Liputan6.com, Ternate - Lobster dan kepiting itu menjadi tontonan. Pemandangan tak biasa ini memicu perhatian anak-anak dan sebagian warga di Kota Ternate, Maluku Utara.
Amatan Liputan6.com, tawa dan canda anak-anak tersebut sesekali memecah mengalihkan perhatian orang dewasa yang hendak membeli dan melihat dagangan hewan laut itu.
Warna lobster yang hijau tua dengan garis-garis putih melintang pada tubuhnya dipenuhi duri-duri yang tajam meliputi kepala, bagian belakang lobster hingga ekor. Begitu pula dengan warna kepiting, kemerahan yang berpadu hitam keabu-abuan.
Lobster dan kepiting kurang lebih 10 hingga 15 sentimeter itu hidup di perairan dangkal pada laut kedalaman 50 meter di perairan Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Umumnya, kedua hewan laut yang hidup di daerah Halmahera Selatan tersebut bersembunyi di terumbu karang perairan dangkal setempat, pada kedalaman 7 sampai 100 meter.
Baca Juga
Advertisement
Kedua hewan langka itu ditangkap saat berdiam di dalam lubang-lubang karang. Banyak dijumpai di kawasan Pulau Widi, Kepulauan Joronga dan Pulau Kayoa, Kabupaten Halmahera Selatan.
Salah satu pedagang lobster dan kepiting di Ternate, Rusli saat disambangi Liputan6.com, mengatakan hewan dagangannya diperoleh dari nelayan Kabupaten Halmahera Selatan.
"Saya ambil dari nelayan (Halmahera Selatan). Biasanya dorang (mereka) tangkap udang dan gatang (kepiting) besar ini malam hari," kata lelaki 32 tahun itu pada Liputan6.com, di kawasan Tapak Satu, Kelurahan Makassar Timur, Kecamatan Ternate Tengah, Selasa, 22 November 2016.
Kabupaten Halmahera Selatan memiliki banyak potensi sumber daya alam yang melimpah. Selain tanah yang subur, juga laut yang menyediakan segudang makanan bagi kehidupan masyarakat setempat. Di antaranya hewan laut yang langka dilindungi UU itu.
"Harga lobster dan gatang ini saya jual Rp 50 ribu per kilo," kata dia.
Pakai Racun
Rusli mengungkapkan, sebagian besar lobster dan kepiting yang dijualnya itu ditangkap nelayan secara ilegal. Mereka diduga menggunakan bahan kimia beracun berupa potasium sianida.
Dia tidak tahu efek dari penjualan hewan langka tersebut. Dia mengatakan, sebagian besar warga setempat memilih lobster atau kepiting sebagai lauk pengganti ikan.
Banyaknya potensi kekayaan itu belum dibarengi dengan sumber daya manusianya. Minimnya pengetahuan tentang perlindungan hewan langka salah satu faktor pemicu penangkapan secara ilegal yang dilakukan warga dan nelayan-nelayan di Malut.
Hewan laut yang dilindungi itu kini tidak sebatas dikonsumsi warga, tetapi sudah menjadi penunjang pendapatan pedagang dan nelayan setempat. Lobster dan kepiting yang ditangkap sebagian kecil dikonsumsi dan sebagian besarnya dijual ke pasar. Kota Ternate salah satu pasar unggulan yang dituju.
"Ada dua cool box. Satu isinya 200 ekor lobster dan satunya 150 ekor kepiting," ujar Rusli.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara Ismet Soleman mengungkapkan, minimnya sosialisasi yang dilakukan instansi berwenang menjadi faktor utama hewan-hewan perairan dilindungi itu ditangkap dan dijualbelikan secara bebas.
"Makanya penting dilakukan sosialisasi lebih lanjut terkait hewan-hewan perairan yang dilindungi pemerintah kepada nelayan atau warga setempat, agar tidak salah dalam konteks merealisasikan UU perlindungan biota-biota appendix I," kata dia.
Biota appendix atau hewan kelas satu yang dilindungi itu berupa lobster dan kepiting. "Itu penting sekali. Selain itu, pada penggunaan alat tangkap nelayan tidak boleh memakai metode destruktive fishing. Itu salah. Makanya dalam UU kita melarang," ucap dia.
Minim Sosialisasi
Destruktive fishing atau penangkapan dengan cara pengeboman, penggunaan potasium sianida dan racun merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang yang berujung pidana.
Namun, tidak semua nelayan memahami hal ini. Maka itu, ia meminta pemerintah tidak menyalahkan warga jika penangkapan lobster dan kepiting langka terus terjadi.
"Kalau warga belum tahu maka penting untuk pemerintah memberikan penjelasan lebih lanjut soal itu (destruktif fishing). Selain appendix I, maka penting juga nelayan atau warga dan pemerintah melihat proses pertumbuhan hewan langka itu ketika dalam satu masa peleburan, dewasa, dan pada saat reproduksi itu harus dilihat skala-skala umur berapa yang boleh dimanfaatkan atau dijual," Ismet menjelaskan.
Kepala Balai Karantina Hewan Provinsi Maluku Utara belum dapat dihubungi. Melalui telepon saat dikonfirmasi beralasan masih berada di Kabupaten Halmahera Selatan.
Dia mengarahkan Liputan6.com mengkonfirmasi Kepala Bagian Perlindungan Hewan Balai Karantina Hewan setempat, tapi nomor yang dihubungi tidak aktif.