PPDB Zonasi Dinilai Turunkan Mutu Sekolah, Benarkah?

Dalam PPDB 2018 ini, Banyumas sebagaimana daerah lainnya, menerapkan sistem zonasi. Prestasi menjadi pertimbangan kedua

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 13 Jul 2018, 11:30 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2018, 11:30 WIB
Siswa di SMP Negeri 3 Gandrungmangu, Cilacap seusai USBN. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Siswa di SMP Negeri 3 Gandrungmangu, Cilacap seusai USBN. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - "Atiku srenat-srenut," begitu ungkapan Harsono, pria berusia 43 tahun asal Wangon, Banyumas Jawa Tengah, menggambarkan betapa hatinya gundah gulana mengamati perkembangan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMP di Banyumas.

Pantas Harsono ketar-ketir. Dalam PPDB 2018 ini, Banyumas sebagaimana daerah lainnya, menerapkan sistem zonasi. Prestasi menjadi pertimbangan kedua. Itu pun dengan quota yang terbatas, hanya lima persen.

Menimbang nilai anaknya, Uli yang mencapai skor 25.50 dalam ujian negara (UN), atau setara dengan nilai rata-rata 8,7 poin, mestinya ia bisa meneruskannya ke sekolah negeri favorit yang diinginkan. Namun, PPDB zonasi bikin kesempatannya menipis.

Calon siswa diterima di sekolah negeri bukan lantaran prestasinya, melainkan dihitung jarak terdekat hingga terjauh dari sekolah, dalam zona enam kilometer. Padahal, keluarga Harsono masih menggunakan alamat lama, Wangon, meski sekarang sudah tinggal di Kelurahan Pasir Kidul, Karanglewas.

Benar saja, hujan protes mewarnai pengumuman PPDB zonasi tingkat SLTP di Purwokerto dan daerah lain di Banyumas. Mereka protes lantaran anaknya yang bernilai tinggi dikalahkan oleh anak-anak lain yang bernilai rendah, tetapi beralamat dan berdomisili di dekat sekolah negeri.

Beruntung, di detik-detik terakhir pendaftaran, Harsono mengubah pendaftaran dari jalur umum ke jalur prestasi. Ia mengincar satu kursi dari quota lima persen. Singkat cerita, anaknya berhasil diterima di SMP Negeri 1 Purwokerto, salah satu SMP favorit dambaan wali murid.

"Anak saya kan memang punya prestasi ekstrakurikuler di bidang pramuka. Alhamdulillah diterima," ucap Harsono kepada Liputan6.com, Kamis, 12 Juli 2018.

Namun, ketidaksetujuannya terhadap sistem PPDB zonasi tak lantas berubah halauan. Ia tetap kecewa. Apa pasal? Anaknya sekelas dengan siswa bernilai 'biasa saja' namun dekat dengan gedung sekolah.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Sekolah Inklusif

Siswa SMP menggarap USBN. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Siswa SMP menggarap USBN. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Ia kaget setengah mati ketika mengetahui ada siswa baru seangkatan anaknya yang hanya bernilai UN 14, atau hanya berata-rata 4,6. Nilai ini nyaris separuh dari nilai anaknya yang bernilai rata-rata 8,7 poin.

"Ada yang nilai UN-nya Cuma 14 poin. Itu kan berarti empat koma. Ini mengecewakan," ujarnya.

Harapannya, buyar. Ia yang menginginkan anaknya berkompetisi melawan teman sekelas yang memiliki kemampuan kurang lebih setara, sirna. Kini, tak ada lagi sekolah unggulan, favorit atau terbaik.

Dia justru khawatir, siswa baru dengan nilai di bawah standar yang diserap dalam PPDB zonasi akan menurunkan mutu sekolah. Anak berprestasi mestinya melanjutkan ke sekolah favorit lantaran ingin berkompetisi dengan rekan yang sebanding.

"Ini akan membuat sekolah menurun mutunya. Apa nanti juga tidak kasihan dengan anaknya. Guru maksimal, tapi anaknya tidak mampu, bagaimana?" dia berujar.

Menanggapi kekhawatiran sebagian orang tua siswa, praktisi pendidikan, Ari Driyaningsih, yang juga Kepala SMP Negeri 3 Karanglewas Kabupaten Banyumas menepis bahwa serapan siswa di bawah standar bakal menurunkan mutu sekolah. Serapan siswa yang beragam ini justru menjadi tantangan bagi guru untuk mencerdaskan murid.

Dia menjelaskan, sekolah mestinya memang menerapkan standar yang sama sesuai dengan kurikulum yang berlaku, sebagaimana amanat Permendikbud Nomor 14 tahun 2018 tentang PPDB zonasi demi pemerataan dan kesempatan yang sama kepada anak didik.

Menurut dia, sistem zonasi akan membuat dikotomi sekolah favorit dan non-favorit akan hilang. Dengan begitu, mutu sekolah akan merata antara sekolah favorit dan non-favorit.

"Tiap anak memiliki hak yang sama, bahkan untuk anak berkebutuhan khusus," terangnya.

Pemerataan Kesempatan untuk Anak Berpestasi dan Pedesaan

Anak-anak di daerah perdesaan yang tak ada sekolah negeri. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Anak-anak di daerah perdesaan yang tak ada sekolah negeri. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Ari pun mengklaim, sekolah yang dipimpinnya adalah sekolah inklusif. Di sekolah ini ada 22 siswa berkebutuhan khusus yang diperlakukan sama dengan siswa normal. Ia mengaku tak khawatir, sistem zonasi akan menyebabkan banyak anak pintar tak diterima sekolah negeri.

"Bagi saya pribadi, anak-anak harus diberlakukan sama. Sistem zonasi adalah tantangan bagi guru untuk mencerdaskan anak didik," ujarnya.

Kepala Dinas Pendidikan Banyumas, Purwadi Santosa berjanji akan memperluas kesempatan bersekolah di SMP negeri bagi anak-anak berprestasi atau calon siswa yang berasal dari desa-desa yang berada di zona tanpa sekolah negeri.

Salah satunya yakni dengan memaksimalkan rombongan belajar (rombel) di tiap sekolah yang diprioritaskan untuk anak-anak berprestasi. Sebanyak 71 sekolah diinstruksikan untuk menambah kuota rombel dari 32 siswa per kelas menjadi 36 siswa per kelas.

Selain itu, sejumlah sekolah negeri juga membuka pendaftaran siswa untuk gelombang kedua. Dengan begitu, serapan untuk siswa berprestasi bisa dimaksimalkan.

"Ya, kalau mengikuti yang sudah daftar, kelemahannya desa-desa yang belum tercover itu belum mandaftar kan, ini juga akan kita pertimbangkan. Harapannya, desa-desa itu tercover itu. Kemudian, yang , jumlah rombel itu kita maksimalkan," tandasnya.

Namun begitu, Purwadi pun mengakui Permendikbud 14 ini tak bisa diterapkan di seluruh daerah di Indonesia. Sebab, karakterisitik tiap daerah berbeda. Penerapan Permendikbud yang kaku memicu timbulnya banyak masalah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya