TemanAhok: DPR Tak Ikhlas Ada Calon Perseorangan

Mantan Komisioner KPU yang juga Teman Ahok menyindir DPR terlalu Jakarta sentris dalam penyusunan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 08 Jun 2016, 17:13 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2016, 17:13 WIB
20150725-Dukungan-Ahok-Jakarta1
Warga menunjukan stiker untuk memberikan dukungan untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama di salah satu mal, Jakarta, (25/7/2015). Teman Ahok adalah nama sekumpulan relawan yang berasal dari berbagai kalangan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - DPR telah mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang baru, pada Kamis 2 Juni 2016. Namun, yang menjadi sorotan adalah Pasal 48, terkait verifikasi dukungan untuk calon kepala daerah yang maju lewat jalur independen.

Menurut TemanAhok, aturan itu menandai DPR tidak ikhlas ada calon kepala daerah yang maju perseorangan.

"DPR tak ikhlas ada calon perseorangan. Sejak perubahan undang-undang sebelumnya, hingga kini ada kecenderungan memperberat syarat calon perseorangan," ucap pendamping ahli bidang administrasi dan regulasi pilkada TemanAhok, I Gusti Putu Artha, kepada Liputan6.com, Rabu (7/6/2016), di Jakarta.

Pasal 48 ayat 3 huruf b menyebutkan, "verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk menghadirkan pendukung calon yang dimaksud di kantor PPS paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut."

Putu Artha menilai, hal itu tidak menjadi masalah bagi TemanAhok. Namun, dia mempertanyakan parameter untuk mengetahui Panitia Pemungutan Suara (PPS) telah memverifikasi semua pendukung Ahok-Heru.

"Kita bisa penuhi ketentuan itu. Namun yang jadi soal apa parameter bahwa pendukung calon benar-benar sudah ditemui verifikator PPS?" ungkap Putu Artha.

Dia pun menyindir DPR yang dinilai terlalu genit, lantaran telalu mengatur secara rinci dan terlalu Jakarta sentris.

"DPR terlalu genit, harus mengatur secara rinci. Terlalu Jakarta sentris. Aturan itu bisa jadi problem bagi calon perseorangan di Papua, Papua Barat, Maluku dan daerah yg geografisnya sulit," ungkap Putu Artha.

Dia pun tak sepakat dengan Pasal 9 ayat 1 UU Pilkada terkait tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasal itu menyebutkan, "menyusun dan menetapkan PKPU dan pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) yang keputusannya mengikat." Menurut Putu Artha, hal tersebut menganggu independensi KPU.

"Proses konsultasi saja sudah menganggu independensi KPU. Apalagi memaksa KPU wajib menjalankan hasil konsultasi. Ini pasal yang rada aneh. KPU seakan jadi subordinat DPR dan terbelenggu," tutur Putu Artha yang pernah menjabat sebagai Komisioner KPU itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya