Insiden Sandal Jepit Pak Polisi di Kepala Petani Cilacap

Malam itu, empat petani yang merupakan anggota OTL Cilacap itu tidak tahan dengan tindakan polisi terhadap mereka.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 18 Okt 2018, 07:31 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2018, 07:31 WIB
Direktur LSM Setam, Petrus Sugeng memperlihatkan foto tanah yang disengketakan antara warga Wanareja dengan Perhutani. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).
Direktur LSM Setam, Petrus Sugeng memperlihatkan foto tanah yang disengketakan antara warga Wanareja dengan Perhutani. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Liputan6.com, Cilacap - Sebanyak empat petani anggota Organisasi Tani Lokal di Cilacap, Jawa Tengah diperiksa oleh kepolisian sektor Kawunganten. Mereka dilaporkan oleh Perhutani karena dianggap menipu warga dalam penyelesaian sengketa agraria berupa pengajuan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dengan mengutip iuran atau uang dalam jumlah tertentu.

Keempat petani tersebut yakni Triono, Kusmedi, Siswanto dan Ngimron. Direktur Serikat Tani Mandiri (Setam) Cilacap, Petrus Sugeng mengatakan awalnya, dua pengurus OTL Desa Sidadadi, Ngimron dan Siswanto dijemput polisi usai menghadiri Sarasehan Hari Tani Nasional, Sabtu malam, 13 Oktober 2018.

Oleh polisi, Siswanto dimintai keterangan soal asal usul kayu untuk gubuk yang didirikan di area sengketa. Keduanya juga dimintai keterangan soal iuran sejumlah uang dari petani untuk kegiatan dan pengajuan IPHPS sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa agraria.

Lantaran mengaku tidak tahu, polisi meminta Siswanto untuk menelepon Kusmedi Miran agar datang ke Mapolsek Kawunganten. Kusmedi dan Triono tiba pada pukul 23.00 WIB.

"Yang dianggap tahu itu Pak Kusmedi," kata Sugeng, Selasa malam, 16 Oktober 2018.

Kepada polisi, Kusmedi menjelaskan bahwa kayu untuk tiang gubuk diambil dari kayu-kayu yang berserakan di sekitar lahan garapan Kusmedi. Kemudian soal uang iuran, saat itu Kusmedi mengaku tidak membawa catatan sehingga harus mengingat-ingat.

Menurut Sugeng, saat itu lah, terjadi insiden, polisi memukul kepala Kusmedi dengan sandal jepit. Triono, yang duduk di sebelah Kusmedi pun kaget. Akibat pukulan itu, Kusmedi sempat pusing dan berkunang-kunang.

Usai dipukul, Kusmedi justru semakin bingung menjawab pertanyaan polisi. Sugeng menduga, Kusmedi semakin grogi.

"Pakai sandal tapi keras banget, sampai kunang-kunang. Nah itu yang menjadikan dia itu makin bingung dan linglung menghadapi pertanyaan polisi yang sok pinter itu dan sok tahu itu," kata Petrus Sugeng.

Malam itu, empat petani yang merupakan anggota OTL yang memperjuangkan reforma agraria itu tidak tahan dengan tindakan polisi. Namun, Kusmedi diwajibkan menjelaskan penggunaan dana iuran masyarakat.

Petani Pingsan Saat Diperiksa

Kusmedi dirawat di Puskesmas Kawunganten usai pingsan saat diperiksa polisi. (Foto: Liputan6.com/Setam/Muhamad Ridlo).
Kusmedi dirawat di Puskesmas Kawunganten usai pingsan saat diperiksa polisi. (Foto: Liputan6.com/Setam/Muhamad Ridlo).

Pada Senin, Kusmedi kembali ke Polsek Kawunganten. Namun, saat itu Kapolsek tak berada di tempat lantaran sedang ada acara di Cilacap.

Lantas, keesokan harinya, Selasa, 16 Oktober 2018, Kusmedi kembali diperiksa untuk menjelaskan penggunaan dana untuk penyelesaian sengketa agraria. Namun, tak berapa lama kemudian, Kusmedi pingsan.

"Setelah diperiksa, tidak lama kemudian, anaknya dipanggil oleh polisi bahwa Pak Kusmedi pingsan," Sugeng mengungkapkan.

Kusmedi langsung dilarikan ke Puskesmas Kawunganten dan sempat diinfus serta mendapat bantuan oksigen. Pada Selasa sore, Kusmedi sadar. Pada Selasa petang, Kusmedi sudah mau makan bubur.

"Sejak diperiksa pertama setelah itu Pak Kusmedi tidak mau makan. Katanya kenyang. Mungkin bingung, takut, malu," dia menjelaskan.

Sugeng mengaku sudah menjelaskan kepada polisi soal pengajuan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan sosial (IPHPS) sesuai dengan Permen LHK Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial.

Dalam proses pengajuan itu, tentu dibutuhkan dana. Dana itu lah yang ditarik dari iuran masyarakat calon penerima manfaat.

Menurut dia, polisi akhirnya memahami penjelasan itu. Akan tetapi, polisi masih melanjutkan pemeriksaan untuk mengetahui penggunaan dana oleh Kusmedi.

Meski begitu, ia menyayangkan ada insiden pemukulan petani. Menurut dia, mestinya polisi, sebagai aparatur negara, menggunakan cara-cara bijak dalam menghadapi persoalan.

Polisi Bantah Ada Kekerasan dalam Pemeriksaan

Seorang warga memperlihatkan patok peninggalan Belanda batas tanah Perhutani dengan tanah warga yang kini diklaim semuanya oleh Perhutani. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).
Seorang warga memperlihatkan patok peninggalan Belanda batas tanah Perhutani dengan tanah warga yang kini diklaim semuanya oleh Perhutani. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Kepala Polsek Kawunganten, AKP Budi Suryanto membantah terjadi kekerasan berupa pemukulan dalam pemeriksaan petani anggota Organisasi Tani Lokal (OTL) di Cilacap, Jawa Tengah. Menurut dia, saat memeriksa, polisi tetap dalam koridor praduga tak bersalah.

Saat ini pun, polisi baru meminta keterangan atau mengklarifikasi dugaan penipuan dan penggelapan. Dari empat polisi yang diperiksa, tak ada yang ditahan.

"Kita sekarang baru klarifikasi. Ya tanya saja lah, divisum juga boleh, luka apa tidak dan sebagainya. Intinya, kami tidak ada tindak kekerasan. Kalau opname itu, ya boleh tanya sendiri mulai diperiksa awal sampai akhir," kata Budi, membantah.

Namun, dia juga mengakui Kusmedi pingsan saat diperiksa, Selasa siang (16/10/2018). Ia tidak mengetahui penyebab pingsannya Kusmedi. Namun, dia menjamin saat itu tidak ada tindak kekerasan.

Dia pun meminta jika memang curiga ada kekerasan atau pemukulan, Kusmedi segera melakukan visum. Dengan begitu, diperoleh keterangan valid apakah benar terjadi kekerasan atau tidak.

"Ya tanya saja lah, divisum juga boleh, luka apa tidak dan sebagainya. Intinya, kami tidak ada tindak kekerasan. Kalau opname itu, ya boleh tanya sendiri mulai diperiksa awal sampai akhir," Budi menerangkan.

Dia mengemukakan, polisi juga tak mempermasalahkan perjuangan masyarakat untuk mendapat tanah garapan. Akan tetapi, diduga ada pengurus organisasi tani lokal yang melakukan penipuan dan penggelapan.

Ia menduga ada oknum yang meminta petani calon penerima manfaat menyerahkan dana sebesar Rp 150 ribu per kapling seluas 1 hektare. Uang senilai Rp 150 ribu itu disebut merupakan dana pengukuran tanah dana untuk pribadi dengan janji sertifikat.

Selain dana pengukuran tanah, petani calon penerima manfaat juga diminta menyerahkan uang dengan jumlah bervariasi antara Rp 2 juta hingga Rp 3 juta untuk mengurus sertifikat. Padahal, kata dia, tanah yang diukur tersebut merupakan kawasan hutan Perhutani.

"Kami mempermasalahkan tindak KUHAP 732 (penggelapan) dan 738 (penipuan). Kalau cukup bukti kita tindak lanjuti. Kita sekarang baru klarifikasi," dia menjelaskan.

Menurut dia, saat ini polisi belum menetapkan tersangka dalam dugaan penipuan dan penggelapan dana ini. Hingga Rabu ini, polisi masih mendalami kasus ini dan masih bersifat klarifikasi.

 

Simak video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya