Liputan6.com, Medan - Bentuk kepedulian terhadap sesama terutama bagi generasi masa depan bangsa dapat diwujudkan dalam berbagai hal. Salah satunya dengan memberikan wadah tempat belajar dan menggali ilmu pengetahuan.
Apalagi, kepada anak-anak dengan cara menyediakan sarana penunjang belajar. Selain sarana pendidikan formal di sekolah, juga perlu dibangun satu wadah untuk anak-anak belajar di luar sekolah.
Demi mewujudkan niat mulia tersebut, Teguh Ada Kaisa dari Kota Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, melakukan aksi jalan kaki sejauh 10 kilometer dari Kota Berastagi ke Kota Kabanjahe. Aksi ini dilakukannya pada Sabtu, 17 Maret 2018.
Advertisement
Baca Juga
Tidak hanya melakukan kampanye kemanusiaan, dalam aksinya ini, Teguh juga melakukan penggalangan dana. Caranya, mengajak setiap masyarakat yang dijumpai untuk berpartisipasi memberikan bantuan melalui Yayasan Alusi Tao Toba.
Yayasan Alusi Tao Toba merupakan sebuah yayasan sosial yang saat ini tengah menjalankan program rumah baca bagi anak-anak di kawasan pinggiran Danau Toba.
"Kami mengampanyekan pelan-pelan tentang empati dan menjadi filantropi kepada masyarakat. Ini semua demi kemaslahatan umat," kata Teguh kepada Liputan6.com, Minggu 18 Maret 2018.
Nantinya, dana yang terkumpul akan digunakan untuk operasional tujuh sopo belajar, ada juga kereta baca, dan kapal belajar yang dikelola oleh Yayasan Alusi Tao Toba. Semuanya demi membantu anak-anak untuk belajar.
"Menurut saya, yayasan ini punya tujuan mulia. Tujuannya membantu anak-anak dengan membuatkan akses mudah untuk bacaan-bacaan yang anak-anak butuhkan. Tidak hanya itu, juga sarana main bagi mereka," Teguh menandaskan.
Â
Sokola Kaki Langit
Aksi inisiatif kepedulian pada pendidikan berkembang di segenap daerah. Salah satunya seperti pernah direportase Liputan6.com, yakni Sokola kaki Langit.
Sokola Kaki Langit, tak ingin disebut organisasi, tak pula mau disebut komunitas. Menurut Andi Mey Kumalasari Juanda, pendirinya, Sokola Kaki Langit adalah sebuah gerakan untuk mencerdaskan anak-anak pegunungan yang terpinggirkan.
"Saya lebih senang Sokola Kaki Langit disebut gerakan. Gerakan untuk mencerdaskan dan mendidik bocah-bocah di dataran tinggi," kata Mey kepada Fauzan dari Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Ia mengaku meski hanya berupa gerakan, Sokola Kaki Langit yang berdiri sejak 28 Desember 2014 mampu bertahan hingga saat ini karena tidak ada ikatan bagi para tenaga pengajar yang ikut mengajar di dataran tinggi.
"Alasan lainnya adalah karena kami mempunyai semangat kerelawanan dan semangat kepedulian," katanya.
Mey mengungkapkan dirinya mendirikan Sokola Kaki Langit karena terinspirasi dari dua 'Sokola' pendahulunya, yakni Sokola Rimba yang fokus mendidik anak-anak yang ada di hutan rimba dan Sokola Pesisir yang fokus mendidik anak-anak pulau.
"Terinspirasinya memang dari situ, tapi bedanya Sokola Kaki Langit itu fokusnya kepada anak-anak yang berada di dataran tinggi," ujarnya.
Karena bukan organisasi terikat, siapa saja bebas untuk bergabung ke Sokola Kaki Langit. Mereka menyebut dirinya sebagai relawan. Penerimaan relawan dilakukan setiap bulan, setiap Sokola Kaki Langit akan berkunjung ke sekolah binaan untuk mengajar.
"Lama kunjungan dan kegiatan itu hanya lima hari, dan dilakukan setiap bulan," kata Mey.
Sokola Kaki Langit menyasar siswa-siswi sekolah dasar yang berada di dataran tinggi, yaitu sekolah-sekolah dasar yang sangat minim mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Sudah ada tiga sekolah binaan Sokola Kaki Langit. Pertama adalah SDN 11 Umpungeng yang berada di dataran tinggi Desa Umpungeng, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.
Kedua adalah SD Inpres Panggalungan, Sekolah Dasar yang berada di dataran tinggi Dusun Panggalungan, Desa Bulo-bulo, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Sementara yang ketiga adalah kelas jauh milik SD inpres Pattalassang, Dusun Maroangin, Desa Bulo-Bulo, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
"Jadi satu sekolah itu kita bina selama satu tahun, tiap bulan kita kunjungi sekolah binaan. Saat ini, kami sedang aktif melakukan pembinaan di kelas jauh SD Inpres Pattalassang," kata Mey.
Model pembinaan yang dilakukan adalah dengan membuka kelas non-formal yang dilakukan setelah para siswa-siswi Sekolah Dasar binaan pulang sekolah, seperti membuka kelas kreatif, latihan tari atau membuat kerajinan tangan dari alam.
"Kadang juga kita melakukan games, semua kegiatan non-formal itu kita lakukan setelah pulang sekolah," kata Mey.
Meski hanya memprogramkan kegiatan belajar mengajar non-formal, para relawan Sokola Kaki Langit kadang harus mengisi pelajaran formal para siswa-siswi Sekolah Dasar binaan mereka karena sekolah memiliki guru aktif terbatas.
"Bahkan menurut pengakuan siswa, tidak jarang kelas seharian itu kosong jam pelajaran, siswa mengaku kalau guru itu datang jika kami ada. Tapi menurut saya wajar mereka tidak datang mengajar karena rumah para guru yang sangat jauh dari sekolah tempat mereka terangkat jadi guru PNS," ucapnya.
Advertisement