Dendang Keroncong Pemilik Lahan Tuntut Ganti Rugi di Jalan Tol

Pemilik lahan menyebut masih ada sisa ganti rugi sebesar Rp 9 miliar yang belum dibayarkan pemerintah.

oleh Eka Hakim diperbarui 20 Okt 2016, 17:44 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2016, 17:44 WIB
Dendang Keroncong Pemilik Lahan Tuntut Ganti Rugi di Jalan Tol
Pemilik lahan menyebut masih ada sisa ganti rugi sebesar Rp 9 miliar yang belum dibayarkan pemerintah. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Ahli waris pemilik lahan, Itje Koemala versi Chandra Taniwijaya menggelar aksi berjalan sambil bermain musik keroncong di jalan Tol Reformasi Makassar.

Aksi tersebut akan dilakukan secara terus menerus hingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) untuk membayarkan sisa uang ganti rugi pembebasan lahan mereka yang sudah dijadikan jalan tol.

"Kami akan terus melakukan aksi menduduki lahan kami setelah Kementerian PU-PR membayarkan sisa uang ganti rugi lahan kami yang sudah 15 tahun lebih hanya diimingi janji," kata Andi Amin Halim, kuasa hukum ahli waris pemilik lahan Itje Koemala versi Chandra Taniwijaya, Rabu, 19 Oktober 2016.

Amin mengatakan aksi pendudukan lahan merupakan upaya akhir karena KemenPUPR dinilai tak punya itikad baik memberikan hak pemilik lahan yang merupakan warga kecil.

"Sekali lagi kepada Kementerian PUPR, kami tegaskan bahwa jangan harap kami akan tinggalkan lahan kami sebelum ada pembayaran hak kami. Sudah 15 tahun kami disengsarakan, kami lebih baik memilih mati demi memperjuangkan hak kami," ujar Amin.

Amin menyebut KemenPUPR tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI di tingkat PK bernomor 117/PK/Pdt/2009 tertanggal 24 November 2010. Keputusan itu memerintahkan Kementerian PUPR untuk segera membayarkan sisa uang ganti rugi lahan sebesar Rp 9 miliar lebih kepada ahli waris pemilik lahan, Itje Koemala versi Chandra Tani Wijaya.

"Kementerian PUPR telah menilep uang kami. Ini sangat jelas karena hingga saat ini kami belum dibayarkan setelah 15 tahun berjalan," ujar Amin.

Amin mengatakan sisa uang ganti rugi lahan yang belum terbayarkan, yakni sebesar Rp 9 miliar lebih dari total anggaran pembebasan lahan pada 1996 sebesar Rp 12 miliar. Pembayaran awal pembebasan lahan, kata dia, telah diterima pada 1998 sebesar Rp 2,5 miliar setelah melalui proses verifikasi yang panjang oleh tim pembebasan lahan.

Namun, sisa pembayaran ganti rugi lahan yang semestinya dibayar pada 2001 nyatanya belum diterima hingga kini. Di tengah proses pengurusan sisa pembayaran uang ganti rugi lahan, kata Amin, ada seorang warga yang mengaku sebagai ahli waris bernama Ince Baharuddin yang ternyata sama sekali tak ada hubungan kekeluargaan dengan Itje Koemala selaku pemilik lahan.

Namun, karena nama yang mirip menggunakan sebutan Ince sehingga Ince Baharuddin memanfaatkan kondisi dan mengaku sebagai bagian dari ahli waris.

"Akhirnya, kita pun diarahkan untuk menyelesaikan itu dulu dengan menggugat Ince Baharuddin dan Kementerian PUPR hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Alhasil, MA memutuskan kami yang berhak menerima sisa ganti rugi dan Kementerian PU-Pera diperintahkan untuk segera membayar sisa uang ganti rugi lahan," kata Amin.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya