Punthuk Songo, Tempat Gerhana Bulan Bermula

Anak-anak yang lahir pada waktu tertentu dan wanita hamil dilarang keluar rumah jika terjadi gerhana, baik gerhana matahari maupun bulan.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 31 Jan 2018, 19:01 WIB
Diterbitkan 31 Jan 2018, 19:01 WIB
Punthuk Songo, Tempat Gerhana Bulan Bermula
Gardu peristirahatan di puncak Suralaya yang senantiasa diselimuti kabut. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Semarang - Gerhana bulan ataupun gerhana matahari adalah fenomena alam yang menawarkan kearifan lokal. Di Jawa Tengah, ada mitos yang kini mulai memudar, yakni bahwa gerhana bulan disebabkan karena Batara Kala mencaplok Bulan.

Inilah dongeng rakyat tentang dewa-dewi yang bermukim di kahyangan, puncak Gunung Suralaya, sebelah selatan Jawa Tengah.

Kisah diawali ketika Batara Guru mengundang semua dewa-dewi untuk minum air suci di Surga. Air ini dinamakan Tirta Kamandanu yang berarti "air abadi". Siapa pun yang meminumnya tidak akan pernah mati dan akan hidup selamanya.

Batara Kala adalah salah satu dewa yang berwajah raksasa. Meski wajahnya buruk, ia adalah putra Batara Guru dengan Dewi Uma. Ia tidak diundang karena dianggap jahat.

Budayawan Al Agus Supriyanto dari Semarang menuturkan bahwa perlakuan diskriminatif itulah yang menyebabkan Batara Kala marah. Inilah kisah awal mula terjadinya gerhana matahari dan gerhana bulan.

Meski tak diundang, Batara Kala diam-diam terbang ke Suralaya dan mencuri beberapa tetes air. Batara Surya (Dewa Matahari) dan Batara Candra (Dewa Bulan) mengetahuinya dan segera melaporkan ke Batara Guru. Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu (Dewa Pemelihara Alam/Pelindung) untuk merebut kembali Tirta Kamandanu.

"Batara Kala diburu para dewa, menjadi musuh nomor satu. Wisnu menjadi panglima dengan membawa senjata cakra," kata Agus, Rabu (31/1/2018).

Tebing terjal pegunungan menoreh, salah satu penanda sulitnya mencapai puncak Suralaya sebelum dibangun anak tangga. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Perburuan memang berhasil, tapi terlambat. Batara Kala sudah terlanjur minum Tirta Amertasari. Batara Wisnu segera mengambil Cakra dan memanahnya dengan cakra itu. Celakanya, air keabadian itu baru sampai kerongkongan Batara Kala.

"Batara Kala tumbang. Tubuhnya jatuh ke Bumi dan berubah menjadi lesung. Namun karena kepalanya sudah terkena air keabadian itu, maka tetap melayang di angkasa," kata Agus.

Kepala Batara Kala itu ternyata menyimpan dendam. Dendam itu ia lampiaskan kepada Batara Surya (Dewa Matahari) dan Batara Candra (Dewa Bulan) yang memergoki saat mengambil Tirta Kamandanu.

Dendam itu menggumpal menjadi kemarahan. Maka Batara Kala terus berusaha untuk menelan mereka. Suatu waktu, memang Batara Kala berhasil menelan kedua dewa itu satu demi satu. Saat itulah terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana  bulan.

"Namun karena kepala itu sudah tanpa tubuh, maka yang ditelan akan keluar dari lehernya. Itu adalah penanda gerhana sudah berakhir," kata Agus.

Meski demikian, Batara Wisnu berusaha menolong Batara Surya dan Batara Candra. Ia meminta bantuan penghuni Bumi agar memukul lesung kayu untuk membuat banyak suara saat terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan. Wisnu meyakini suara itu akan didengar Batara Surya dan Batara Candra sebagai penanda munculnya Batara Kala.

 

Kahyangan dan Pantangan Saat Gerhana

suroloyo
Matahari terbit dilihat dari puncak Suralaya sangat indah dilihat. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Puncak Gunung Suralaya sendiri adalah salah satu puncak tertinggi di Pegunungan Menoreh. Pegunungan ini memanjang dari perbatasan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan Kulonprogo, Daerah Istimewa YOgyakarta (DIY).

Di puncak ini ada yang dinamakan punthuk songo (sembilan) yang dihuni oleh sembilan Betara atau dewa. Di punthuk songo itu pula sekarang sudah dibangun gardu pandang berupa joglo yang biasa untuk beristirahat para peziarah.

Pemandangan dari Puncak Suralaya ini memang sangat indah. Bisa melihat nyaris seluruh gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah. Tak mengherankan jika diyakini bahwa Puncak Suralaya adalah Kayangan para dewa.

Mitos atau folklor tentang Batara Kala itu tentu membawa konsekuensi bagi masyarakat. Salah satunya adalah adanya pantangan. Ketika terjadi gerhana baik Matahari maupun Bulan, anak-anak kecil akan dilarang keluar rumah.

"Khususnya anak-anak yang lahir julung wangi (lahir saat matahari terbit), julung sungsang (lahir saat matahari di ubun-ubun) dan julung caplok (lahir saat matahari terbenam)," kata Al Agus Supriyanto.

Pemandangan dari puncak Suralaya memang sangat indah, wajar jika masyarakat meyakini tempat ini sebagai kayangan alias surga. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Menurut budayawan dan koreografer tari rakyat ini, selain larangan pada anak-anak tertentu, para orangtua juga harus menyiapkan sesajen di atas tempat tidur berupa kopi pahit, air putih, rokok klembak, dan bunga merah putih.

"Kalau akan gerhana, orangtua dahulu selalu berpesan jangan keluar rumah karena akan dicaplok buto (dimakan raksasa),'" kata Agus. 

Selain itu, wanita hamil juga tidak diperbolehkan keluar rumah karena dikhawatirkan anak dalam kandungan akan memiliki bibir sumbing seperti bentuk gerhana matahari. Sang wanita hamil ini juga harus membuat bubur merah putih sebagai tolak bala.

"Saat gerhana adalah saat kegelapan. Ini pertanda datangnya penderitaan, pegeblug atau wabah penyakit dan paceklik. Warga juga akan memukul-mukul batang pohon buah dengan tujuan agar buah-buahan tidak rusak," kata Agus. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya