Nasdem Harap MK Konsisten dengan Aturan Syarat Sengketa Pilkada

Di samping itu, MK akan kebanjiran perkara dan berakibat pada tidak mendalamnya pemeriksaan dan pembuktian tiap-tiap perkara.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 06 Jan 2016, 23:47 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2016, 23:47 WIB
20150929-MK Putuskan Calon Tunggal Boleh Ikut Pilkada Serentak-Jakarta
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan UU No Tahun 2015 tentang Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9). MK memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan pilkada serentak pada Desember mendatang (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Partai Nasdem berharap Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten dengan aturan mengenai syarat selisih pengajuan sengketa pilkada menurut undang-undang. Menurut Partai Nasdem, syarat tersebut masih relevan karena sudah dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang sesuai dengan konstruksi penyelenggaraan pilkada serentak.

Terlebih, MK sudah membuat Peraturan MK mengenai syarat tersebut yang menjadi pedoman bagi peserta pilkada untuk memutuskan apakah akan mengajukan sengketa atau tidak.

"Pasal 158 ayat (2) UU No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Pilkada memberikan syarat selisih yang ketat antara perolehan suara terbanyak dengan Pemohon, yakni berkisar 2%, 1,5%, 1%, atau 0,5% dihitung berdasarkan level jumlah penduduk," kata Ketua Badan Advokasi Hukum ‎Partai Nasdem Taufik Basari melalui pesan tertulisnya di Jakarta, Rabu (6/1/2016).

Menurut dia, ketentuan mengenai syarat selisih tersebut sudah dibuat dengan pertimbangan bahwa masing-masing permasalahan pilkada telah disediakan mekanisme penyelesaiannya. Untuk masalah sengketa pemilihan di luar sengketa hasil telah dibuat mekanisme melalui sengketa tata usaha negara melalui Panwas/Bawaslu, PT TUN, hingga ke Mahkamah Agung.

"Untuk pidana pemilu sudah disediakan mekanisme melalui Panwas dan Bawaslu berlanjut ke Sentra Gakkumdu dan berujung ke pengadilan umum. Untuk persoalan etik, diserahkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Untuk sengketa hasil jadi kewenangan MK untuk sementara sampai ada pengadilan khusus pemilu," ujar Taufik.

Dengan konstruksi pelaksanaan pilkada seperti itu, lanjut dia, maka setiap pelanggaran yang terjadi harus diselesaikan secara lokal dan seketika. Hal inilah yang harusnya dimanfaatkan oleh peserta pilkada.

Ia menambahkan, apabila syarat undang-undang dikesampingkan maka MK tidak konsisten dan tidak fair. Banyak pihak yang tidak jadi mengajukan sengketa ke MK karena berpedoman kepada syarat tersebut. Di samping itu, MK akan kebanjiran perkara dan berakibat pada tidak mendalamnya pemeriksaan dan pembuktian tiap-tiap perkara.

"MK harus punya waktu yang cukup untuk mendalami saksi dan bukti jika kita ingin mendapatkan Putusan yang berkualitas. Karena itulah, perkara yang masuk harus diseleksi sesuai syarat persentase menurut undang-undang," tandas Taufik Basari.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya