Liputan6.com, Depok - Sejak ramai diberitakan bahwa situs Rumah Cimanggis akan dirobohkan bersamaan dengan pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), masyarakat pencinta dan peduli sejarah telah bergerak bersama agar situs ini tetap dipertahankan.
Komunitas Betawi Kita meminta agar Presiden Joko Widodo memahami bahwa Rumah Cimanggis bukanlah seonggok bangunan tua tak bermakna seperti yang disebutkan sebagai situs masa lalu milik penjajah korup yang tak pantas dipertahankan.
Baca Juga
Dalam pernyataannya, Wapres Jusuf Kalla menilai rumah itu merupakan milik seorang istri kedua yang tak perlu ditonjolkan.
Advertisement
"Kami sangat keberatan dengan pernyataan Wapres karena Rumah Cimanggis adalah bukti berkembangnya sebuah kota. Tidak hanya Depok, Bogor, atau Jakarta. Apa yang dilakukan Gubernur Jenderal van der Parra yang membangun rumah peristirahatan di Cimanggis untuk istrinya, Adriana Johanna Bake, membawa dampak kemajuan yang signifikan," ujar pendiri sekaligus Ketua komunitas Betawi Kita, Roni Adi, dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com, Kamis (18/1/2018).
Rumah Cimanggis menandai dibukanya hubungan antara kota-kota lain di Jawa. Pembukaan lahan di Cimanggis, pembangunan jalan penghubung dan pasar yang dibuka sebagai dampak pembangunan Rumah Cimanggis oleh Van Der Parra membuat kota semakin hidup dan bergairah.
Bahkan mengilhami pembangunan Jalan Raya Pos oleh Gubernur Jenderal Daendels yang menjadi asal-usul kemajuan kota-kota di seluruh Pulau Jawa.
"Sebagai penanda sebuah kota dan kemajuan yang terjadi berkat pembukaan lahan, kami meminta Presiden RI untuk mempertahankan situs Rumah Cimanggis. Apalagi situs ini memiliki arti penting bagi orang Betawi karena Rumah Cimanggis juga situs Betawi," jelas dia.
Roni menambahkan, Rumah Cimanggis juga penting bagi orang Betawi karena berada di Depok yang merupakan wilayah kebudayaan Betawi. Arsitektur dan pengaruh dari tata cara hidup Van Der Parra dan istrinya yang merupakan contoh keluarga harmonis di Hindia Belanda banyak mempengaruhi segi-segi kebudayaan Betawi.
Van der Parra adalah gubernur mestizo. "Artinya, bukan Eropa murni. Mestizo ini kuat mempengaruhi kebudayaan Betawi," tegasnya.
Rumah Cimanggis Menanti Restorasi
Terpisah, sejarawan JJ Rizal mengatakan, Istana Negara mestinya lebih memahami karena deklarasi Nawacita sebagai jalan politiknya kepemimpinan Jokowi-JK. Sebab menurut Rizal, pada butir kedelapan Nawacita menegaskan pentingnya pengajaran sejarah.
"Apalagi sudah ada juga UU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 yang menjamin perlindungan benda dan bangunan bersejarah. Bukankah pernyataan Pak JK juga mengabaikan amanah Undang-Undang itu?" ungkap dia.
Rizal memandang, jika Rumah Cimanggis dianggap tidak layak sebagai situs sejarah karena bangunan penjajah yang korup, akan banyak sekali bangunan sejarah di Indonesia yang perlu dihancurkan dan dikoreksi karena tidak layak sebagai situs sejarah.
Bangunan-bangunan kolonial itu dipertahankan, lanjut Rizal, sama seperti bangunan prakolonial dengan kesadaran bahwa kita bisa belajar dari masa lalu.
"Sebab bukankah jika kita baik mempelajari masa lalu, maka akan baik juga menyiapkan masa depan," ujarnya.
Sejarah, lanjut Rizal, adalah ruang ibrah atau pelajaran dan hikmah. Malahan tegas-tegas kitab suci Al Quran juga bilang Firaun diselamatkan agar menjadi pelajaran.
"Jadi jangan dianggap membanggakan orang kafir dan karena itu harus dihancurkan piramid-piramid ruang bersemayam Firaun itu, justru sebaliknya agar jadi pelajaran generasi ke generasi agar tidak menjadi seperti Firaun," jelasnya.
Adapun kaitannya dengan Rumah Cimanggis sendiri, penulis sekaligus pendiri penerbitan Komunitas Bambu ini melihat rumah tua tersebut harusnya dilihat bukan sebagai membanggakan tindakan korupsi, tetapi jusru medium pelajaran agar jangan korupsi.
Advertisement
Identitas Kota dan Daerah Resapan
JJ Rizal menyebut, arsitektur Rumah Cimanggis mengingatkan bukan saja prestasi klasisisme Louis XV, tetapi juga Jawa Tropis yang atapnya mengingatkan pada bentuk atap bapang rumah Betawi.
Ia melanjutkan, "Rumah Cimanggis patut diselamatkan agar tanda identitas diri tidak hilang. Bahwa asal-usul kota modern juga berasal dari Rumah Cimanggis yang memberi gambaran besar tentang sejarah kota modern di Indonesia."
Ketua Komunitas Betawi Kita, Roni Adi, mengatakan penghancuran Rumah Cimanggis hanya akan menjadi jejak tragis ketidakpedulian pemerintah terhadap situs-situs budaya, umumnya yang berkaitan dengan kebudayaan Betawi.
"Banyak situs sejarah yang telah dihancurkan demi kepentingan bisnis para pemodal. Di antaranya Rumah Pondok Cina, Groeneveld yang tinggal puing, Rumah Citeurep, dan situs Pondok Gede. Semuanya ada di wilayah kebudayaan Betawi dan asal-usul kebudayaan Betawi," katanya.
Jika tidak ada artefak Rumah Cimanggis dan rumah-rumah lainnya yang telah hilang, maka tidak ada bukti bahwa kota modern tumbuh sebelum Jalan Raya Pos dibangun. Generasi masa kini pun kehilangan pijakan dan keterkaitan dengan generasi masa lalu.
"Oleh sebab itu, selamatkan dan restorasi Rumah Cimanggis sebagai penanda sejarah yang penting bagi generasi masa depan," Roni menegaskan.
Selain itu, dia menegaskan bahwa pihaknya tak menolak pembangunan Universitas Islam Indonesia Internasional, melainkan meminta pemerintah melakukan langkah tepat guna bagi Rumah Cimanggis dan lokasi sekitarnya.
Selama ini, kata dia, Depok kekurangan lahan terbuka hijau akibat pembangunan yang tidak terencana. Penyelamatan Rumah Cimanggis pun sejalan dengan Undang-Undang Cagar Budaya.
"Depok adalah kota yang miskin penyelamatan cagar budaya. Bahkan, Kota Depok tidak punya museum. Karena itu, penyelamatan Rumah Cimanggis dan restorasinya memiliki makna agar Depok menjadi kota yang lebih beradab dalam penyelamatan situs-situs budaya. Juga agar tidak ada lagi situs-situs Betawi yang menjadi korban," harapnya.