Kuasa Hukum Jokowi Minta MK Menyatakan Permohonan Prabowo Tak Dapat Diterima

Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra meminta majelis hakim MK menyatakan permohonan Prabowo-Sandi tak dapat diterima.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 18 Jun 2019, 11:09 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2019, 11:09 WIB
MK Gelar Sidang Perdana Uji Materi Gugatan UU Ormas
Kuasa hukum Jokowi, Yusril Ihza Mahendra di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin menjadi pihak terkait dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 yang dimohonkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam eksepsinya, Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra meminta majelis hakim MK menyatakan permohonan Prabowo-Sandi tak dapat diterima.

"Sudah cukup kiranya alasan bagi Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia, untuk menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadili Permohonan Pemohon, sehingga beralasan hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)," ungkap Yusril di Ruang Sidang MK, Senin (18/6/2019).

Ia menguraikan, berdasarkan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 disebutkan, MK berwenang dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ditegaskan kembali bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Meskipun yang menjadi objek perkara dalam Permohonan yang diajukan Pemohon adalah Penetapan Hasil Pemilu Secara Nasional, sambung Yusril, namun Pasal 475 ayat (2) UU Pemilu pada pokoknya mengatur bahwa permohonan keberatan terhadap hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

"Adanya kata 'hanya' dalam ketentuan pasal tersebut demi hukum membatasi cakupan substansi hal yang dapat dipermasalahkan ke Mahkamah Konsitusi yakni terbatas hanya pada hasil perolehan suara," jelas Yusril.

Hal ini, lanjutnya, sejalan dengan ketentuan Pasal 75 huruf a UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.

Lebih jauh, MK juga mengatur dalam Pasal 8 ayat (1) poin b angka 4 dan 5 PMK 4/2018 tentang apa saja yang harus dimuat dalam Permohonan Pemohon. Dalam pokok permohonan ditentukan pemuatan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon, sedangkan di dalam Petitum dimuat adanya permohonan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut Pemohon (Prabowo-Sandi).

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tak Mendalilkan Perselisihan Hasil Suara

Pemohon dalam permohonannya, Yusril mengungkap, tidak menerangkan tentang perselisihan hasil perolehan suara sebagai objek perkara yang seharusnya menjadi syarat formil dalam permohonan. Hal ini terbukti dalam Permohonan Pemohon sama sekali tidak mendalilkan adanya perselisihan hasil perolehan suara dengan Pihak Terkait termasuk argumentasi Pemohon yang memuat tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon maupun hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon,

"Secara keseluruhan di dalam permohonannya, Pemohon tidak sedikit pun membantah hasil perhitungan perolehan suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan oleh Termohon. Pemohon hanya mendalilkan contoh-contoh peristiwa tanpa ada kaitan dan signifikansinya dengan perolehan suara," beber Yusril.

Di dalam Permohonan Pemohon, imbuhnya, sama sekali tidak memberikan gambaran klaim kemenangan 62 persen sebagaimana Pidato Pemohon pada tanggal 17 April 2019 atau pun klaim kemenangan 54,24% sebagaimana presentasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Pemohon pada tanggal 14 Mei 2019. Dengan tidak didalilkan perolehan suara versi Pemohon maka klaim kemenangan tersebut menjadi gugur.

Sebagaimana termaktub dalam Pasal 51 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018 menyatakan bahwa: Amar Putusan Mahkamah menyatakan: a. Permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/ atau Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8; b. Permohonan ditolak apabila Permohonan terbukti tidak beralasan menurut hukum; atau c. Permohonan dikabulkan apabila Permohonan terbukti beralasan menurut hukum dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh Termohon, serta menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar.

"Berdasarkan Pasal 51 a quo, telah secara jelas dan tegas bahwa Mahkamah Konsititusi tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan a quo. Ketentuan Pasal 51 ini memberikan penegasan atas kewenangan Mahkamah Konsitusi dalam hal menjatuhkan amar putusan terhadap sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden," Yursil menegaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya