Konflik Agraria di Nagan Raya, Pemda Diminta Turun Tangan

Warga Desa Cot Mee, Kecamatan Tadu Raya, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, melakukan unjuk rasa di lahan sengketa.

oleh Rino Abonita diperbarui 21 Nov 2018, 10:33 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2018, 10:33 WIB
Unjuk rasa Warga Desa Cot Mee, Aceh
Warga Desa Cot Mee, Kecamatan Tadu Raya, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, melakukan unjuk rasa di lahan yang bersengketa dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Fajar Baizury & Brother's. (Liputan6.com/ Rino Abonita).

Liputan6.com, Aceh - Warga Desa Cot Mee, Kecamatan Tadu Raya, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, melakukan unjuk rasa di lahan yang bersengketa dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Fajar Baizury & Brother's.

Mereka menuding perusahaan telah menyerobot lahan adat yang menjadi milik desa seluas sekitar 300 hektare.

Konflik agraria antara desa dengan perusahaan disebut-sebut sudah berlangsung sejak Sertifikat Hak Guna Perusahaan (HGU) terbit pada 20 November 1991. Dan kembali mencuat pada 2013 lalu.

Sebagai catatan, HGU PT Fajar Baizuri & Brother’s seluas 9.311,0862 hektare terletak di Desa Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya dengan koordinat batas-batasnya terdapat di Desa Cot Rambong, Alue Bata, dan Padang Ceuko Kecamatan Kuala. 

Areal Hak Guna Usaha adalah berdasarkan HGU No 6 Tahun 1991 seluas 9.311,0862 hektare, terdiri dari 4.355,09 hektare yang terletak di Kecamatan Kuala, Kuala Pesisir dan Tadu Raya. Dan 4.956,00 hektare yang terletak di Kecamatan Tripa Makmur. Hal inilah yang dianggap sebagai dasar warga bahwa tanah adat warga tidak masuk dalam HGU perusahaan tersebut.

Seorang warga, Ibnu Hajar, berharap pemerintah setempat mau turun menangani masalah sengketa penguasaan lahan tersebut.

"Pemerintah harusnya jangan diam dengan masalah ini. Kita tetap akan memperjuangkan lahan ini," kata Ibnu kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.

Hal senada dituturkan oleh Kepala Desa Cot Mee, Abdul Manan. Dia mengatakan, selama masih belum dikembalikan, warga tetap melakukan upaya untuk mempertahankan tanah adat mereka.

"Kami akan terus berupaya mempertahankan hak kami yang dirampas oleh perusahaan," kata Manan.

Sebaliknya, Humas PT Fajar Baizury & Brother's, Ir Meijuni dengan tegas mengatakan, lahan yang dituding oleh warga sebagai tanah adat mereka masuk dalam HGU perusahaan.

"Tidak ada namanya penyerobotan. Itu sudah berada dalam HGU. Kalau itu diserobot, tunjukkan dasar hukumnya apa. Jangan mengada-ada. Bila perlu, kalau memang merasa PT Fajar Baizury & Brother's menyerobot, laporkan," tegas Meijuni.

Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh, Mustiqal Syahputra mengatakan, sengketa penguasaan lahan Cot Mee dengan PT Fajar Baizury & Brother's sudah masuk dalam list Kantor Staff Presdien (KSP) melalui Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA).

Selain Cot Mee, KSP berjanji menyelesaikan konflik lahan perkebunan yang terjadi di tiga Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Aceh.

Konflik lahan yang dilaporkan YLBHI-LBH Banda Aceh di antaranya konflik lahan wilayah kelola masyarakat empat desa di Kabupaten Aceh Tamiang dengan PT Rapala, yakni Gampong Paya Rahat, Teuku Tinggi, Tanjung Lipat I, dan Tanjung lipat II.

Kemudian, Desa Krung Simpo, Kabupaten Bireuen dengan PT Syaukat Sejahtera dan Desa Babah Root, Aceh Barat Daya dengan PT Dua Perkasa Lestari.

"Paling lambat (verifikasi) bulan November 2018. Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Kementerian ATR/BPN RI melalui KSP juga berjanji menyerahkan seluruh dokumen terkait izin dalam upaya penyelesaian," ungkap Mustiqal menambahkan.  

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya