Kabut Prahara di Tanah Para Aulia

Tengku Bantaqiah adalah seorang ulama yang dicurigai menyimpan ratusan pucuk senjata api di sekitar pesantrennya. Kendati tak terbukti, dia dan para santri tetap dirajang.

oleh Rino Abonita diperbarui 15 Okt 2018, 15:02 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2018, 15:02 WIB
Kabut Prahara di Tanah Para Aulia
Tugu Cut Nyak Dien. (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Suasana di desa itu tampak lengang. Tak terlihat seorang pun lalu lalang. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kecuali itu, derasnya air Sungai Krueng Beutong terdengar bergemuruh. Di selanya, terdengar riuh jangkrik membahana. Selebihnya, dingin menusuk tulang.

Dari kejauhan seorang pria mengenakan peci hitam berjalan berjinjit melangkahi genangan air sambil memegang ujung sarungnya. Rintik hujan yang urung berhenti membuat lelaki itu mempercepat langkahnya.

"Assalamualaikum," lelaki itu ikut nimbrung bersama kami. Ia mengambil tempat paling sudut. Semua yang berkumpul di ruangan ini terhitung tujuh orang. Termasuk di antaranya seorang perempuan yang dipanggil Bunda.

"Jadi seperti itulah. Apa pun yang terjadi, tempat ini tetap kami pertahankan. Kami menolak kehadiran tambang emas," tegas seorang pria berumur hampir setengah abad yang duduk bersila di tengah ruangan.

Sejurus kemudian, mata lelaki itu tampak memerah. Gurat gelisah begitu kentara dari raut wajahnya. Ada amarah yang sedang bergolak di dada pria tambun berkulit legam itu.

Lelaki itu adalah Malik Abdul Aziz. Ia adalah keturunan Tengku (Tgk) Bantaqiah, pimpinan Pesantren Babul Al Mukarramah. Sang tengku dibantai secara tidak manusiawi bersama puluhan santrinya pada 23 Juli 1999 silam. Anaknya bernama Malikul Usman turut menjadi korban dalam peristiwa itu.

Sebagai catatan, Tengku Bantaqiah merupakan seorang ulama yang dicurigai menyimpan ratusan pucuk senjata api di sekitar pesantrennya. Kendati tak terbukti, mereka tetap dirajang.

Setelah bercerita, Malikul Aziz terdiam. Rambut ikalnya tampak menyembul dari sela kupluk bergaris hitam abu-abu yang dikenakannya. Jarinya mengapit erat rokok daun nipah khas Aceh yang sejak tadi belum dinyalakannya. Matanya menyayu, menatapi langit-langit rumah. Menerawang jejak-jejak sejarah yang baru dikisahkannya.

Kali itu, Liputan6.com, berkesempatan datang dan menginap di kediaman Abu Kamil alias Malikul Aziz di Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Kamis (11/10/2018).

Rumah Malikul Aziz hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari makam sang ayah, Tengku Bantaqiah. Makam itu ada di sisi kiri belakang meunasah (surau) Pesantren Babul Al Mukarramah, yang terletak di sebelah rumah Malikul Aziz.

Makam Tengku Bantaqiah berada di dalam bangunan semipermanen beratapkan genteng metal. Saat ini, bangunan yang luasnya lebih kurang 25x20 meter itu sedang dipugar. Di dalam bangunan itu, dikubur pula puluhan santri yang turut tewas tak lama berselang setelah sang guru dilempari granat.

Pesantren Babul Al Mukarramah didirikan Tengku Bantaqiah pada 1982. Di pesantren ini, Tengku Bantaqiah mengampu ribuan murid yang berasal dari seluruh Aceh dan Nusantara. Para santrinya diajari bermujahadah, yakni suatu sifat dan sikap bersungguh-sungguh memerangi dan menundukkan hawa nafsu.

Selepas kejadian yang menimpa Tengku Bantaqiah, Babul Al-Mukarramah dinakhodai oleh Malikul Aziz. Belakangan, nama pesantren diubah menjadi Babul 'Ala Nurillah. Seluruh kegiatan di pesantren itu masih sama seperti yang diestafetkan sang ayah. Pesantren itu masih menampung ratusan santri.

 

 

Detik-Detik Penghabisan Para Santri

Kabut Prahara di Tanah Para Aulia
Bangunan pesantren yang menjadi saksi pembantaian Tgk. Bantaqiah dan para santrinya. (Liputan6.com/Rino Abonita)

Tepat di depan makam Tengku Bantaqiah, terdapat sebuah bangunan besar. Saat pembantaian itu, para ibu dan santri perempuan disuruh berkumpul di atas bangunan tersebut. Rangkang, atau tempat pengajian berlantai dua berkonstruksi kayu itu, terlihat masih kokoh sampai sekarang.

Dua buah tangga beton yang menjadi penghubung lantai dua bangunan itu terlihat lumutan. Sementara dinding yang ada di lantai bawah bangunan itu terlihat ada bekas plasteran semen.

Katanya untuk menghilangkan bekas peluru di dinding. Selebihnya, tentu saja untuk menutupi luka-luka yang tertanam jauh di lubuk hati para pemilik kenangan nan suram itu. Terutama keluarga dan santri Tengku Bantaqiah.

Di belakang bangunan itu, terdapat makam santri Tengku Bantaqiah yang jasadnya diambil di lokasi yang dikenal dengan sebutan Kilo 7.

Para santri yang jumlahnya puluhan itu dibunuh secara terpisah. Sebelumnya, mereka diangkut oleh tentara dengan menggunakan truk dari pesantren menuju arah Takengon dengan dalih ingin diobati. Namun, kemudian dihabisi.

Di depan meunasah atau berada di antara rumah Malikul Aziz dan surau terdapat beton berupa bak segiempat dengan ukuran kira-kira 2x1,5 meter. Di dalamnya ditumpuk batu koral berukuran asal. Di antara batu-batu itu ada yang dibalut kain putih.

Menurut kisah, di lokasi itulah Tengku Bantaqiah dan santrinya dikumpulkan, kemudian diberondong secara membabi buta oleh sepasukan tentara, yang saat itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Heronimus Guru dan Letnan Kolonel Sudjono. Beton itu sebagai tanda pengingat kejadian itu.

Di sisi kanan agak ke depan dari surau Babul 'Ala Nurillah terdapat rumah peninggalan Tengku Bantaqiah. Saat ini, rumah itu didiami oleh istri dan anak tertuanya bernama Fatimah.

Sementara itu, di dalam rumah Malikul Aziz, saat berbincang dengan Liputan6.com malam itu, duduk pula tiga orang keturunan Tengku Bantaqiah lainnya, yaitu, Malikul Yahya, Malik Sulaiman, dan Fatimah alias Bunda. Terdapat satu lagi anak Tengku Bantaqiah dari istri keduanya, bernama Malikul Mahdi, tetapi ia sedang berada di Banda Aceh.

Rumah Malikul Aziz dan pesantren Babul 'Ala Nurillah berhadapan langsung dengan sungai Krueng Beutong yang memisahkan Desa Blang Meurandeh dan Desa Blang Pu'uk. Menurut Malikul Aziz, sungai ini mengalir hingga ke Kecamatan Kaway XIV dan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat.

Sebagai catatan, Desa Blang Meurandeh berada di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya. Kecamatan ini berada di pedalaman Gunung Singgah Mata, diapit Gunung Abong-Abong dan Gunung Tangga, yang masih segugusan dengan Bukit Barisan.

Luas Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang sekitar 585,88 kilometer persegi, dengan jumlah empat desa, yakni, Blang Puuk, Blang Meurandeh, Kuta Teungoh, dan Babah Suak ditambah satu desa persiapan.

Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang cukup terisolasi. Jaraknya sekitar 74 kilometer dari pusat Kabupaten Nagan Raya. Untuk mencapainya, harus melewati tanjakan serta kelokan tajam di kawasan puncak Gunung Singgah Mata yang curam dan berkabut. Gunung ini berada di ketinggian sekitar 2.800 meter dari permukaan laut.

Berada di dataran tinggi, menjadikan wilayah yang berbatasan dengan Tanah Gayo ini, memiliki cuaca yang cukup ekstrem. Maka banyak di antara penduduknya, khususnya pria, mengenakan beanie atau kupluk, sejenis topi yang dipakai untuk menghangatkan kepala dalam cuaca dingin.

 

Tanah Para Wali dan Benteng Terakhir Cut Nyak Dien

Kabut Prahara di Tanah Para Aulia
Lokasi Tgk. Bantaqiah dan para santrinya dikumpulkan sebelum dibunuh. (Liputan6.com/Rino Abonita)

"Ini tanah seribu wali dan tempat para syuhada bermakam," Malikul Aziz kembali menegaskan ucapannya. "Di kawasan Gunung Alue Baro di belakang kita ini, ada banyak batu nisan tua bisa kita temukan di sana. Apa situs-situs itu mau dihancurin juga?" lanjut Malikul Aziz seraya menunjuk ke arah gunung yang dimaksudnya itu.

Menurut Malikul Aziz, wilayah yang mekar dari Kecamatan Beutong berdasarkan Qanun Kabupaten Nagan Raya Nomor 2 Tahun 2011 ini, dikelilingi oleh makam para pejuang Aceh masa kolonial. Makam-makam itu berada di dalam kawasan hutan dan tak terhitung jumlahnya.

Warga setempat sering menemukan batu nisan (batee jirat dalam bahasa Aceh) di kawasan Gunung Alue Baro. Beberapa di antaranya ditemukan pula makam para ulama serta abdi kerajaan. Karena itu, kawasan ini dikenal dengan sebutan 'tanoh aulia' atau tanahnya para waliyullah (wali Allah).

Konon, sering ditemukan batu nisan tua yang tiba-tiba ada di tempat itu. Nisan-nisan itu diyakini milik ulama atau 'aulia'. Warga percaya, kawasan hutan pegunungan yang mengapit pemukiman mereka ini merupakan teumpat aulia woe atau tempatnya para wali pulang.

Selain itu, wilayah bekas Kerajaan Beutong Ateuh Banggalang ini diyakini menjadi benteng terakhir Cut Nyak Dien saat berperang melawan Belanda. Istri Teuku Umar itu mendirikan last shelter-nya di bawah rerimbunan hutan Beutong Lhee Sagoe, atau Beutong Tiga Sagi.

Dikisahkan, pada 7 November 1905, Cut Nyak Dien ditangkap oleh tentara Belanda pimpinan Kapten Veltman atas bocoran salah seorang bawahan Cut Nyak Dien bernama Panglima Loat Ali.

Ia tak tega melihat kondisi Cut Nyak Dien yang kian renta dan sakit-sakitan. Kepada Belanda, Pang Laot Ali berjanji memberitahu keberadaan Cut Nyak Dien dengan syarat wanita itu harus dirawat dengan baik.

Mengetahui dirinya dikhianati, srikandi Aceh itu berang. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ia masih sempat menghunus rencongnya. Namun apa daya, kekuatan sang Ibu Perbu tak lagi mumpuni. Ia terpaksa menyerah.

"Pang Laot! Kau aib buat kami," hujat Cut Nyak Dien kepada bawahannya itu. Konon, rencong Cut Nyak Dien sempat mengenai Pang Laot Ali. Setelah beberapa saat, Cut Nyak Dien ditandu oleh para serdadu Belanda menuju Banda Aceh.

Dalam perjalanan turun dari kawasan Beutong Lhee Sagoe, serdadu Belanda yang membawa Cut Nyak Dien sempat berhenti sesaat di salah satu batu besar yang saat ini berada di Desa Blang Pu'uk, atau di seberang Desa Blang Meurandeh di mana Pesantren Babul A'la Nurillah berada.

Batu tersebut dikenal dengan sebutan 'Batee Peuniyoh' atau 'batu tempat istirahat'. Tak jauh dari batu tersebut, berdiri pohon asam jawa berusia ratusan tahun yang tingginya kira-kira 7 meter.

Penyebutan 'Batee Peuniyoh' merujuk pada riwayat bahwa Cut Nyak Dien pernah diistirahatkan sejenak di tempat itu. Di batu tersebut terdapat goresan berupa huruf yang tidak tersusun rapi. Hingga saat ini, tidak diketahui makna atau arti huruf-huruf tersebut.

Untuk mengabadikan kisah batee peuniyoh, belum lama ini pemerintah Kabupaten Nagan Raya mendirikan monumen berupa tugu sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan yang bermakam di Sumedang, Jawa Barat itu. Tugu tersebut hanya sekitar 30 meter dari letak batee peuniyoh.

 

Menyibak Kabut Prahara di Tanah Para Aulia

Kabut Prahara di Tanah Para Aulia
Batee Peuniyoh (batu tempat Cut Nyak Dien diistirahatkan). (Liputan6.com/Rino Abonita)

Kabut pegunungan Singgah Mata begitu tebal. Jarak pandang saat itu hanya sepuluhan meter. Sementara jalur yang dilalui berupa tanjakan berkelok. Jika tidak hati-hati, bisa saja tergelincir ke jurang nan curam yang ada di kanan dan kiri jalan.

Puluhan kilometer dari puncak Singgah Mata berada, terdapat sebuah permukiman penduduk yang ditutupi oleh kabut pergunungan. Permukiman yang merupakan kawasan lembah ini dikelilingi oleh gugusan Bukit Barisan.

Di tempat itu terdapat sebuah jembatan berkerangka baja. Di atas jembatan itu terbentang beberapa spanduk dengan ukuran yang berbeda-beda. Spanduk-spanduk itu dipasang oleh warga setempat beberapa minggu lalu yang berisi seruan penghentian aktivitas tambang sebuah perusahaan emas.

Sekitar seratusan meter dari jembatan itu terdapat dua buah ruko. Salah satu ruko itu digunakan sebagai posko perjuangan penolakan aktivitas tambang perusahaan itu.

Penolakan proyek tambang yang area konsesinya mencapai 10.000 hektare mencakup dua kabupaten, Nagan Raya dan Aceh Tengah ini, menggelinding sejak beberapa minggu terakhir. Banyak ormas dan LSM di Aceh mengarahkan pandangan matanya ke Beutong Ateuh Banggalang.

Eksploitasi sumber daya alam di kawasan itu ditakutkan akan mengakibatkan ekosistem hutan sekitar rusak. Hal ini akan menghilangkan fungsi hutan lindung di kawasan itu yang juga merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebagai paru-paru dunia.

Di sisi lain, kehadiran perusahaan diantara penduduk yang masih kental komunalismenya ini, ditakutkan berdampak hilangnya nilai-nilai dan norma serta adat masyarakat setempat. Selain itu, di kawasan itu banyak terdapat situs bersejarah yang masih belum tersentuh oleh tangan manusia.

Konon, makam Teuku Umar yang berada di Desa Mugou Rayeuk, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat hanyalah makam fiktif. Tujuannya untuk mengelabui pihak Belanda saat itu. 

 

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya