Perjuangan Ibu Memanggul Anaknya yang Difabel untuk Menuntut Ilmu

Keterbatasan fisik menyebabkannya anaknya tak bisa leluasa beraktivitas. Hanya untuk naik ke kursi roda, Anisa perlu bantuan orang lain.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 28 Jan 2021, 23:09 WIB
Diterbitkan 21 Des 2018, 00:06 WIB
Teti Rohayati (42) warga Sadabumi, Cilacap, sabar antar jemput anaknya yang difabel bersekolah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Teti Rohayati (42) warga Sadabumi, Cilacap, sabar antar jemput anaknya yang difabel bersekolah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Seorang ibu duduk tepekur di sebuah kursi di luar aula. Tangannya, bolak-balik mengipas mengusir panas yang begitu menjerang siang itu.

Dia adalah Teti Rohayati, warga Dusun Rambutpala RT 1 RW 7 Desa Sadabumi Kecamatan Majenang. Hari itu, ia mendampingi anaknya yang difabel, Anisa Rizkiani Wulandari (19) mengikuti sesi kuliah umum yang diisi jurnalis.

Anaknya adalah mahasiswa baru di STMIK Komputama Majenang, Cilacap. Sebagai mahasiswa baru, Anisa banyak mengikuti sesi kuliah yang berbeda dari semasa SMA atau pendidikan sebelumnya.

Sebenarnya, Anisa bukan anak manja. Keinginannya justru amat kuat untuk mandiri.

Namun, keterbatasan fisik menyebabkannya tak bisa leluasa beraktivitas. Hanya untuk naik ke kursi roda saja, Anisa perlu bantuan orang lain.

Alasan ini lah yang membuat Teti, ibunya rutin mendampingi Anisa sejak menempuh pendidikan di SMP Negeri 4 Majenang. Bayangkan, Teti setia mendampingi Anisa sejak tujuh tahun lampau.

"Saya tidak ingin anak saya merepotkan orang lain. Biar saya saja," ucap ibu berusia 42 tahun ini, kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Ayah Anisa, Daswa (44) sebenarnya terhitung orang mampu di desanya. Ia sanggup dan mampu menyekolahkan Anisa di Sekolah Luar Biasa (SLB).

Saksikan video pilihan Berikut ini:

 

Tak Ada SLB di Wilayah Cilacap Barat

Ibu dan anak, Teti Rohayati dan Anisa, berpose untuk Liputan6.com di sela General Stadium di STMIK Komputama Majenang, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ibu dan anak, Teti Rohayati dan Anisa, berpose untuk Liputan6.com di sela General Stadium di STMIK Komputama Majenang, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Namun apa daya, SLB terdekat berjarak puluhan kilometer dari desanya, Sadabumi. Desa Sadabumi adalah desa pegunungan yang hanya untuk ke kota kecamatan saja berjarak sekitar 15 kilometer dengan jalan penuh tanjakan terjal.

Anisa mesti didampingi oleh anggota keluarganya. Paling mungkin adalah ibunya sendiri. Di sisi lain, sebagai ibu rumah tangga, Teti pun punya tanggung jawab lain, mengurus keluarga.

"Yang dipikirkan kan bagaimana harus kos. Ya sulit kalau sekolah jauh-jauh. Karena saya harus ikut," Teti menuturkan.

Makanya, Teti pun membulatkan tekad. Ibu ini tiap hari, baik hujan maupun terik, setia mengantar anaknya bersekolah dan akhirnya kini, berkuliah.

Pada hari berbeda, Teti langsung sigap ketika tutor di ujung mikrofon mengumumkan agar mahasiswa segera masuk ke aula kampus. Ia merengkuh Anisa dan menggendongnya ke dalam ruangan.

Lantas Teti mencarikan tempat duduk dan menempatkan Anisa di kursi paling depan. Ia ingin anaknya bisa mengikuti dengan baik masa orientasi dan pengenalan kompetensi (OPEK) di kampusnya, STMIK Komputama Majenang.

Pada sesi materi, Teti keluar dari aula. Namun, ia tak pergi jauh-jauh. Begitu dibutuhkan, ia pun secepat kilat mendekati putrinya.

Anaknya, Anisa, difabel lantaran kakinya tak normal. Teti mesti menggendong Anisa saat berpindah tempat. Tidak hanya itu saja, seringkali Teti mesti menunggu Anisa di sesi-sesi tertentu.

Bagi sebagian orang, pemandangan ini barangkali membuat terenyuh. Namun, jangan salah, lihat lah betapa semangatnya Anisa dan ibundanya. Mereka begitu kompak melalui hari-hari pertama berkuliah.

Anisa dan ibunya pun tak kalah cerah dibanding wajah-wajah semringah memenuhi ruangan aula kampus STIMIk pada Sabtu dan Minggu, 1-2 September 2018, lalu. Para mahasiswa mengikuti OPEK menjelang tahun ajaran baru kampus di ujung barat Cilacap, Jawa Tengah ini.

Aktivitas Anisa yang Difabel di Kampus

Seorang mahasiswa difabel, Anisa (depan paling kanan), ketika mengikuti sesi diskusi pleno dalam general stadium di STMIK Komputama. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Seorang mahasiswa difabel, Anisa (depan paling kanan), ketika mengikuti sesi diskusi pleno dalam general stadium di STMIK Komputama. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Kampus adalah bagian dari rencana masa depan mereka. Dengan pendidikan tinggi, mereka hendak meraih mimpi-mimpi.

Anak pertama pasangan Daswa (44) dan Teti ini memang tumbuh dengan kondisi difabel. Namun, keterbatasan fisik tak menjadi masalah baginya.

"Mau pindah digendong, geser juga harus digendong," ucap Teti. Tak tampak secuil pun nada malas atau menyesali nasib.

Rupanya, kebiasaan mengantar, menggendong, dan mendampingi anaknya ini sudah dilakukan sejak Anisa masuk SMP Negeri 4 Majenang. Tiap hari, Teti mesti mengendong anak pertamanya saat berangkat maupun pulang sekolah.

Padahal, tak mudah untuk mencapai sekolah dan kampusnya, sekarang. Desa Sadabumi adalah desa yang berada di pelosok Kecamatan Majenang dengan medan menanjak ekstrem. Jaraknya pun cukup jauh, kisaran 15 kilometer dari pusat kota.

Angkutan yang tersedia terbatas. Biasanya, mereka menumpang pikap. Tak hanya itu, selama Anisa belajar Teti pun menunggu di lingkungan sekolah.

"Dari SMP sudah biasa seperti ini. Antar jemput naik mobil bak dan digendong," dia menerangkan.

Beruntung, kondisi serba terbatas tak membuat Anisa berhenti bermimpi. Ia ingin menuntut ilmu setinggi langit.

Teti pun mengakui, semangat belajar anaknya memang luar biasa. Ini terlihat sejak Anisa berumur 5 tahun. Anisa memaksa agar masuk SD Negeri 02 Sadabumi. Pun saat lulus SMP dan meminta didaftarkan di MA Negeri Majenang.

"Selalu dia yang meminta. Semangat belajarnya memang tinggi," Teti menuturkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya