Terjerat Utang, Bripka Seladi Tetap Menolak Pungli

Untuk membayar utang-utangnya, Bripka Seladi memilih mengumpulkan sampah. Padahal, jabatan polisi yang didudukinya dianggap lahan basah.

oleh Zainul Arifin diperbarui 20 Mei 2016, 12:30 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2016, 12:30 WIB
Bripka Seladi, Polisi Jujur
Bripka Seladi memilih mengumpulkan sampah. Padahal, jabatan polisi yang didudukinya dianggap lahan basah.

Liputan6.com, Malang - Tubuhnya tegap, tak memperlihatkan usianya sudah 57 tahun. Seladi namanya. Mengenakan singlet putih dan topi dengan lidah topi dibalik, tangannya cekatan memilah tumpukan sampah di sebuah gudang di Jalan Dr Wahidin, Kota Malang, Jawa Timur.
 
Hari itu, ia bersama seorang pemuda dan dua orang lainnya ada di antara tumpukan sampah di gudang berukuran sekitar 36 meter persegi. Orang tak akan menyangka jika sosok pria itu adalah personel kepolisian berpangkat brigadir kepala (bripka).
 
Bripka Seladi sehari–hari berdinas di Bagian Urusan SIM Kantor Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) Polres Malang Kota. Kantor tempatnya berdinas ini hanya berjarak sekitar 100 meter dari gudang tempat ia memilah sampah.
 
"Kalau kawan-kawan di tempat dinas sudah tahu dengan aktivitas saya ini," kata Bripka Seladi, Kamis, 19 Mei 2016.

Pekerjaan sampingan mengumpulkan sampah ini telah dijalani Bripka Seladi sejak 2004 lalu. Selama itu pula, ia mengabaikan segala pembicaraan dari koleganya di kantor. Entah itu mencibir atau mendukung usaha yang ditempuh bapak tiga anak ini. Bagi Seladi, usaha sampingannya ini halal dan bisa mendukung dapur rumah tangganya agar tetap mengepul.
 
"Kalau gaji sebagai polisi sih ya dicukupkan, mengatur pemakaian rutin tiap bulan. Aktivitas mengumpulkan sampah ini menambah pendapatan saya," ujar Seladi.
 
Banyak orang yang heran dengan pekerjaan sampingan Seladi mengumpulkan sampah. Apalagi banyak yang berpendapat unit lalu lintas, terutama di bagian pengurusan SIM merupakan tempat "basah". Banyak godaan, terutama dari warga yang membutuhkan jasa pengurusan SIM.
 
"Ya sampeyan tahu sendiri lah pendapat orang. Tapi selama ini, saya tak pernah mau menerima meski diberi, apalagi meminta," tutur pria yang bekerja sebagai polisi sejak 1978 ini.

Ditipu Rekan Kerja

Jalan panjang dilalui Seladi sebelum memilih mengumpulkan sampah sebagai pekerjaan sampingan. Ia pernah dikirim dinas ke Timor Timur pada 1984–1985.

Sepulang dari provinsi yang kini menjadi negara Timor Leste itu, Seladi ditempatkan di bagian pengurusan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) Satlantas Polres Malang Kota sampai 1998. Selama itu pula, Seladi tak sudi mengutip biaya dari orang lain.
 
Ia memilih merintis berbagai usaha sampingan, seperti bisnis sepatu dan elektronik pada 1998. Untuk mengembangkan usaha ini, Seladi meminjam duit dari koperasi sebesar lebih dari Rp 150 juta. Malangnya, ia ditipu rekan bisnisnya yang kabur entah ke mana. Jadilah Seladi terbelit utang dan harus mengangsur guna melunasi utang itu sampai saat ini.
 
"Saya ditipu, rekan bisnis kabur. Terpaksa saya yang harus melunasi utang itu, mengangsur sejak tahun 1998 sampai sekarang. Tapi sebentar lagi lunas," ujar Seladi.

Lilitan utang itu tak membuat Seladi tergoda selama bekerja di unit lalu lintas yang sekarang menyisakan setahun lagi sebelum masa pensiun. Ia memilih usaha sampingan dan pada akhirnya mengumpulkan sampah pada 2004.

Awalnya, ia memulung sampah yang ada di kantor Polres Malang Kota untuk dibawa pulang. Setiap hari, ia masuk kerja mulai pukul 06.00–15.00 WIB, mulai dari apel pagi di kantor, berjaga di titik lalu lintas dan masuk kembali ke kantor. Seusai jam dinas, Seladi berkeliling memulung sampah dengan mengendarai sepeda angin.  
 
Ia memilih Stasiun Kota Baru Malang sebagai lokasi utama mengumpulkan sampah. Tumpukan sampah itu dibawanya pulang untuk dibersihkan di rumahnya di Jalan Gadang Gang 6 Nomor 44. Saat itu, Seladi mendapat uang sebesar Rp 25 ribu per hari dari menjual sampah.
 
"Anak–anak saya juga ikut membantu membersihkan dan memilah. Itu juga cara mendidik mereka tentang kerja keras dan jujur dalam bekerja," ucap Seladi.
 
Seladi diberi izin menempati sebuah gudang milik rekan kerjanya di Polres Malang Kota. Di gudang yang baru ditempati beberapa tahun lalu itu, Seladi menampung sampah yang dikumpulkan pemulung lainnya. Sekarang, setiap hari ia mampu mendapat penghasilan tambahan sebesar Rp 75 ribu–100 ribu per hari.
 
"Berbagi dengan yang lain, saya pasti beli ada kalau yang kirim sampah ke gudang ini," tutur dia.
 
Di balik himpitan utang yang belum lunas, pendapatan tambahan dari menjual sampah itu mampu mengantar ketiga anaknya sekolah. Anak sulung Seladi, Dina Aprita Sari, lulus Diploma Jurusan Farmasi dan kini bekerja sebagai tenaga farmasi di sebuah rumah sakit di Kota Malang.

Untuk membayar utang-utangnya, Bripka Seladi memilih mengumpulkan sampah dibantu anak lelakinya. (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Anak keduanya, Rizal Dimas Wicaksono, juga lulus Diploma Jurusan Informatika. Sedangkan si bungsu, Neni Winarti, duduk di bangku Kelas 2 di sebuah SMA Negeri di Kota Malang.
 
"Keluarga dan anak–anak mendukung penuh karena mereka mengerti tentang kerja keras dan kejujuran," ucap Seladi.
 
Putra kedua Seladi, Rizal Dimas Wicaksono sehari–hari turut membantu mengumpulkan dan memilah sampah di gudang. Rizal mengaku turut membantu sang ayah sejak masih duduk di bangku SMA.
 
"Saya bangga dengan apa yang dilakukan bapak. Beliau adalah pekerja keras, sumber inspirasi dan mengajari saya mandiri," kata Rizal.
 
Ia mengaku ingin menjadi seorang polisi layaknya sang bapak yang jujur. Rizal telah dua kali ikut tes masuk kepolisian jalur bintara dan gagal seleksi. Kali ini, ia kembali mendaftar masuk polisi melalui jalur tamtama.
 
"Minggu besok ada tes kesehatan di Mapolda Jawa Timur. Semoga saja berhasil, saya ingin membuktikan bahwa polisi bisa bekerja dengan baik seperti bapak," ucap Rizal.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya