Perjuangan Pengungsi Sampit di Gubuk Dekat Gudang Bulog

Saat kerusuhan Sampit pecah, perempuan itu hanya sempat menyelamatkan diri dan anaknya yang masih berusia 4 bulan. Suaminya jadi korban.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 05 Okt 2017, 15:03 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2017, 15:03 WIB
Hidup Pilu Pengungsi Sampit di Gubug dekat Pagar Gudang Bulog
Di gubuk inilah Madiyah, bekas pengungsi Sampit tinggal bersama keluarganya. (Liputan6.com/Musthofa Aldo)

Liputan6.com, Bangkalan - Gubuk itu berdiri seadanya dengan salah satu dinding menempel langsung pada pagar gudang Bulog Kabupaten Bangkalan. Dinding lainnya ditutupi aneka barang bekas, kombinasi antara kerajinan tangan dan benda olahan abrik. Sementara, dinding bagian atas ditutupi gedek dari anyaman bambu dan bagian bawah disambung seng bekas talangan air yang sudah karatan.

Di gubuk kawasan Jalan Halim Perdana Kusuma itulah keluarga Madiyah hidup. Saat Liputan6.com berkunjung, sang kepala keluarga bernama Brudin dan anak semata wayang keluarga itu, Faisal, sedang di luar rumah.

"Bapaknya baru keluar untuk mulung. Anak saya lagi magang, dia kelas 3 SMK, ambil jurusan mesin," ucap Madiyah, Rabu, 4 Oktober 2017.

Madiyah kelahiran Kabupaten Sampang, 46 tahun silam. Dia yatim piatu sejak kecil. Ia pulang ke tanah kelahirannya hanya saat lebaran, itu pun bila ada uang lebih.

Saat mudik, aktivitasnya hanya ziarah ke kuburan orangtuanya dan mengunjungi rumah orangtuanya yang kini ditempati keponakannya. "Rumah di Sampang juga rumah gedek seperti yang saya tempati ini, saya dari keluarga miskin," ujar dia.

Bagaimana hidup Madiyah berakhir di gubuk itu? Matanya menerawang jauh menatap rimbun belukar yang mengelilingi gubuknya. Lalu, sepatah kata meluncur dari mulutnya dan tergambarlah perihnya hidup yang harus dia jalani. "Saya pengungsi Sampit," kata dia.

Seperti kebanyakan orang Madura, Madiyah putuskan merantau ke Sampit, Kalimantan Tengah, sekitar tahun 1996 untuk memperbaiki nasib. Ia menyewa rumah sederhana di Gang Babalan, Jalan S Parman, Kota Sampit. Madiyah jualan rokok dan minuman pakai gerobak dorong.

Enam tahun di Sampit, Madiyah bertemu jodoh, menikah dan punya anak Faisal pada 2001. Saat usia anaknya baru empat bulan, pecah kerusuhan Sampit.

Suaminya jadi korban, Madiyah seorang diri menyelamatkan diri dengan anaknya. Dia sempat mengungsi di Balai Kota Sampit, lalu naik truk sampah ke pelabuhan dan meninggalkan Sampit dengan kapal laut.

"Saya enggak bawa apa-apa, baju ganti dikasih orang selama pelarian," kata dia.

Sampai di Tanjung Perak, Surabaya, Faisal kecil bawa rezeki, banyak orang beri uang untuk ongkos pulang ke Madura. Sampai di Bangkalan, ia bingung mau ke mana.

Ia pilih tinggal di pasar, tidur di emperan dan kerja serabutan untuk menyambung hidup. Selama hidup di pasar itulah, ia bertemu dengan Brudin, suaminya kini.

"Bapaknya juga orang enggak punya, jadi kami tinggal di gubuk belakang sekolah, terus pindah karena lahannya mau dipakai," kata dia.

Keluarga itu pun cari tanah kosong lagi. Warga yang bersimpati menyarankan agar menempati lahan kosong di samping gudang Bulog. Warga bahkan menyumbang kayu dan genting buat bikin gubuk.

"Kami di sini sejak Faisal kelas 5 SD, kini dia kelas 3 SMK. Sudah 8 tahun," kata Madiyah.

Setelah kehidupan sulit yang dia jalani, Madiyah hanya berharap tanah kosong itu tak segera dipakai pemiliknya. Setidaknya, sampai anaknya Faisal lulus sekolah, mandiri dan punya pekerjaan tetap.

"Kalau sudah bekerja, mungkin Faisal sukses sehingga bisa bawa keluarga tinggal di tempat yang lebih layak," dia berharap.

Bagi Madiyah, hasil memulung botol bekas dengan suaminya hanya cukup buat makan dan membiayai sekolah Faisal.

"Seminggu mulung, dapatnya cuma Rp 150 ribu. Untuk kemarin, ada Pak Polisi ke sini bantu beras, mi dan minyak goreng, jadi kebutuhan dapur aman."

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya