Aturan Jarak hingga Anak Dirundung Teman, Emak-Emak Protes Sistem PPDB di Bandung

Para emak mempersoalkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Bandung yang menggunakan sistem zonasi.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 12 Jul 2018, 07:31 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2018, 07:31 WIB
Mengadu ke Disdik Bandung, Emak-Emak Protes soal PPDB Sistem Zonasi
Orangtua murid mendatangi Kantor Disdik Kota Bandung. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Ratusan orangtua murid kembali menggeruduk Kantor Dinas Pendidikan Kota Bandung, Rabu, 11 Juli 2018. Mereka mempersoalkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan menggunakan sistem zonasi.

Kekecewaan dilampiaskan para orangtua. Pasalnya, mereka merasa tidak semua daerah bisa dijangkau oleh sekolah negeri terdekat karena tidak cukupnya ruang kelas untuk menampung.

Orangtua murid bernama Eulis Winarni (48), misalnya. Warga asal Kelurahan Maleber, Kecamatan Andir, Kota Bandung, mengatakan anaknya, Agnia (12), tidak lolos ketika mendaftar ke SMP 47. Sebab,  jarak dari rumah ke sekolah mencapai 2,4 kilometer.

"Dari pengumuman, siswa terjauh yang diterima hanya 1,8 kilometer, jadinya anak saya tidak lolos," ucap Eulis.

Eulis yang tinggal di perbatasan antara Kota Bandung dan Kota Cimahi mengatakan, tidak ada satu pun pendaftar ke SMP yang diterima. Hal ini mengingat di sekitar rumah tidak terdapat SMP Negeri.

"Jika ingin menerapkan sistem zonasi, seharusnya pemerintah membangun sekolah di tiap kelurahan," tuturnya.

Eulis pun mendatangi Dinas Pendidikan untuk meminta kejelasan terkait nasib anaknya.

"Sekolah swasta juga banyak yang sudah menutup pendaftaran. Saya sempat akan mendaftarkan anak ke SMP Angkasa tapi sudah tutup. Kalau sudah seperti ini, harus bagaimana? Apa harus anak tidak usah sekolah?" kata Eulis.

Hal senada dikemukakan Siti Hasanah, orangtua dari Keisha. Menurutnya, PPDB dengan menggunakan sistem zonasi dinilai tidak adil.

"Dengan NEM 27 lebih, anak saya tidak bisa keterima di SMP 13 dan SMP 30. Padahal, jarak rumah ke sekolah 1,2 kilometer," ujarnya.

Nasib serupa dialami Elis Nurlia (42), warga Jalan Tamansari, RT 03 RW 14. Putrinya, Selly (12) didaftarkan ke SMP 7 dan SMP 44. Elis mendaftarkan putrinya secara kolektif di SD tempat ia belajar.

"Anaknya memang ingin ke SMP 7 karena ingin seperti saya yang juga alumni di sana. Dengan nilai 283,3, saya kemudian mendaftar ke sekolah dengan kolektif dan disarankan mendaftar lewat jalur prestasi. Tapi tidak lolos juga," katanya.

Padahal, kata Elis, jarak rumahnya ke SMP 7 hanya berjarak sekitar 1,2 kilometer. "Anak saya sekarang merasa kecewa karena di 'wkwkwk' (perundungan) sama temannya yang nilainya di bawah, tapi masuk sekolah negeri," ungkapnya.

Saat ini Elis mengaku pasrah. Sebab, jika menyekolahkan putrinya sekolah swasta, biaya yang dikeluarkan sangat besar. Ia mengaku tidak mampu menanggungnya.

"Kalau swasta sebetulnya banyak tapi yang dekat dengan daerah saya sudah tutup. Sekarang sedang dirayu ke pesantren, tapi setelah survei biayanya mahal Rp 10 juta - Rp 30 juta. Kalau sekolah swasta yang dekat rumah Rp 10 juta - Rp 15 juta," ucapnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Ide Ridwan Kamil Respons Drama PPDB

Mengadu ke Disdik Bandung, Emak-Emak Protes soal PPDB Sistem Zonasi
Orangtua murid mendatangi Kantor Disdik Kota Bandung. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Sementara itu, Panitia PPDB Kota Bandung, Edi Suparjoto mengatakan, berdasarkan hasil rekapitulasi tim panitia PPDB Kota Bandung, dari 27.828 kuota jenjang SD, terdapat sekitar 33.000 pendaftar. Untuk jenjang SMP terdapat sekitar 25.000 pendaftar dari 16.628 kuota untuk SMP Negeri.

"Sisanya yang tidak terakomodasi sedang dipetakan ke sekolah mana saja. Untuk jenjang SD, kami sedang mencari SD mana saja yang masih kosong kelurahan atau per gugus. Sementara untuk SMP, kami sudah membuat lima sekolah terintegrasi atau sekolah satu atap dengan SD yakni di Cicabe, Cimuncang, Cihaurgeulis, Kebon Gedang dan Ciburuy," kata Edi.

Namun demikian, Edi mengakui masih ada beberapa pihak terutama calon peserta didik jalur akademik kurang terfasilitasi karena tidak masuk zonasi.

"Kami sedang memikirkan bagaimana penyaluran calon peserta didik jalur akademik tersebut. Ada kerja sama dengan K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) untuk menyediakan tempat di sekolah swasta yang memungkinkan. Karena untuk swasta kan sebenarnya ada sekitar 40.000 kursi, masih surplus, yang RMP bisa mencoba opsi ke swasta," tuturnya.

"Kami sedang memikirkan cara untuk membantu menyalurkan para calon peserta didik yang belum diterima," sambung dia.

Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil menegaskan, pilihan sekolah negeri mana pun di Kota Bandung merupakan pilihan terbaik. Ia mengingatkan agar para orangtua siswa tak perlu khawatir akan kualitas sekolah anaknya.

"Kualitas pendidikan di Kota Bandung itu naik. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di bidang pendidikannya aja lebih dari 90. Artinya, bersekolah di mana saja di Kota Bandung kualitasnya saya jamin salah satu yang terbaik di Indonesia," ucap Ridwan.

Adapun kepada calon siswa yang belum bisa diterima di sekolah negeri, Ridwan berharap tidak berkecil hati. Sebab, kuota sekolah negeri memang terbatas. Hanya tersedia sekitar 16.628 kursi di jenjang SMP negeri untuk sekitar 27.828 calon peserta didik.

"Inilah PR (Pekerjaan Rumah) besar negara bahwa sekolah negeri memang terbatas. Semua berlomba-lomba ingin masuk sekolah negeri. Sementara jumlah terbatas. Untuk itu tugas kita memeratakan kualitas, sehingga tidak ada lagi istilah sekolah favorit," katanya.

Pria yang akrab disapa Emil ini menilai, masalah bisa muncul karena paradigma orangtua masih ada klasifikasi sekolah favorit dan tidak favorit. Pemkot Bandung terus berupaya menghilangkan paradigma tersebut.

"Padahal kita sudah me-rolling guru-guru terbaik se-Kota Bandung, me-rolling kepala sekolah yang teladan se-Kota Bandung, sehingga mau sekolah di mana saja kualitasnya harusnya sama," ujarnya.

Kendati demikian, ia berusaha memfasilitasi seluruh kepentingan masyarakat dengan prinsip yang berkeadilan. Pemkot Bandung melalui Disdik telah membuat kebijakan agar setiap siswa memperoleh perhatian dengan membuat berbagai jalur masuk, seperti jalur Rawan Melanjutkan Pendidikan bagi siswa kurang mampu, jalur prestasi, jalur akademik, dan jalur zonasi.

"Tentulah setiap orang punya harapan dan cita-cita, tapi kan dimensi pendidikan tidak semata mata kepintaran saja tapi rasa keadilan," ujarnya.

Ia pun mempersilakan kepada pihak-pihak yang merasa belum puas terhadap hasil PPDB untuk menyampaikan aspirasinya di saluran-saluran yang sudah disediakan. Setiap sekolah membuka meja pengaduan untuk calon orang tua siswa yang menemui kendala.

Bahkan, Emil tak keberatan jika ada pelaporan tindakan kecurangan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. "Dinamika selalu ada tapi Pemkot Bandung mencoba semaksimal mungkin bersikap adil," imbuhnya.

Karena itu, kalau ada kekurangpahaman atau kekurangpuasan, ada lembaga pengaduan. "Yang insyaallah akan memfasilitasi permasalahan itu secara aturan dan regulasi," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya