Jawa Tengah - Banyak cara digunakan anak remaja zaman sekarang untuk mendapatkan efek mabuk yang perlu diwaspadai para orangtua. Terlebih, mereka kini cukup lihai dengan menyamarkan nama-nama obat yang dipakai dengan macam-macam kode.
Indra Dwi Purnomo, seorang psikolog yang kerap bekerja sama dengan BNN Provinsi Jawa Tengah mengatakan, fenomena menyalahgunakan obat-obatan legal sebagai ganti atau alternatif mengonsumsi narkotika, terutama jenis sabu sudah terjadi sejak lama. Utamanya di Jateng.
"Ada temuan remaja pakai obat batuk sirup. Nah sekarang juga ada istilah ngodol atau Ngopi Tramadol," ujarnya saat dijumpai di Markas BNN Jateng, Semarang, Rabu (7/11/2018) seperti dikutip laman Jawapos.
Advertisement
Tramadol adalah obat yang digunakan untuk menahan rasa nyeri setelah operasi bedah dan hanya boleh dikonsumsi dengan resep dokter. Ada sugesti di kalangan oknum remaja jika meminumnya dengan segelas kopi bakal melipatgandakan efeknya. Sehingga menciptakan dampak seperti memakai sabu.
"Lalu di kalangan anak jalanan ada sebutan BI atau dari pil Buto Ijo. Itu adalah Rixlona atau obat antidepressan. Mereka minum 5 sampai 6 butir untuk menimbulkan efek berani. Sehingga di kalangan anak yang hidup di jalan terkenal sebagai modal sebelum melakukan pembegalan," sambung ahli yang konsen di bisang adiksi itu.
Selain itu, ada pula jenis obat hexymer. Pil berwarna kuning ini sebenarnya digunakan untuk mengurangi gejala gemetar pada seseorang yang mengidap penyakit parkinson. Serta diperuntukkan bagi seseorang yang mengalami efek samping obat-obat untuk masalah kejiwaan.Â
Akan tetapi, obat ini juga banyak disalahgunakan. Dikonsumsi untuk menimbulkan efek seperti memakai narkotika. Penyebutannya pun bisa berbeda tergantung di mana lingkungannya.
"Penyebutannya di jalan macam-macam. Mereka (penyalah guna) memakai sandi. Seperti hexymer itu biasa disebut kasaran. Geser lagi ke daerah perbatasan di Salatiga itu nyebutnya Gedangmas (Pisang Kuning). Karena warnanya yang kuning itu. Lalu ada 'alusan' yaitu zolam dan sejenisnya," terang pria yang juga menjadi dosen di Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) itu.
Kemudian dilihat dari bentuk kemasan, ada dua istilah lain. Yakni 'ceplik' dan 'cepuk'. Ceplik itu masih dalam kemasan karena waktu dibuka, suaranya ceplik. Kalau cepuk itu satu gepok dibagi ke plastik-plastik kecil isi 10 butir dijual Rp 20 ribuan. Kalau komix itu biasanya manggilnya 'sobek-sobek'," lanjutnya.
Segala yang diungkap Indra dibenarkan oleh Kabid Brantas BNN Jateng AKBP Suprinarto. Dalam hal ini, ia menyebut para penyalah guna mendapat barang-barang itu dari beberapa sumber.
"Yang pertama karena jaringan, artinya kenalan. Tahu temannya sedang misal tidak happy, dikenalkan temannya satu lagi dan ditawarin begitu. Yang kedua, ada memang apotek merah yang mau asal laku. Sudah kasus itu ada di Solo dan Kudus. Beli di online juga ada itu," jelasnya.
Oleh karenanya, ia mewanti-wanti agar orangtua atau kerabat supaya mewaspadai sandi-sandi ini manakala mereka mendengarnya. Lantaran memang kasus-kasus macam ini terdeteksi awalnya melalui pelaporan dari anggota keluarga.
"Sebenaranya temuan sudah hampir di semua wilayah ada. Tapi temuan paling banyak di daerah pinggiran kota besar. Contoh, di daerah Mranggen, Pucanggading kalau di sekitar Kota Semarang. Kalau di Banyumas ya Baturaden, Banjarnegara, dan sebagainya," tandasnya.
Baca juga berita Jawapos.com lainnya di sini.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini: