6 Sisi Unik Dewi Sartika, Pejuang Emansipasi Sekeren Kartini

Tak hanya perjuangkan kesetaraan, Dewi Sartika ternyata juga getol menyuarakan anti-poligami.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 21 Apr 2017, 08:02 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2017, 08:02 WIB
6 Sisi Unik Dewi Sartika, Pejuang Emansipasi Sekeren Kartini
Tak hanya perjuangkan kesetaraan, Dewi Sartika ternyata juga getol menyuarakan anti-poligami. (dok. Buku Raden Dewi Sartika Sang Perintis)

Liputan6.com, Bandung – Sama seperti RA Kartini, Raden Dewi Sartika juga adalah kalangan bangsawan. Serupa dengan Kartini, perempuan Sunda itu juga memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki hingga keduanya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Namun, sosok Dewi Sartika tidak setenar Kartini. Padahal, pendiri Sekolah Kaoetamaan Isteri itu juga memiliki kepribadian unik. Berikut Liputan6.com merangkum enam sisi unik dari Dewi Sartika.

1. Dikenal Tomboi

Dituturkan Yan Daryono dalam buku Raden Dewi Sartika Sang Perintis, perempuan yang karib disapa Uwi itu ternyata tomboi meski setiap hari selalu mengenakan kebaya dan rambut disanggul cepol.

Cara bicara Dewi Sartika lugas dengan tutur kata yang tegas, bahkan kadang bernada keras tak seperti kebanyakan perempuan Sunda yang bertutur halus. Bahkan karena sikapnya yang lincah dan tak bisa diam, Dewi Sartika pernah terjatuh hingga tangan kanannya patah tulang.

Kecelakaan itu membuat anak perempuan keturunan ningrat menjadi kidal. Tangan kirinya lebih aktif digunakan dibanding tangan kanannya.

2. Bareng Abdi Dalem

Saat berumur 10 tahun, Dewi Sartika pernah tinggal di Cicalengka bersama kakak dan adiknya. Mereka dititipkan kepada keluarga Raden Demang Suriakarta Adiningrat, Patih Afdeling Cicalengka.

Dewi Sartika ditempatkan di kamar belakang, setara dengan para abdi dalem. Selama di sini, hidupnya dalam berbagai tekanan sekaligus kenangan pahit. Namun, Dewi Sartika dapat mengikuti berbagai pelajaran yang disampaikan oleh Agan Eni, istri keempat Patih Cicalengka, kepada para anak perempuan dari kalangan menak bawah yang tinggal juga di situ.

Anak-anak perempuan itu umumnya adalah anak-anak para kuwu, cutak, carik, mantri ulu-ulu dan sebagainya. Mereka sengaja disuruh mondok di rumah Patih Cicalengka untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh Agan Eni.

3. Penentang Poligami

Dewi Sartika tumbuh sebagai gadis remaja yang cantik dan menawan. Meski statusnya sebagai abdi dalem, hal itu tidak menyurutkan pancaran pesona Dewi Sartika.

Salah satu yang terpincut pesona kecantikan Dewi Sartika adalah Raden Kanjun Surianingrat. Kanjun tak lain salah satu putra Patih Cicalengka, Raden Suriakarta Adiningrat, yang sudah menikah dan punya satu anak.

Usaha Kanjun untuk menjadikan Dewi Sartika sebagai istri kedua gagal setelah ditolak dengan halus. Selain tak mungkin untuk jadi istri saudara sepupunya, Dewi Sartika pun sangat menentang poligami dan tidak ingin merusak rumah tangga yang sudah dibangun Raden Kanjun bersama istri.

4. Cinta Sejati

6 Sisi Unik Dewi Sartika, Pejuang Emansipasi Sekeren Kartini
Tak hanya perjuangkan kesetaraan, Dewi Sartika ternyata juga getol menyuarakan anti-poligami. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Masih soal cinta, Dewi Sartika ternyata pernah menolak pinangan seorang Pangeran Banten. Padahal, pria yang melamarnya merupakan pria modern lulusan HBS. Dia lebih memilih seorang pria bernama Raden Agah Kanduruan Suriawinata, guru di Eerste Klasse School Karang Pamulang.

Selain sebagai guru, Raden Agah adalah duda beranak dua. Salah seorang anaknya wafat menyusul ibunya yang telah meninggal lebih dahulu. Pilihan Dewi Sartika nyatanya tak salah. Lelaki itu mendukung perjuangan Dewi Sartika membuka sekolah yang pada 1910 resmi bernama Sakola Kaoetamaan Istri.

Pada 25 Juli 1939, Raden Agah Soeriawinata meninggal dunia. Dewi Sartika rupanya tidak patah semangat di tengah jalan. Dia terus melanjutkan tugasnya mendidik kaum perempuan.

5. Rajin Menulis Artikel di Media

Selain dikenal sebagai aktivis pendidikan, Dewi Sartika begitu rajin menulis. Namanya kian harum ketika menuangkan berbagai pemikirannya di berbabagi media massa yang terbit di Bandung maupun daerah lain seperti Yogyakarta dan Surabaya. Materi artikel yang diterbitkan di antaranya tentang pendidikan bagi kaum perempuan bumiputera, penentangan poligami, prostitusi dan semacamnya.

Menurut Dewi Sartika, seorang perempuan bumiputera yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan, akan menjadi tidak berdaya ketika kehilangan tempat berlindung. Maka itu, ia menegaskan, para perempuan bumiputera haruslah membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang mampu menjadikan dirinya mandiri, memiliki harapan dan impian terhadap masa depan yang lebih baik.

6. Dirikan Sekolah Formal Pertama bagi Bumi Putera

Meskipun tidak lama mengenyam bangku sekolah atau mengikuti pendidikan formal, Dewi Sartika adalah seorang anak perempuan yang memiliki kecerdasan lebih dari anak-anak seusianya. Selain itu, ia bertalenta sebagai pendidik.

Di dalam kesulitan hidupnya, ia terinspirasi dan termotivasi untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan informal yang selanjutnya melembaga menjadi pendidikan formal bernama Sakola Istri pada 16 Januari 1904 sebagai sekolah perempuan bumiputera pertama di Hindia Belanda masa itu.

Seiring keberhasilan Dewi Sartika menyelenggarakan dan mengelola sekolah perempuan bumiputera, semakin banyak pula sekolah perempuan bumiputera terselenggara di berbagai daerah hingga ke luar Jawa.

Dampaknya sangat luar biasa. Berkat pendidikan di sekolah-sekolah perempuan itu, makin banyak kaum perempuan bumiputera yang terpelajar dan bermunculan di masyarakat luas.

Semakin banyak perempuan terpelajar dan terdidik bermunculan di masyarakat, rupanya makin menyadarkan kaum perempuan tersebut untuk membentuk perserikatan atau perkumpulan yang intinya untuk memperjuangkan kesamaan hak dengan kaum pria.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya