Liputan6.com, Yogyakarta - Permintaan daging sapi di DIY tidak terpengaruh oleh kasus antraks yang mencuat beberapa hari terakhir. Harga daging sapi yang dijual di pasar tetap berkisar Rp 115.000 per kilogram dan jumlah daging sapi yang keluar dari rumah pemotongan hewan (RPH) Bantul pun relatif stabil, yakni sekitar 4 ton per hari atau 30-35 ekor per hari.
"Dari pengamatan saya, tidak signifikan walaupun masyarakat sempat khawatir dengan antraks, karena mereka juga sudah membaca informasi soal antraks yang benar," ujar Ilham Jayadi, Ketua Paguyuban Pedagang Daging Sapi (PPDS) Segoroyoso, Senin, 23 Januari 2017.
Ia mengungkapkan, penurunan konsumsi daging sapi memang lazim terjadi di awal minggu dan meningkat kembali saat akhir pekan. Menyikapi antraks, hal terpenting bagi RPH adalah mencermati asal sapi yang dipotong. Selain itu, pemerintah juga harus memperketat pengawasan daging sapi.
Baca Juga
Ilham bercerita sekitar 3-4 bulan lalu, banyak kasus sapi mati mendadak di Jawa Tengah dan DIY. Namun, peternak tidak melaporkan hal itu kepada dinas terkait. Mereka kemudian mengubur atau menjual sapi sakit itu sebelum mati.
"Ini contoh yang belum diidentifikasi walaupun belum tentu penyebabnya antraks," kata Ilham.
Ilham juga tidak mengkhawatirkan sapi yang mengidap antraks bisa dijual bebas di pasar, sebab kemungkinan besar ketika sampai pasar, hewan itu sudah mati. Ia mengaku sudah menyosialisasikan gejala antraks kepada para peternak dan mereka siap melaporkan ketika ada indikasi antraks pada hewan ternak.
Bantuan Vaksin Antraks
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mendapat bantuan vaksin sebanyak 17.600 dosis dari Kementerian Pertanian untuk mengatasi antraks di Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo.
Sekretaris daerah (Sekda) Kulon Progo Astungkara di Kulon Progo, Senin, mengatakan vaksin tersebut tiba di lokasi kejadian antraks pada Jumat, 20 Januari 2017.
"Kami memperkirakan kebutuhan vaksin 17.500 dosis, tapi mendapat kiriman 17.600 dosis. Kami belum mengetahui, apakah vaksin tersebut masih kurang atau tidak," kata Astungkara, dilansir Antara, Selasa (24/1/2017).
Selain itu, ia juga meminta Dinas Pertanian dan Peternakan (DPP) menginvestigasi masuknya virus antraks ke Girimulyo. Pasalnya, di sana tidak pernah ditemukan kasus antraks.
"Kami minta tim menginvestigasi Ngatijo pemilik sapi yang terkena antraks. Sapi tersebut didapat dari mana. Ini perlu diinvestigasi supaya antraks tidak meluas," kata dia.
Kepala DPP Kulon Progo Bambang Tri Budi mengatakan pihaknya belum memvaksinasi hewan ternak yang berada di Desa Purwosari, khususnya Dusun Ngaglik, Penggung, Ngroto dan Wonosari. Sejak 16 Januari, petugas masih menyuntikkan obat antibiotik kepada hewan ternak di wilayah ini.
"Penyuntikan vaksin dilakukan setelah dua minggu dilakukan penyemprotan atau pengobatan anti-biotik," kata dia.
Kepala Dinas Kesehatan Kulon Progo Bambang Haryatno mengimbau kepada warga Desa Purwosari kalau demam, flu, atau gatal-gatal langsung ke puskesmas dan jangan dianggap enteng. Warga harus selalu curiga dengan kondisi kesehatan.
"Kalau ke luar rumah menggunakan pelindung dan masker," katanya.
Terkait jumlah hewan ternak yang terserang antraks, Bambang mengatakan ada 18 ekor, dengan rincian 14 ekor mati sebelum Desember 2016, dan empat ekor pada Januari ini. "Kami minta datanya jangan simpang siur, sehingga tidak meresahkan masyarakat," kata Bambang.
Advertisement
RS Sardjito Bersiap
RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta sebelumnya dikaitkan dengan pasien H (8) yang terindikasi virus antraks dan meninggal dunia 6 Januari 2017 lalu. Kepala Bidang Hukum dan Humas RSUP Dr Sardjito, Trisno Heru Nugroho mengatakan masih menuggu hasil laboratorium yang dilakukan Puslitbangkes Kemenkes.
Menurut dia, hasil laboratorium ini harus melalui komparasi terlebih dahulu. Jika memang hasilnya sama, ia baru bisa mempublikasikan.
"Selama ini, kita hanya satu. Itu pun diagnosanya baru menunggu besok pagi dari hasil Puslitbangkes Kemenkes. Itu suatu standar, harus dikomparasi. Artinya tidak boleh satu kesimpulan itu kita yakini," ujar Trisno di Sardjito, kemarin.
Heru mengungkapkan diagnosis pertama penyebab meninggalnya H adalah radang otak, bukan antraks. Saat masuk 31 Desember 2016, korban mengalami radang otak dengan indikasi tubuh panas tinggi dan kesadaran terus menurun.
Korban langsung dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Setelah menjalani perawatan selama enam hari, H akhirnya meninggal dunia.
"Pada waktu meninggalnya kan karena radang otak. Pada perkembangannya, setelah dua hari pulang, ada ditemukan bakteri antraks. Makanya, kita masih terus komparasi," ujar Heru.
Heru mengatakan RSUP Dr Sardjito siap jika nantinya ada permintaan untuk menampung pasien dengan virus antraks, khususnya pasca-penemuan virus tersebut di Kulonprogo. Pihaknya sudah memiliki ruangan isolasi berkapasitas delapan orang, yakni ruang melati 5 yang bisa digunakan untuk pasien terduga antraks.
"Saya harus cerita, pasien di,ruang khusus ini adalah pasien dengan kewaswpadaan tinggi. Sekarang terisi dua tapi bukan antraks. Di sini banyak pintu. Untuk masuk ke sini harus melewati banyak pintu baru ketemu pasien dan ketat sekali," tutur Heru.
Heru berpesan kepada masyarakat untuk tidak takut berlebihan terkait penyakit antraks yang sedang berkembang di wilayah Yogyakarta. Jika memang merasakan badan tidak enak, dapat ke dokter terdekat agar diketahui jenis penyakitnya.
"Panas, mual, muntah, dan kesadaran menurun, maka datang ke dokter. Masak daging dengan mateng dan tidak takut berlebihan," ujar Heru.