Nyanyian Kepedihan Hati Eks Tapol 1965

Seorang eks tahanan politik 1965 karena dianggap antek PKI menuangkan kepedihan saat di penjara melalui sebuah lagu.

oleh Edhie Prayitno IgeFelek Wahyu diperbarui 23 Apr 2016, 15:00 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2016, 15:00 WIB
Tapol 65
Kisah tapol 65

Liputan6.com, Semarang - Sebuah rumah bercat oranye di Jalan Blimbing Raya Nomor 27, Semarang, Jawa Tengah, terlihat sangat bersih dan terawat. Meski berada di tengah kota, rumah itu terlihat rimbun. Mulai dari pohon belimbing hingga tanaman perdu dan tanaman hias menghiasi pekarangan rumah itu.

...Lihatlah pagi cerah indah anakku
lihatlah mawar merah merekah sayangku
secerah pagi indah hari depanmu
semerah mawar rekah harapanku...

Dari dalam rumah itu terdengar suara sopran dengan vibrasi lembut. Sang empunya suara tengah berdendang. Tak ada alat musik yang mengiringi. Namun vibrasi lembut itu sendiri seakan mampu menggantikan alat musik.

Nyanyian itu berjudul Lagu untuk Anakku. Lirik lagu ditulis oleh Heryani Busono, sementara notasi digubah oleh Djuwita. Tembang ini bukan sembarang lagu.

Lirik yang mendalam ini merupakan sebuah pesan seorang tahanan politik atau tapol anggota Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Lagu ini dibuat bekerja sama dengan penjaga tahanan di Ambarawa, Jawa Tengah.

Partitur lagu Untuk Anakku yang ditulis Heryani Busono, eks tapol peristiwa 1965. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Ditemani secangkir teh panas dan setoples keripik singkong, pelantun lagu itu, Heryani Busono, mulai menceritakan perjalanan hidupnya. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara, 24 November 1933. Pada usia 23 tahun, ia dipersunting seorang doktor pendidikan pertama yang dimiliki negeri ini, yakni Dr Busono Wiwoho.

Pada 1965, saat situasi politik Indonesia bergolak, Heryani dan suaminya masih tinggal di perumahan dosen, yakni di kawasan Bulaksumur Blok S Nomor 14 Yogyakarta. Saat itu Dr Busono adalah Ketua Himpunan Sarjana Indonesia.

Awal Kesengsaraan

"Langsung saya ceritakan soal penangkapan saja, ya, Mas. Karena dari titik itu sejarah hidup kesengsaraan saya bermula," ucap Heryani Busono kepada Liputan6.com, Kamis, 21 April 2016.

Usai kehebohan pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S, terjadi penangkapan besar-besaran. Kala itu, keluarga Busono Wiwoho-Heryani tengah berada di Blora, Jawa Tengah. Mereka berdua sebenarnya sudah merencanakan sebuah syukuran ulang tahun bagi Heryani secara sederhana bersama teman-teman dari HSI.

Foto kenangan Heryani Busono, eks tapol peristiwa 1965. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Heryani pulang terlebih dahulu ke Yogyakarta, sementara suaminya masih di Blora. Sang suami beserta teman-temannya masih melanjutkan pertemuan, membahas kemajuan pendidikan Indonesia.

"Tanggal 18 November 1965, rumah saya kedatangan tamu. Tentara satu jip dan satu mobil. Sebelumnya saya sudah mendengar kalau suami saya ditangkap," tutur Heryani sembari membetulkan dandanan rambutnya. Seluruh rambutnya sudah memutih, tapi suaranya jelas saat berkata-kata.

Ternyata Heryani juga ikut ditangkap. Malam itu, ia langsung dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wirogunan, Yogyakarta. Ia belum mengerti kesalahan yang ditimpakan kepadanya. Enam bulan ia ditahan di sana. Ketika itu, meski tak mengalami siksaan atau penistaan seksual, ia merasa tertekan karena benar-benar dikurung di dalam sel.

Teras ruang tahanan adalah satu-satunya wilayah yang bisa dilihatnya. Selebihnya, hanya lantai, langit-langit kamar, juga lampu dan dipan.

"Benar-benar terkurung tubuh saya," ujar Heryani.

Doa di Balik Jeruji Besi

Sepanjang enam bulan menghuni LP Wirogunan Yogyakarta, Heryani terus berdoa. Doanya sangat sederhana. Ia mendoakan anaknya tidak menderita seperti ayah dan ibunya. Meski sedih, Heryani masih sempat menitipkan kedua anaknya kepada saudaranya.

Hingga suatu malam, mata Heryani belum terpejam. Ia mendengar bunyi derum mesin truk di luar selnya. Heryani cuek dan tetap berusaha beristirahat.

Lelah batin dan fisiknya menyebabkan ia tertidur. Entah lama entah sebentar ia mengaku tidak tahu.

"Mungkin tidur sebentar, tapi karena lelah jadi terasa lama. Atau mungkin juga lama, tapi karena gelisah jadi merasa hanya sesaat. Yang pasti, kami penghuni sel itu, diminta berbaris dan naik ke dalam truk," kata Heryani.

Menatap Langit

Prosesi pemindahan berlangsung cepat. Sebuah truk militer berukuran besar dengan tutup terpal di baknya sudah disiapkan. Saat menuju truk itu, para tahanan seperti orang yang baru pertama melihat langit.

"Luar biasa. Ternyata langit di malam hari itu sangat indah. Kami sudah tidak tahu lagi itu tanggal berapa. Kami seperti lupa pada momentum-momentum itu. Tapi, kami menikmati langit yang luar biasa," Heryani menuturkan.

Foto kenangan Heryani Busono, eks tapol peristiwa 1965. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Ternyata para tahanan politik itu dipindahkan ke Lapas Ambarawa. Secara ringkas Heryani menceritakan hidupnya yang seperti nomaden. Berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya. Mulai dari Ambarawa, kemudian Lapas Wanita Bulu, Semarang, dan berpuncak di kamp tahanan Plantungan, Kendal.

Perpindahan dari satu penjara ke penjara lainnya itulah yang kemudian memungkinkan ia bertambah kenalannya. Karena tahanan kemudian dipisah-pisah. Bukan hanya dari Yogyakarta saja, tapi dari daerah penangkapan yang lainnya.

"Puncaknya di Plantungan. Itu bukan penjara, tapi bekas rumah sakit lepra atau kusta. Ada yang dari Blora, ada yang dari Jawa Timur dan daerah-daerah lain," kata Heryani.

Selama di kamp Plantungan, Heryani sudah mampu beradaptasi sebagai orang tahanan. Ia tak merasa tersiksa secara fisik. Namun secara batin ia sangat nelangsa, apalagi saat mendengar cerita teman-temannya.

"Ada yang masih punya bayi, ayahnya meninggal dibunuh, ibunya ditangkap tanpa sempat menitipkan atau memasrahkan anaknya kepada siapa pun," Heryani membeberkan.

Mata tua yang masih bening ini berkaca-kaca. Ada lapisan air yang mencoba dibendung. Sementara Heryani terdiam, pikirannya seperti menerawang jauh ke masa yang ia ceritakan.

"Ada sekitar 150 tahanan. Mereka berasal dari macam-macam. Ada yang dari Gerwani, ada yang dari HSI, dan lainnya. Saat di Ambarawa, para tahanan itu masih bebas. Tidak dikurung dan diizinkan berinteraksi dengan warga masyarakat sekitar. Meskipun tetap terbatas," Heryani menambahkan.

Membuat Lagu

Teman-temannya di Kamp Plantungan itu rata-rata masih muda. Mereka masih memiliki anak kecil sepertinya. Dan mereka senasib, tidak tahu nasib suaminya. Kembali mata Heryani berkaca-kaca.

Heryani segera menetralkan perasaannya. Kerut garis mulutnya ditarik ke atas. Ya, Heryani tersenyum. Setelah menyeruput teh ia melanjutkan ceritanya.

Pernah saat-saat tertentu, ia tak bisa menahan kangen terhadap anaknya. Saat itulah, ia menuangkan perasaan dalam puisi.

"Di tahanan Ambarawa saya bersahabat dengan penjaga. Namanya Ibu Djuwita. Beliau menemukan puisi saya kemudian mengajak saya menggubahnya menjadi sebuah lagu. Tentu saja rima dan jumlah suku kata dihitung, biar pas dengan notasi dan jumlah bar yang ada," ujar Heryani.

Ia mengeluarkan sebuah notasi musik yang ditulis tangan lengkap dengan not balok dan not solmisasi atau not angka. Itulah hasil akhir kolaborasi seorang tahanan dan penjaganya.

Menghirup Udara Bebas

Tahun 1978 merupakan tahun yang juga bersejarah bagi perjalanan hidup Heryani. Saat itu, ia dibebaskan. Bebas merupakan suatu hal yang pernah disangka. Apalagi, ia tak pernah menjalani pengadilan dan mendapat vonis bersalah.

"Lepas dari tahanan, saya mencoba survive dengan apa pun yang ada. Keterampilan yang saya miliki. Mulai dari menjahit hingga membuat kue," kata Heryani.

Ia juga mencoba membaur dengan masyarakat. Menunjukkan bahwa ia memang tahanan politik, ia tidaklah seperti stigma masyarakat. Heryani bukan pemberontak. Heryani bukan pembunuh sesama.

Foto kenangan Heryani Busono, eks tapol peristiwa 1965. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Lambat laun, masyarakat akhirnya bisa menerima keberadaan Heryani. Proses kembali ke masyarakat itu jauh lebih sulit. Dukungan keluarga dan para tetangga dinilainya menjadi salah satu kunci. Terlebih, ia tergolong perempuan dengan pendidikan tinggi pada zamannya.

"Saya sekarang menikmati masa tua saya dengan menjadi guru les privat Bahasa Inggris. Benar saya adalah tahanan politik. Tidak setiap manusia dipercaya seperti saya untuk menapaki jalan derita," ujar Heryani.

"Dan itu memperkaya pengalaman batin saya. Memang kasihan untuk anak-anak. Namun saya yakin suatu saat pengalaman batin anak-anak saya juga akan sangat bermanfaat bagi negeri ini," Heryani menambahkan.

Teh di cangkir masih tersisa dan sudah tak sehangat ketika disuguhkan. Namun, sambutan Heryani dan aura rumah yang rapi dan bersih yang dia tinggali, seperti menghangatkan lagi sisa teh itu.

Kaki melangkah keluar rumah, tiba di luar pagar kembali terdengar Heryani bersenandung lagu yang diciptakannya bersama penjaga tahanan. Heryani sedang mengenang masa-masa itu. Saat ia menjalani kehidupan di balik jeruji besi sebagai tapol.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya