Tradisi Ujungan, Adu Pukul Rotan untuk Minta Hujan

Puncak rangkaian Festival Ujungan ditandai dengan ritual adu pukul menggunakan bilah rotan untuk meminta hujan.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 27 Sep 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2018, 15:00 WIB
3 penari dengan latar orang-orangan sawah di depan Panggung Festival Ujungan, Banjarnegara. (Liputan6.com/Dimas untuk Muhamad Ridlo)
3 penari dengan latar orang-orangan sawah di depan Panggung Festival Ujungan, Banjarnegara. (Liputan6.com/Dimas untuk Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banjarnegara - Kemarau panjang memicu kekeringan dan krisis air bersih di berbagai wilayah. Nadi kehidupan di daerah agraris pun, melemah atau bahkan lumpuh lantaran ketiadaan sumber air.

Sejak zaman dahulu, masyarakat menggelar berbagai tradisi sebagai ungkapan syukur, sekaligus ritual minta hujan kepada Tuhan. Air bagi manusia adalah sumber kehidupan.

Di berbagai wilayah, ritual meminta hujan biasanya pada musim Ketiga atau Ketelu, Kapat dan Kelima, sebutan untuk kalender mangsa atau pranata mangsa Jawa.

Ketiga adalah puncak kemarau. Kapat ditandai dengan mulai turunnya hujan dan berangsur stabil pada Mangsa Kelima. Dalam kalender nasional, mangsa ini tiba di bulan September-Oktober.

Seperti halnya di daerah lain, masyarakat Susukan, Banjarnegara pun punya tradisi unik untuk meminta hujan. Namanya, Ujungan. Sebuah rangkaian ritual minta hujan yang berpuncak pada ritual adu pukul menggunakan bilah rotan.

Tradisi Ujungan dikemas secara artistik dan kreatif sebagai wujud pelestarian budaya, sekaligus promosi pariwisata. Kegiatan ini dipusatkan di Desa Kemranggon Kecamatan Susukan.

Ketua Dewan Kesenian Susukan, Yusmanto menerangkan, tradisi Ujungan berkembang di wilayah Kademangan, dimana kehidupan masyarakat waktu itu bergantung pada aliran sungai Gumelem dari tetesan air gunung berbatu. Tradisi ini disinyalir merupakan warisan kejayaan Majapahit.

Tradisi yang lantas disebut sebagai festival ini adalah rangkaian ritual yang dimulai sejak Rabu 26 September 2018. Ritual dimulai dengan pengambilan air barokah di sumber pemandian air panas Pingit Gumelem Wetan oleh bedhogol atau sesepuh desa.

"Merti bumi, merti banyu. Jadi ini, sebuah penghormatan, penghargaan, terhadap bumi yang telah mengeluarkan air. Dan air sendiri adalah sumber kehidupan," ucapnya, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (27/9/2018).

Kemudian, masyarakat desa Kemranggon akan melaksanakan tradisi Takiran sebagai wujud rasa syukur warga. Masing-masing Kepala Keluarga (KK) akan membawa tenong berisikan takir yang akan digelar sepanjang jalan utama desa lalu dinikmati bersama wisatawan.

"Takir adalah menata pikiran. Masyarakat bersyukur dan bersahabat dengan ibu bumi," kata Yusmanto, menerangkan Festival Ujungan, sebuah ritual minta hujan.

 

Kemasan Kreatif dan Rekreatif di Festival Ujungan

Tradisi Takiran, dalam rangkaian Festival Ujungan, Banjarnegara. (Liputan6.com/Yusmanto untuk Muhamad Ridlo)
Tradisi Takiran, dalam rangkaian Festival Ujungan, Banjarnegara. (Liputan6.com/Yusmanto untuk Muhamad Ridlo)

Pada Kamis malam, akan digelar ritual Cowongan, yakni ritual tradisional minta hujan menggunakan gayung tradisional (siwur), serta orang-orangan dari rerumputan (suket) menyerupai Jaelangkung.

Ritual itu akan diikuti pertunjukan musik Tundhan Belis, yaitu musik tradisional menggunakan alat dapur. Musik ini biasa digunakan untuk mencari warga yang hilang akibat dibawa makhluk halus semisal Kelong atau Lampor alias Wewe Gombel atau sebangsanya.

Adapun puncak ritual Ujungan untuk minta hujan dengan cara adu pukul menggunakan bilah rotan digelar pada Jumat (28/9/2018) pukul 13.00 WIB. Ujungan diikuti oleh wakil dari semua desa di wilayah Kecamatan Susukan yang dipimpin oleh seorang Wlandang (wasit).

Yusmanto menerangkan, setelah tradisi ujungan, festival masih berlanjut pada rangkaian acara-acara lain bernuansa pariwisata. Yakni pertunjukan kesenian.

Seni modern hingga tradisional dipadukan dalam satu panggung. Di antaranya, ensambel musik Mexico dari Grup Nayeche pimpinan Leon Gilberto Medelin Lopez, penari lengger dari Jepang Jurry Suzuki, dan Sendratari Ujungan dan Barongsay pada malam harinya.

Keesokan harinya, Sabtu (29/9/2018) pukul 10.00 WIB, akan digelar ruwat bumi yang dipercaya sebagai media untuk menetralisir energi negatif dari alam. Acara itu berlanjut dengan pentas wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Pepeng dengan cerita Lahirnya Gatotkaca.

Pengunjung masih akan dimanjakan kegiatan menarik lainnya semisal atraksi Gropyok Iwak, sepeda santai dan lomba mancing yang ditutup dengan pesta kembang api pada malam harinya, Minggu (30/9/2018).

"Berbagai kegiatan antara lain pertunjukan sulap, festival kenthongan, lomba mewarnai, lomba melukis, lomba tari kreasi modeling, senam aerobik, Orkes Keroncong Camelia pemutaran film dan musik dangdut," dia menambahkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya