Liputan6.com, Bandung - Indonesia selalu memperingati Hari Kartini setiap 21 April. Hari saat Raden Ajeng Kartini dilahirkan yang kemudian dikenal luas sebagai salah satu pelopor emansipasi wanita di Indonesia.
Di Bandung, Jawa Barat, kita juga punya Raden Dewi Sartika yang juga dikenal sebagai pejuang yang berkonsentrasi pada kemajuan kaum hawa. Tak hanya berjuang untuk perempuan, Dewi Sartika juga berjuang demi pendidikan dan dikenal sebagai aktivis pergerakan.
Raden Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, 4 Desember 1884. Anak kedua pasangan Raden Rangga Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas itu biasa dipanggil Uwi.
Ia hidup berkecukupan karena sang ayah ketika itu menjabat sebagai Patih Afediling Mangunreja, cikal bakal Kabupaten Tasikmalaya. Maka itu, Uwi bisa bersekolah di Eerste Klasse Schoo, bercampur dengan anak-anak Belanda dan Indo Belanda serta kalangan ningrat lainnya.
Baca Juga
Pada 1891, ayah Uwi dimutasi ke Bandung dan menjadi Patih yang membantu Bupati Bandung RA Kusumadilaga. Selanjutnya, keluarga Somanagara tinggal di sebuah rumah dinas yang besar dan berhalaman luas di Kapatihan Straat (sekarang Jalan Kepatihan).
Seperti tertulis dalam buku Biografi Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika: Sang Perintis karya Yan Daryono, terjadilah sebuah prahara pada 1893. Kala itu, kedudukan jabatan Bupati Bandung diperebutkan setelah RA Kusumadilaga wafat. Sejak peristiwa ini, Dewi Sartika tidak bisa menamatkan pendidikannya.
Persoalannya dilatari saat sebuah bom ditemukan di bawah panggung pacuan kuda di Tegallega, Bandung. Oleh para pejuang, bom itu dimanfaatkan untuk menghabisi para pejabat penting kolonial yang biasanya menghadiri pacuan kuda.
Atas peristiwa tersebut, Somanagara dipindahkan sebagai Patih di Mangunreja, Priangan Timur, karena dianggap memihak para pejuang. Hasil pengusutan memutuskan ayah Dewi Sartika bersalah karena membantu para pejuang Indonesia. Ia lalu dihukum dengan dibuang ke Ternate, Maluku Utara.
Advertisement
Dianggap Anak Pemberontak
Sejak saat itu, Dewi Sartika dan kakak beserta adiknya harus kehilangan kedua orangtuanya. Tidak ada satu pun sekolah yang pada waktu itu yang membukakan pintunya bagi anak buangan. Apalagi, santer terdengar di Tanah Priangan bahwa orangtua Dewi Sartika memberontak terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Dewi Sartika terpaksa putus sekolah di usianya yang menginjak 9 tahun. Bersama kakak dan adiknya, dia ikut uwaknya, Raden Demang Suriakarta Adiningrat yang menjadi Patih Afdeling Cicalengka sampai menginjak usia 18 tahun.
Di sinilah, Uwi kecil sudah mulai melihat dan mendapat pelajaran memasak, mencuci, menyetrika dan cara-cara mengurus rumah tangga yang masih memegang adat istiadat. Saat itu, masih jamak anggapan jika kaum perempuan tidak usah pintar, tapi cukup sebagai penghias dan pelaksana rumah tangga.
Dewi Sartika merupakan satu-satunya perempuan di lingkungan dia tinggal yang pandai membaca dan menulis. Tak mengherankan bila kemudian para sepupunya memintanya untuk menulis dan membacakan surat.
Namun, Dewi Sartika menganggap jika keadaan ini didiamkan akan membahayakan nasib kaum perempuan. Alhasil, muncul cita-citanya untuk memberikan pendidikan bagi kaum perempuan.
Setelah menyelesaikan tugasnya sehari-hari, Dewi Sartika memanfaatkan waktu dengan mengembangkan sebuah permainan yang dinamai "Guru dan Sakola". Gadis periang dan suka bergaul dengan anak-anak dari kalangan jelata itu mencoba meyakinkan para gadis seusianya untuk bisa membaca dan menulis hanya melalui permainan tersebut.
Permainan dilakukan di belakang dapur Kepatihan. Dewi Sartika muda mulai mengajarkan baca tulis kepada siapa saja, termasuk anak-anak pembantu di tempat tinggalnya.
Alat yang digunakan Dewi Sartika juga sangat sederhana, yakni batu tulis dan pecahan genting. Papan tulis yang digunakan merupakan papan bekas yang ada di sekitar halaman rumah. Sedangkan, kapurnya menggunakan arang kayu.
Advertisement