara bagian "tanpa terdeteksi oleh pejabat federal dan negara bagian pada saat itu."

Pada Pilpres 2020 ini, Trump dituding sengaja 'mengobok-obok' Dinas Pos AS (United States Postal Service) melalui pengangkatan megadonor kampanyanya, Louis DeJoy, sebagai Postmaster General United States Postal Service. Berbagai kebijakan DeJoy seperti menarik mesin penyortir surat dan menghapus lembur karyawan dikhawatirkan akan memperlambat kerja Dinas Pos.

Akibatnya, Dinas Pos akan kesulitan menangani jutaan kertas suara pemilu (presiden, Senat dan DPR) yang dikirim melalui pos. Parahnya lagi, Trump dan para politisi Partai Republik menolak penambahan dana US$25 miliar untuk perbaikan kinerja Dinas Pos seperti diusulkan oleh DPR AS yang dikuasai Partai Demokrat.

Yang paling membuat para politisi Partai Demokrat khawatir adalah Rusia kembali akan mencoba mempengaruhi hasil pilpres 2020. Pada awal Agustus lalu, Direktur National Counterintelligence and Security Center Bill Evanina seperti dikutip CBS News melaporrkan bahwa Rusia tengah berupaya merusak reputasi (denigrate) capres Partai Demokrat Joe Biden. Evanina juga menyebut, sejumlah aktor yang punya hubungan dengan Kremlin juga tengah berupaya membantu Trump menjelang pilpres 2020.

Trump menganggap hal itu sebagai isapan jempol belaka. "Yang paling tidak diharapkan Rusia menjadi presiden AS adalah Donald Trump, karena tidak seorangpun lebih tegas terhadap Rusia dibanding saya," kata Trump dalam sebuah jumpa pers seperti dikutip Vox.

Partai Republik sebagai partai pendukung Trump pun selama ini cenderung 'membiarkan' sistem keamanan pemilu AS rawan terhadap intervensi asing dan peretasan. Pada Februari 2020, misalnya, para anggota Senat Parta Republik menolak membahas 3 rancangan undang-undang keamanan pemilu yang sudah disahkan DPR.

Rancangan undang-undang pertama menuntut agar setiap tim kampanye memberitahu FBI dan Federal Commission Election (FEC) jika ada negara asing menawarkan bantuan untuk pemilu. Rancangan undang-udang kedua adalah legislasi untuk penambahan dana keamanan sistem pemilu. Rancangan undang-undang ketiga melarang voting machine atau alat pencoblosan kertas suara elektronik terkoneksi ke Internet untuk menghindari peretasan.

Tidak heran jika Allan Lichtman yang selama lebih dari 30 tahun selalu yakin dengan prediksi hasil pilpres, kali ini merasa perlu memberi catatan penting bagi mereka yang percaya dengan kebenaran ramalannya.

"Don’t just take my words. There are forces at play outside the [13] keys: voter suppression, Russian meddling."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya