Kisah Perebutan Takhta Sultan Yogya dan Permaisuri yang Terbuang

Sang permaisuri Sultan HB V memilih jalan kekerasan saat terus ditekan dalam kisruh perebutan takhta Sultan Yogya.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 10 Jul 2017, 12:31 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2017, 12:31 WIB
Kisah Perebutan Takhta Sultan Yogya dan Permaisuri yang Terbuang
Wisatawan mengunjungi keraton kesultanan Yogyakarta,(10/7).Kunjungan wisata mengalami lonjakan menjelang liburan akhir lebaran .(Boy Harjanto)

Liputan6.com, Manado - Kesultanan Yogyakarta ternyata punya keturunan yang pernah hidup di Manado sejak akhir 1800-an. Ini terkait dibuangnya Permaisuri dan Putra Mahkota Sri Sultan Hamengkubuwono V, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga.

"Sang permaisuri dan putra mahkota pernah tinggal, bahkan wafat dan dimakamkan di Manado. Kompleks pemakaman itu yang terletak di Kelurahan Mahakeret Barat, Kecamatan Wenang, Manado," ungkap Roger Kembuan, sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sam Ratulangi Manado, Senin, 3 Juli 2017.

Roger dalam tesisnya menulis tentang para eksil yang dibuang ke kampung Jawa Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Terkait itu, dia juga mengkaji secara mendalam bagaimana kisahnya hingga permaisuri dan putra mahkota bisa dibuang dari Keraton Yogyakarta hingga wafat di Manado.

"Semua diawali dari kemelut yang terjadi di Kesultanan Yogyakarta, terutama setelah Sultan HB V wafat pada tanggal 4 Juni 1852," kata Roger.

Saat wafat itu, Sultan HB V meninggalkan permaisurinya Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, dalam keadaan hamil tua. Dua minggu kemudian, ia melahirkan seorang putra pada 17 Juni 1855 dan diberi nama RM Gusti Timur Muhammad alias Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga.

Kematian Sultan HB V yang mengejutkan, membuat istana bergejolak. Para pangeran yang sudah lebih senior mulai melakukan intrik, sehingga menimbulkan isu bahwa seorang putra raja yang lahir setelah raja meninggal menurut adat Jawa tidak berhak atas takhta.

Pemerintah Belanda kemudian mengangkat adik Hamengkubuwono V menjadi Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877). Kejanggalan dalam cara pengangkatan dan penggantian sultan ini menyebabkan timbulnya berbagai reaksi penentangan.

"Ambisi Ratu Sekar Kedaton dan kemudian kerabatnya, membuat RM Gusti Timur Muhammad menjadi harapan banyak orang yang berkepentingan dalam keraton Yogyakarta," kata Roger.

Berbagai upaya dilakukan Kanjeng Ratu Sekar Kedaton untuk tetap mempertahankan posisi putranya Gusti Timur Muhamad sebagai penerus takhta raja. Ia bahkan menikahkan Gusti Timur Muhamad dengan salah satu putri Sultan HB VII dengan harapan memperkuat sekutu dalam istana.

Namun, upaya permaisuri membawa Gusti Timur Muhamad ke kursi raja tetap gagal. Belanda yang mengambil untung dalam kemelut itu kemudian menunjuk putra Sultan Hamengkubuwono VI sebagai putra mahkota pada 1872.

"Yang kemudian naik tahta sebagai Sultan Hamengkubuwono VII pada tahun 1877," tutur Roger.

Pada 5 Maret 1883, putra Sultan Hamengkubuwono VII dari istri kedua yang baru berusia 10 tahun, RM Akhadiyat, diangkat sebagai putra mahkota yang kelak menggantikannya sebagai Sultan HB VIII. Ratu Kedaton yang tak tahan ambisinya terus ditekan memilih jalan kekerasan.

"Namun akhirnya, dia tertangkap saat melakukan perlawanan pada 8 April 1883," ujar Roger.

Pada 8 April 1883, Van Baak selaku perwakilan pemerintah Hindia Belanda mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal Frederiks Jacob yang berisi permintaan untuk mengasingkan Ratu Kedaton dan Pangeran Timur Muhamad.

 

Saksikan video menarik di bawah ini:

Pengasingan dengan Pesangon

Kisah Perebutan Takhta Sultan Yogya dan Permaisuri yang Terbuang
Sang permaisuri Sultan HB V memilih jalan kekerasan saat terus ditekan dalam kisruh perebutan takhta Sultan Yogya. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Gubernur Jenderal merespons berita tersebut dengan mengatakan bahwa keduanya harus secepatnya diasingkan, dan menegaskan bahwa Sultan yang harus menerbitkan surat keputusan pengasingan.

"Tiga hari kemudian, pada 11 April 1883, Sultan mengeluarkan perintah untuk mengasingkan keduanya dari Jawa," tutur Roger.

Beberapa koran seperti De Locomotief dan Soerabaja Handelsblad memberitakan proses pembuangan Ratu dan Pangeran Soerio Ingalaga. Keduanya lalu dikirim dengan kereta api khusus ke Semarang dan kemudian ditempatkan di Kapal Uap Cheribon.

Rombongan permaisuri yang terbuang itu selanjutnya berlayar sekitar lima jam ke Surabaya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Manado. "Di Manado, Ratu Sekar Kedaton dan putranya beserta keluarga yang mengiringi, bermukim di daerah Pondol. Di tempat itu mereka tinggal di Pesanggrahan yang pernah dihuni Pangeran Diponegoro," tutur Roger.

Pembuangan yang mereka terima harus menyendiri dan tidak lagi memiliki hak atas semua harta dan statusnya. Bahkan, kekayaan pribadinya pun tidak diperkenankan dibawa.

"Kampung Pondol itu kemudian dikenal dengan sebutan Pondol Keraton, karena di sana tinggal Sekar Kedaton bersama putra mahkota dan keluarga. Juga ada keturunan bangsawan dari Surakarta dan Palembang," ujar akademisi yang menyelesaikan studi Strata 2 di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Selama di Residen Manado, Ratu Sekar Kedaton dan Timur Muhamad bersama keluarga diberikan uang bulanan sebesar 150 gulden dari kas keraton Yogyakarta. "Timur Muhamad atau Pangeran Soerio Ingalaga meninggal lebih dulu pada 12 Januari 1901," ujar Roger.

Setelah kematian pangeran, Residen Menado van Hengel meminta Ratu Kedaton untuk dikembalikan ke Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa ratu telah lanjut usia, dan setelah kematian anaknya tersebut dianggap bukan menjadi ancaman lagi bagi keraton. Terlebih uang bulanan yang diberikan kepada mereka cukup tinggi.

"Namun hal itu sepertinya tidak direstui, dan permaisuri tetap tinggal di Manado hingga meninggal pada 25 Mei 1918," ujar Roger.  

Setelah permaisuri dan putranya meninggal, yang tersisa di pengasingan adalah istri putranya yakni RA Kanjeng Gusti, putri kedua Sri Sultan HB VII, dan anak-anaknya yakni Abdul Razak (Radjab), putri RA Mariah, dan RA Salamah.

Abdul Razak menikah dengan Unggu Bin Sihaka, dan memiliki empat anak, yaitu RM Sujadi, RM Obed, RA Tien dan seorang yang tidak diketahui namanya. "Abdul Razak juga menikah untuk kedua kali dengan gadis Manado, Ema Sondakh. Tapi tidak memperoleh keturunan," tutur Roger.

Sepeninggal Ratu Sekar Kedaton dan Timur Muhamad, Abdul Razak beberapa kali mengirim petisi yang meminta agar mereka dikembalikan ke Jawa. Namun, permintaan itu tak digubris Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu, de Graeff.

"Tapi, De Graeff tidak memberikan izin kepada mereka untuk kembali ke Jawa," katanya.

Pada 3 Januari 1934, Abdul Razak pergi ke Batavia untuk bertemu dengan Gubernur Jendral De Jonge dan kembali meminta izin agar dapat kembali ke Jawa. Permintaan itu akhirnya dipenuhi tetapi dengan syarat.

"Abdul Razak dan seluruh keluarganya diizinkan untuk kembali di Jawa, tetapi di luar wilayah Kesultanan Yogyakarta," ujar Roger.

Pada 1940, RM Abdul Razak bersama keluarganya kembali ke Jawa, dengan keseluruhan biaya kepindahan mereka ditanggung pemerintah Belanda. Namun, tak ada catatan lengkap apakah seluruh anak Timur Muhamad, yakni Abdul Razak dan dua saudaranya serta keturunan mereka kembali ke Jawa pada 1940 itu.

"Yang kami tahu keluarga Jawa, dan kini sudah campuran yang ada di Pondol Keraton ini merupakan keturunan dari Putra Mahkota Sultan HB V. Mereka tidak ikut pulang ke Jawa saat itu," ujar Mohammad Albuchari, juru kunci makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Timur Muhamad.

Albuchari, warga kampung Pondol, Kelurahan Wenang Utara, Manado ini mengatakan, ayahnya dulu menjadi salah satu petugas yang memungut iuran atau upeti dari warga yang tinggal di Pondol Keraton. "Sampai sekarang warga asli Pondol ini banyak didominasi keturunan Jawa dan Sumatera," kata Albuchari.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya