Liputan6.com, Medan - Bila Anda menganggap Masjid Raya Al-Mashun atau Masjid Raya Medan yang terkenal di Jalan Sisingamangaraja, Kecamatan Medan Kota, sebagai masjid tertua, Anda salah. Ternyata, gelar sebagai masjid pertama di Kota Medan dimiliki oleh Masjid Raya Al-Osmani yang berada di Jalan KL Yos Sudarso, Medan Labuhan.
Jika Masjid Raya Al-Mashun mulai dibangun pada 1906 dan selesai pada 1909, Masjid Raya Al-Osmani dibangun pada 1854 oleh Raja Deli ke-7, yaitu Sultan Osman Perkasa Alam dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Pada 1870 hingga 1872, masjid dibangun permanen oleh anak Sultan Osman, yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam, Raja Deli ke-8.
Ketua Badan Kenaziran Masjid (BKM) Raya Al-Osmani, Ahmad Faruni, mengatakan pada masa kejayaan Sultan Osman Perkasa Alam, masjid itu disebut dengan Masjid Raya Al-Osmani Labuhan Deli. Saat itu, masjid berbentuk panggung berbahan kayu dengan ukuran 16 meter x 16 meter.
Advertisement
"Mengapa bentuk panggung, karena melihat kondisi alam pada waktu itu memungkinkan seperti itu. Dengan masa kejayaan Sultan Osman mendirikan rumah ibadah yang sangat sederhana. Tujuannya untuk mengumpulkan umat Islam, terutama suku Melayu yang berkembang saat itu," kata Faruni saat ditemui Liputan6.com, Rabu, 23 Mei 2018.
Baca Juga
Pembangunan Masjid Raya Al-Osmani Labuhan Deli pada awalnya juga bertujuan sebagai tempat sultan dan rakyatnya bertemu. Sehabis masa Sultan Osman Perkasa Alam, ia digantikan dengan sultan kedelapan, Sultan Mahmud Perkasa Alam, anak kandung Sultan Osman.
Pada masa Sultan Mahmud-lah terjadi perombakan besar-besaran pada Masjid Raya Al-Osmani. Masjid panggung berbahan kayu diubah berbahan batu seperti yang terlihat hingga saat ini. Pembangunan di masa Sultan Mahmud memakan waktu dua tahun karena memikirkan model arsitekturnya.
Faruni mengungkapkan, arsitek yang membangun Masjid Al-Osmani secara permanen berasal dari Jerman. Kemudian, mereka berdiskusi bagaimana membuat masjid tersebut tersebut tidak hanya populer pada saat itu, tetapi juga awet pada masa-masa akan datang.
Sultan Mahmud kemudian memberi waktu tiga bulan kepada arsitek tersebut untuk mencari wawasan tentang masjid.
"Alhamdulilah, dengan keuletan dari arsitektur beserta Sultan Mahmud, akhirnya Masjid Raya Al-Osmani terbangun dengan memiliki unsur arsitektur dengan seni yang beragam, mulai dari seni India, Timur Tengah, Eropa, Cina dan diselimuti oleh Melayu," jelasnya.
Kaya Budaya
Faruni menerangkan bila diamati satu per satu, sentuhan Eropa dapat dilihat dari bentuk bangunan masjid yang minimalis. Sementara, nuansa India terlihat di ruang utama masjid, yaitu bagian atas atau kubah yang mirip dengan Taj Mahal.
Kemudian dari sisi Timur Tengah bisa dilihat dari tiang-tiang yang mirip dengan masjid yang ada di Timur Tengah. Sedangkan, unsur budaya Cina terlihat dari pintu-pintu masjid dengan motif-motif China.
Terakhir, sentuhan Melayu Deli bisa dilihat dari dua warna pada Masjid Raya Al-Osmani, yaitu kuning dan hijau. Warna kuning pada masjid melambangkan suku Melayu Deli, sedangkan warna hijau melambangkan keislamannya.
"Artinya, Melayu sangat menjunjung tinggi adat budaya istiadat serta agama sebagai fondasi menegakkan agama Islam," kata Faruni yang sudah menjadi bagian BKM masjid sejak 2010.
Hingga kini, Masjid Raya Al-Osmani lebih kurang sudah tujuh kali direnovasi, yaitu mulai dari masjid didirikan pada 1854 dengan bahan kayu pilihan pada zaman Sultan Osman. Pada 1870 sampai 1872 dibangun menjadi bangunan permanen oleh Sultan Mahmud. Kemudian direhabilitasi oleh Deli Maatschappij pada 1927.
Selanjutnya pada 1963 sampai 1964, masjid direnovasi T Burhanuddin, Dirut Tembakau Deli II. Pada 1977 direhab dengan dana bantuan presiden di masa Wali Kota Madya KDH tingkat II Medan, yaitu Saleh Arifin. Pada 1991 sampai 1992 dipugar atas prakarsa Wali Kota Madya KDH tingkat II Medan, yaitu Bachtiar Djafar.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement