Menjaga Ketulusan Lewat Tuah Kartu Lebaran

Ucapan selamat Lebaran dan permintaan maaf digital yang bersifat copy-paste tak terbaca ketulusan hati pengirimnya, beda dengan kartu Lebaran.

oleh Ahmad Yusran diperbarui 15 Jun 2018, 11:02 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2018, 11:02 WIB
kartu lebaran
Kartu-kartu lebaran keluaran tahun 2017 yang masih bisa dimanfaatkan tahun 2018 ini. (foto : Liputan6.com / Ahmad Yusran)

Liputan6.com, Makasar- Ada yang masih meyakini efektivitas berkirim kartu Lebaran sebagai upaya menjalin silaturahmi. Kemajuan teknologi dan informasi beberapa tahun belakangan sukses menggerus kebiasaan bersapa lewat kartu Lebaran.

Depan kantor PT Pos Indonesia cabang Makassar, Jalan Slamet Riyadi, menjadi pusat penjualan sampul, map,  materai, dan poster presiden. Di tempat ini pula setiap Ramadan selalu ada penjual kartu Lebaran.

Nurmiati seorang mahasiswi mengaku tetap memilih penggunaan kartu Lebaran sebagai media meminta maaf bagi yang jauh. Rangkaian kata maaf yang indah disebut lebih bernilai personal jika dikirim melalui kartu Lebaran. Ya, Nurmiati tetap berkirim kartu Lebaran kepada orangtuanya yang berada di Kabupaten Dompu, Nusat Tenggara Barat.

"Kesan kuat yang muncul, lebih berniat meminta maaf dan mengirimkannya. Apalagi dari anak perempuannya yang sedang belajar dan jauh dari kampung halaman," kata Nurmiati.

Nasrun, seorang penjual kartu lebaran menyebutkan bahwa penjualan kartu lebaran semakin lama semakin turun. Bahkan ia mengaku masih memiliki persediaan kartu Lebaran edisi 2017. Nasrun pun menyalahkan perkembangan teknologi.

"Itu terjadi karena teknologi. Orang melupakan kartu ucapan Lebaran. Yang dipajang ini memang masih kartu Lebaran edisi tahun kemarin (2017). Keuntungan jualan kartu Lebaran ini pun sangat tipis hanya Rp 1.000," kata Nasrun kepada Liputan6.com Selasa, 12 Juni 2018.

Masyarakat lebih memilih kirim kabar atau ucapan selamat melalui telepon genggam atau gawai. Tentu lebih cepat sampai dan mungkin juga tak perlu repot mengetik sendiri dan hanya tinggal menyalin saja.

"Namun kami tetap jualan kartu Lebaran. Selalu ada yang datang membeli. Tentu kondisinya tak seramai dulu," kata Nasrun.

 

Membaca Ketulusan

kartu lebaran
Nasrun, masih berjualan kartu lebaran meskipun pemintanya sudah turun. (foto: Liputan6.com / Ahmad Yusran)

Adakah efek psikis terhadap dan penerima kartu Lebaran dibanding penerima ucapan virtual?

Dekan Fakultas Psikologi UNM, Prof DR Muhammad Jufri menyebut efeknya sangat besar. Ucapan personal jelas lebih memiliki jiwa dibanding ucapan digital yang tinggal menyalin.

"Tulisan tangan adalah gambaran jiwa seseorang. Melalui ucapan yang sifatnya personal, tergambar ketulusan dan niat pengirimnya," kata Jufri.

Menurutnya, ada sebuah cabang ilmu yang mempelajari karakter dari tulisan tangannya. Grafologi menjadi cabang ilmu yang penting untuk menjadi dasar pentingnya berkirim ucapan secara manual.

"Tak ada salahnya memelihara tradisi mengirim surat dan kartu ucapan untuk menyambung silaturahmi dengan kerabat dan rekan bisnis. Dengan berkirim kabar lewat tulisan manual akan mengurangi persentuhan dengan teknologi digital sehingga bisa meredam stres," kata Jufri.

Membaca rahasia di balik tulisan tangan atau Graphologi. Tidak sembarang, karena ada teknik dan cara tersendiri. Beda halnya dengan membaca pesan tulisan digital. Jadi masih tak ingin mencoba kirim kartu Lebaran?

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya