Ritual Warga Grobogan Antar Jenazah 'Berenang' Menuju Kuburan

Menemani jenazah berenang menyeberangi sungai bukan suatu yang menakutkan bagi warga di sini.

oleh Felek Wahyu diperbarui 10 Feb 2017, 14:21 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2017, 14:21 WIB
Tradisi Para Pengantar Jenazah Berenang
Tradisi Para Pengantar Jenazah Berenang

Liputan6.com, Semarang - Menemani jenazah berenang menyeberangi sungai bukan suatu yang menakutkan bagi warga Dusun Ndoro, Desa Tanjungsari, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Mereka benar - benar sudah terbiasa berenang bersama jenazah, mengantarnya ke pemakaman.

Bukan hendak takabur atau hendak mengabaikan penghormatan terakhir bagi jenazah. Namun, berenang dengan jenazah merupakan kewajiban secara tradisi dan turun temurun dilakukan warga di perbatasan Kabupaten Grobogan dengan Kabupaten Blora ini.

Kebiasaan berenang bersama jenazah menjadi kebiasaan yang harus dilakukan secara turun-temurun ketika hendak memakamkan tetangga atau kerabat yang meninggal. Apalagi satu-satunya tempat pemakaman paling dekat dari situ ada di seberang Sungai Lusi.

Bukan saja penghormatan, namun berenang menyeberangi Sungai Lusi dari desa yang ada di sisi selatan sungai ke makam desa di sisi utara sungai juga menjadi salah satu pengorbanan untuk orang yang meninggal.

"Menantang maut, memang iya. Tapi itu sudah turun temurun. Bahkan dari saya kecil sampai sekarang ya baru sekali ini ada orang tenggelam pas antar jenazah," aku Basori, warga desa Tanjungsari mengomentari soal ada salah satu pengantar jenazah yang terseret arus sungai saat mengantar jenazah Jinem, kemarin.

Menyeberang sungai dengan lebar sekitar 100 meter dan kedalaman sampai 10 meter memang harus dilakukan. Sebab, jalur itu itu merupakan akses tersingkat dan satu-satunya akses yang bisa dilewati ketika orang harus memanggul jenazah.

Pasalnya, jika akan memutar melewati jembatan sungai, jarak lebih dari lima kilometer harus dilewati plus halangan jembatan rel kereta api yang sempit membuat pelayat tidak bisa melintas sembari memanggul jenazah.

"Ya harus berenang. Jika tidak berenang memutar jauh, ada jembatan pun tidak bisa dilewati. Yang renang orang pilihan yang memang ditugasi mengantar jenazah dan sama seperti orang melayat ditempat lain, renangpun kami sempat sholawat," aku pria yang saat peristiwa pelayat hanyut mendapat tugas menunggu diseberang sungai.

Pengantar Bukan Perenang Ulung

Tradisi Para Pengantar Jenazah Berenang
Tradisi Para Pengantar Jenazah Berenang

Kendati tinggal di tepi sungai terpanjang di Jawa Tengah bukan berarti membuat warga jago berenang. Jika menyeberang, pelayat dan jenazah sama - sama menggunakan alat bantu.

Jika dulu warga menggunakan gedebog pisang atau bambu buat berenang, serta tandu jenazah diberi alas gedebog pisang atau bambu biar mengapung dan mudah didorong.

"Jadi jika ada yang meninggal pelayatnya sepuluh ya kami potong 14 pohon pisang lebih untuk menyeberangkan jenazah," ungkap Basori.

Karena banyaknya pohon pisang yang dipotong, maka muncul ide agar alat bantu berenang itu diganti dengan pipa PVC atau lebih dikenal dengan sebutan pipa peralon. Selain ringan, pipa paralon juga bisa digunakan berkali - kali sebagai rakit keranda jenazah.

"Lima tahun lalu kami buat pipa peralon khusus untuk menghantar jenazah. Jadi jika gedebog pisang atau bambu sekali pakai, peralon bisa kita pakai berkali-kali," tutur Basori.

Selama sekitar 35 tahun mulai bisa membantu warga meninggal, Basori mengaku selalu mendapat tugas khusus. Yakni menerima jenazah di seberang sungai. Di seberang sungai, dia juga harus mencari tempat yang datar dan lebih rendah dari tepi sungai awal penyeberangan.

"Kenapa saya ambil lebih bawah karena saat menyeberang sungai pasti jenazah juga akan sedikit geser. Paling jauh geser sampai 100 meter lebih bawah dari titik awal renang," ucap dia.

Saat terjadi insiden terseretnya Jumeno, salah satu pelayat asal Dusun Pojok RT 4, RW 02 Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari merupakan kabar yang sangat mengejutkan.

Sebab, Jumeno yang merupakan 'tamu' itu yang paling muda saat bertugas bersama tiga orang lainnya menjadi penjaga rakit keranda jenazah ketika menyeberangi sungai. Jumeno masih berusia 28 tahun.
 
"Yang lain, Jupri berusia 50 tahun, Masruri umur 30 tahun, mbah Marjuki usia 50 tahun semua asli Tanjungsari. Jumeno kehabisan nafas, jadi tenggelam," ungkapnya.

Adapun permasalahan terseretnya pelayat ini langsung mendapat respon dari Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Orang nomor satu di Jawa Tengah itu langsung menghubungi Bupati Grobogan, Sri Sumarni untuk menanyakan kebenaran informasi pengantar jenazah berenang itu terseret arus sungai.

Ganjar juga tengah memikirkan solusi agar para warga tidak harus berenang untuk mengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

"Tadi sudah telepon dan kita sudah turunkan tim ke lokasi untuk melihat lokasi dan untuk mencari solusi atas kasus warga harus berenang 100 meter untuk melayat," ujar Ganjar.

Hingga kini, Jumeno yang terbawa arus deras Sungai Lusi saat mengantar jenazah berenang belum ditemukan. Polisi bersama Tim SAR dibantu warga masih melakukan pencarian dengan menyusuri sungai.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya