Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Dalam sidang ini, pasangan Marganti Manullang-Ramses Purba selaku pemohon, meminta MK menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di kabupatennya.
Kuasa hukum Marganti-Ramses, Arco Misen Ujung mengatakan ada sejumlah alasan pihaknya meminta PSU. Di antaranya, terjadi dugaan pelanggaran hukum oleh KPUD Humbang Hasundutan.
"Kami menuntut diadakan pemungutan suara ulang, karena telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh KPUD Humbang Hasundutan," kata Arco di Gedung MK, Jakarta, Kamis (7/1/2016).
Pelanggaran tersebut, kata dia, KPUD Humbang Hasundutan diduga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dan PKPU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pilkada Serentak. Yakni meloloskan 2 pasangan yang didukung dari 1 partai yang sama, Partai Golkar.
Akibat 2 pasangan itu diloloskan, lanjut Arco, suara kliennya terpecah. Karenanya, dia meminta pasangan calon nomor urut 4, Pelbet Siboro-Henry Sihombing dan pasangan nomor urut 5, Hari Marbun-Momento Sihombing didiskualifikasi.
"Jadi kami tuntut pilkada ulang dengan 3 calon saja. Sedangkan pasangan calon nomor urut 4 dan 5 diskualifikasi karena tidak sah dan batal menurut hukum," tegas dia.
Baca Juga
Menurut Arco, pasangan calon nomor urut 4 dan 5 itu tiba-tiba lolos pada saat akhir batas penetapan calon di KPUD. Padahal, sebelum itu hanya ada 3 pasangan calon yang mengikuti kontestasi pada 9 Desember 2015.
"Sebelumnya hanya ada 3 paslon dan banyak suara yang seharusnya memilih kami dari 2 paslon itu. (Lolosnya nomor urut 4 dan 5) Itu merugikan suara kita," ujar dia.
Sementara, Ketua KPUD Kabupaten Humbang Hasudutan, Leonard Pasaribu mengatakan, pokok gugatan dari 3 pasangan calon nomor urut 1, 4, dan 5 terkait PHP Kada Humbang Hasundutan hampir sama. Sama-sama menginginkan pasangan calon lain didiskualifikasi.
"Kalau saya dengar tadi dari pokok permohonan, hampir sama. Pasangan nomor 4 tidak menginginkan nomor 5, dan nomor 5 tidak menginginkan pasangan nomor 4 masuk. Sementara nomor 1 tidak mengingingkan paslon nomor 4 dan 5 ikut pilkada," kata dia.
Menurut Leonard, para pemohon justru tidak mempermasalahkan selisih suara yang mereka peroleh dari perolehan suara pasangan calon yang menang.
Padahal, lanjut dia, jika dilihat berdasarkan Pasal 158 UU Pilkada, permohonan ini tidak memenuhi syarat diajukan ke MK. Sebab, ada selisih suara masing-masing pasangan calon lebih dari 2%, dengan perolehan suara pasangan calon yang menang.
"Kalau kita hitung selisihnya tidak memenuhi syarat untuk dibawa ke MK. Justru yang disengketa adalah keikutsertaan paslon di Pilkada," pungkas Leonard.