Oleh: Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan pemerhati politik Amerika Serikat
Liputan6.com, Jakarta - Pada 31 Juli lalu, tim kampanye Donald Trump mengumumkan menghentikan sementara penayangan iklan kampanye di berbagai negara bagian Amerika Serikat. Alasannya, mereka ingin mengevaluasi strategi messaging kampanye Trump menyusul penggantian manajer kampanye Brad Parscale oleh Bill Stepien.
Baca Juga
Padahal, pada awal Juli lalu tim kampanye Trump dilaporkan sudah memesan slot iklan senilai US$ 147 juta (Rp 2,15 triliun) yang akan ditayangkan hingga 3 November 2020, menurut analisis Ad Age Campaign Ad Scorecard. Belanja iklan tersebut terutama akan dialokasikan untuk Florida, Ohio, North Carolina, Pennsylvania, Wisconsin dan Arizona, swingstates terpenting yang dimenangkan Trump pada 2016.
Advertisement
Sebelumnya, pada Januari - Juni 2020, tim kampanye Trump menghabiskan US$ 80 juta (Rp 1,17 triliun) untuk iklan kampanye, sedangkan tim Joe Biden hanya membelanjakan US$ 65 juta (Rp 952,8 miliar).
Iklan Tidak Menaikan Elektabilitas Trump
Penghentian sementara pemasangan iklan Trump bisa dipahami karena belanja iklan besar-besaran ternyata tidak terlalu membantu menaikan elektabilitas sang presiden petahana. Pada 28 Juli atau tiga hari sebelum pengumuman penghentian penayangan iklan, Trump ketinggalan -9,0% dalam poling rata-rata nasional yang dirangkum RealClearPolitics.
Pada tanggal yang sama, situasi poling di negara-negara bagian Swing States yang wajib dimenangkan Trump pada Pilpres 2020 juga mengecewakan: Trump mengekor Biden -7,8% di Florida, -8,4% di Michigan, -7,4 di Pennsylvania, -6,4% di Wisconsin, -3,8% in North Carolina, dan -4,0% di Arizona.
Padahal, pada 28 Juli 2016 Trump unggul +1,1% atas Hillary Clinton secara nasional. Saat itu, Trump ketinggalan oleh Clinton di Swing States dengan marjin lebih tipis, yakni -3,4% di Florida, -5,2% di Michigan, -4,4% di Pennsylvania, -5,6% di Wisconsin, -2,0% di North Carolina, dan -0,5% di Arizona.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Poling Pilpres 2020 Beda dengan 2016
Menurut koresponden The UpShoot di The New York Times, Nate Cohn, poling-poling Trump vs Biden untuk Pilpres 2020 sudah mengoreksi sejumlah kesalahan yang terjadi pada 2016, sehingga angkanya diyakini lebih akurat dari empat tahun lalu. Seperti diketahui, berbagai poling di minggu-minggu terakhir menjelang Pilpres 2016 memprediksi Hillary Clinton akan menang. Faktanya, poling-poling tersebut hanya cukup akurat memprediksi hasil suara popular di tingkat nasional, tapi melenceng jauh dari hasil-hasil suara elektoral di Swing States.
Cohn mencatat, kesalahan paling fundamental pada poling-poling Pilres 2016 adalah lembaga-lembaga poling kurang memperhitungkan faktor tingkat pendidikan pemilih, terutama segmen pemilih bukan lulusan college/universitas atau non-college-degree voters. Padahal menurut CNN Exit Poll, Trump unggul +6% di segmen yang mencapai 50% dari seluruh pemilih tersebut. Bahkan di di kalangan pemilih kulit putih, Trump unggul +35% di segmen non-college degree voters. Berdasarkan data CNN, pemilih kulit putih mencapai 71% dari seluruh pemilih di pilpres 2016, disusul pemilih kulit hitam 12%, Hispanik 11%, Asia 4% dan ras lain 3%.
Kasalahan lain pada poling-poling Pilpres 2016 adalah mis-prediksi tingkat partisipasi (turnout) pemilih kulit hitam yang merupakan kelompok ras paling loyal terhadap Partai Demokrat. Menurut Pew Research Center, tingkat partisipasi pemilih kulit hitam pada Pilpres 2016 hanya mencapai 59,6%, turun 7% dari 66,6% pada Pilpres 2012. Sedangkan tingkat partisipasi pemilih kulit putih yang lebih condong ke Trump mencapai 65,3%, naik 1,2% dari 64,1% pada Pilpres 2012.
Biden Menggeregoti Basis Pendukung Trump di RustBelt
Senior dan analis CNN Harry Enten sepakat, Trump saat ini dalam situasi yang sangat sulit. Dalam analisis terbarunya, Enten menyebut posisi Biden saat ini jauh mengungguli Clinton pada 2016 di kalangan pemilih kulit putih yang menjadiandalan Trump di kawasan Rust Belt yang mencakup Wisconsin, Michigan dan Pennsylvania. Di tiga negara bagian tersebut, pemilih kulit putih mencapai lebih dari 80% dan mereka menjadi penentu kemenangan Trump empat tahun lalu.
Menurut Enten, Trump hanya unggul +3% atas Biden di kalangan pemilih kulit putih di Michigan, padahal pada pilpres sebelumnya, Trump unggul +15% atas Clinton di segmen pemilih tersebut. Keunggulan Trump atas pesaingnya dari Partai Demokrat di segmen ini juga anjlok lebih parah lagi di Pennsylvania, dari +15% pada 2016 menjadi -3% saat ini. Di Wisconsin, Trump ketinggalan -6% oleh Biden di kalangan pemilih kulit putih. Padahal pada 2016 Trump menang +7% atas Clinton di segmen ini.
Ketertinggalan di tiga Swing States terpenting ini membuat tim kampanye Trump kembali harus menghadapi BlueWall yang sulit ditembus seperti yang dihadapi oleh George HW Bush pada 1992, Bob Dole pada 1996, George W. Bush pada 2000 dan 2004, John McCain pada 2008 dan Mitt Romney pada 2012. Dalam peta politik saat ini, Trump tidak akan terpilih kembali jika kalah di RustBelt.
Selain itu, tim Trump kerepotan mempertahankan Florida dan North Caroline, dua negara bagian yang wajib dimenangkannya. Dalam kurun waktu hampir 100 tahun, tidak pernah ada capres Partai Republik yang menang di Pilpres AS tanpa kemenangan di Florida. Juga Trump mustahil memenangkan pilpres tanpa North Carolina.
Advertisement
'It's COVID, stupid.'
Dengan jumlah kematian akibat COVID-19 terus meningkat di redstates seperti Mississippi, Louisiana, Tennessee, Alabama, South Carolina dan Texas, dan Swing States penting seperti Florida, Arizona dan Georgia, tim kampanye Trump tidak bisa dengan gampang membangun naratif baru untuk mengangkat citra Trump yang sudah terpuruk.
Hal ini terutama karena pandemi COVID-19 kini menjadi isu sentral pada Pilpres AS, bukan lagi persoalan ekonomi, rasial atau terorisme seperti pada pilpres-pilpres terdahulu. Jadi kalau tim stategi kampanye Bill Clinton, James Carville, meringkas isu utama pada Pilpres 1992 dalam sebuah ungkapan sarkas 'It's the economy, stupid,' maka sarkasme Pilpres 2020 adalah: 'It's COVID, stupid.'
Menurut hasil poling FoxNews terbaru, 29% pemilih menyebut COVID-19 sebagai isu terbesar yang dihadapi AS, 15% masalah ekonomi/pekerjaan/pengangguran dan 10% hubungan rasial/isu rasial/polisi. Hanya 2% pemilih menyebut imigrasi/imigrasi ilegal/keamanan perbatasan/tembok pembatas sebagai isu penting.
Dalam poling media konsevatif yang terkenal Trump-friendly ini hanya 43% pemilih mendukung dengan cara Trump menangani COVID-19 sedangkan 56% tidak mendukung. Ini berarti job approval rating Trump dalam penanganan pandemi mencapai -13%. RealClearPolitics yang merangkum berbagai data poling nasional menunjukkan job approval rating Trump untuk penganganan COVID-19 yang jauh lebih buruk, yakni mencapai -19.6%.
'Operation Warp Speed' dan Waktu yang Fana
Tidak mengherankan jika Trump sangat berharap pada keberhasilan Operation Warp Speed, proyek kemitraan pemerintah federal AS dengan sektor swasta bernilai multi-miliar dolar yang bertujuan memfasilitasi dan mempercepat pengembangan, pembuatan dan distribusi vaksin, terapi dan alat diagnostik COVID-19. Dalam berbagai kesempatan, Trump mengungkapkan keyakinannya bahwa Operation Warp Speed akan membuahkan hasil dalam waktu dekat, meskipun para pakar kesehatan termasuk direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), Dr. Anthony Fauci, tidak terlalu optimistis vaksin COVID-19 akan siap pada akhir tahun 2020 dan mulai didistribusikan pada 2021.
Persoalan lainnya adalah kualitas produk yang dihasilkan. Para peneliti dan pakar kesehatan khawatir proyek pengembangan vaksin, terapi dan alat diagnostik virus corona ini dijadikan alat politik. Misalnya,Trump bisa saja memaksa Food and Drug Administration (FDA) untuk menyetujui peredaran vaksin yang belum sepenuhnya teruji. Juga pendistribusian vaksin ke lebih dari 300 juta warga AS bukan persoalan mudah.
Yang jelas, keingingan Trump agar vaksin COVID-19 yang ampuh sudah ditemukan dan siap edar sebelum pilpres 3 November akan sulit diwujudkan. Padahal, tanpa kemenangan dalam perang melawan virus corona yang sudah merengut nyawa lebih dari 150 ribu warga AS, Trump akan babak belur di November nanti.
Masih pada 31 Juli, tidak lama setelah tim kampanye Trump mengumumkan menghentikan sementara iklan kampanye, satu sumber di tim kampanye Trump mengatakan kepada Bloomberg bahwa mulai awal Agustus tim Trump akan memfokuskan belanja iklan di negara-negara bagian yang melakukan pemilihan lebih awal atau early voting states.
Dan tiga di antara negara-negara bagian terpenting yang menggelar early voting adalah Pennsylvania, 50 hari sebelum hari-H (3 November); Michigan, 45 hari sebelum hari H; dan Wisconsin, 14 hari sebelum hari-H. Early voting krusial lainnya adalah di swingstate Arizona, 27 hari sebelum hari-H; dan North Carolina, 19 hari sebelum hari-H. Early voting ini membuat Operation Warp Speed tidak cukup cepat untuk menghasilkan vaksin yang diharapkan Trump menjadi gamechanger bagi kampanyenya.
Jadi, selain virus corona, waktu adalah musuh terbesar Trump dalam ambisinya menjadi presiden AS dua periode. Dalam konteks pilpres 2020 yang didominasi COVID-19, penggalan puisi Sapardi Djoko Damono yang sangat terkenal itu mungkin akan berbunyi: "Yang fana adalah waktu; politik abadi!"