Liputan6.com, Cirebon - Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait maraknya bajak laut belum membuat nelayan tenang. Kebijakan itu dianggap belum sesuai dengan kondisi nelayan pantura yang menjadi korban kejahatan perompak.
Sekjen Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Budi Laksana menjelaskan usai aksi nelayan di Jakarta beberapa waktu lalu, pemerintah pusat melalui KKP dan lembaga terkait menghasilkan empat poin solusi.
Poin pertama yakni menyiapkan Call Center atau Hotline bagi nelayan ketika ada masalah di tengah laut. Poin selanjutnya, melakukan pemetaan bersama kerawanan di lokasi-lokasi baik yang mengindikasi rawan kejahatan atau memang titik yang menjadi operasi perompak.
Poin ketiga adalah koordinasi bersama Polda Lampung, KKP yang dikepalai satgas 115. Poin terakhir yakni agar nelayan mempunyai surat izin andon atau izin usaha.
"Sebetulnya setelah aksi itu kami sempat diminta perwakilan untuk diajak meninjau lokasi langsung di Lampung. Tapi sampai kami pulang ke rumah tidak ada kejelasan bahkan rencana tersebut batal. Hasilnya adalah empat poin yang harus kami kritisi," kata Budi Laksana kepada Liputan6.com, Kamis (25/8/2016).
Baca Juga
Dia menyatakan, empat poin hasil pembahasan KKP dan lembaga lain yang terkait belum tepat dan sesuai kondisi nelayan. Seperti poin pertama, yakni menyiapkan call center atau hotline kurang sesuai mengingat hampir semua korban perompak adalah nelayan kecil. Para nelayan kecil korban perompak tersebut tidak memiliki teknologi pendukung yang canggih di tengah laut. Nelayan juga membutuhkan waktu lama untuk sampai di darat ketika terkena perompak.
"Berangkat mencari ikan saja di laut bisa sampai dua hari lebih. Nah, ketika harus melapor melalui call center kami tak punya pendukungnya. Belum lagi kalau ke darat harus menempuh waktu sampai dua hari lagi," kata dia.
Selain itu, tutur Budi, SNI meminta agar pemerintah terlibat dalam tim gabungan sebagai upaya memberantas perompak dan bajak laut di perairan Lampung. Dia menjelaskan, seluruh nelayan yang berlayar di perairan Lampung tahu informasi dan titik setiap para perompak beroperasi.
"Bahkan nelayan juga tahu terkait penangkapan ikan menggunakan jaring yang tidak sesuai ketentuan pemerintah, bahkan dugaan illegal fishing, tangkap ikan pakai bom," ujar dia.
Advertisement
Tak Percaya Polisi Lagi
Dari kondisi tersebut, Budi mengaku sebagian besar para nelayan di daerah Pantura Jawa Barat sampai Tegal Jawa Tengah hilang kepercayaan kepada aparat kepolisian dan jajarannya. Oleh karena itu, SNI meminta pemerintah dan pihak berwajib untuk membina kembali para nelayan, khususnya yang menjadi korban perompak.
Selain pembinaan, nelayan juga meminta pemerintah tidak mempersulit kebijakan administrasi surat perizinan. SNI mengusulkan agar pemerintah mendata nelayan kecil untuk mendapat kebijakan surat izin.
"Paling tidak ini bisa jadi catatan dan evaluasi DKP, KKP, untuk mendata nelayan karena nelayan Andon berpindah-pindah. Hasil tindak lanjut tuntutan nelayan tentang penegakan hukum di perairan laut, harga rajungan yang semakin stabil. Jangan sampai nelayan melapor karena ada perompak malah dimarahi bahkan parahnya di pos penjagaan kosong tidak ada orang," kata dia.
Sejak maraknya perompak di perairan Lampung, sebagian besar nelayan di Pantura Jawa Barat dan Tegal Jawa Tengah masih berhenti melaut alias menganggur.
"Ada juga yang trauma, ada yang nekat melaut karena tidak ada penghasilan lain selain mencari ikan dan rajungan," kata Budi.