Liputan6.com, Yogyakarta - Sudah lebih dari seperempat abad, Wungkal menyukai aktivitas di alam, seperti mendaki gunung. Tidak terhitung, seberapa sering gunung di seluruh Jawa dia daki.
Ia menggemari pendakian karena bisa mendapatkan suasana yang berbeda, udara segar, dan pengalaman yang tidak pernah sama. Baginya, gunung seperti guru, mengajarkan banyak hal dan mempertemukannya dengan adat istiadat, kebiasaan, budaya, serta hal-hal yang tidak terpikirkan.
Soal hal-hal yang tidak terpikirkan akal manusia, laki-laki kelahiran Yogyakarta, 23 November ini punya beberapa pengalaman yang membuatnya percaya alam lain itu nyata.Â
Advertisement
Baca Juga
Wungkal lupa waktu persisnya, sekitar 1997 sampai 1998. Bersama dengan ketiga temannya, ia mendaki Gunung Sumbing dan Sindoro.
"Waktu itu ada teman dari Bandung yang minta diantar naik, rencananya kami ke Sumbing dulu setelah itu lanjut ke Sindoro," ujar laki-laki yang tergabung dalam anggota istimewa Mahasiswa Pecinta Alam Sanata Dharma (Mapasadha) Yogyakarta ini, Kamis, 17 Januari 2019.
Dalam perjalanan menuju puncak Sumbing, mereka memutuskan untuk bermalam di pos empat, Watu Kotak. Di sana mereka mendirikan tenda. Di kawasan itu juga mereka menemukan lembaran jas hujan yang tidak terpakai.
Wungkal dan teman-temannya pun memutuskan untuk mengambil lembaran jas hujan itu sebagai alas tidur. Semakin malam, mereka merasakan ada yang aneh dengan lembaran jas hujan itu.
Baunya anyir menyengat. Sekelebat, mereka berempat juga melihat sesosok orang berjalan. Padahal, tidak ada pendaki lain di tempat itu selain kelompok mereka.
"Waktu itu kami cuek saja, besok paginya naik ke puncak dan kembali turun," tutur Wungkal.
Setelah turun dan sampai ke permukiman penduduk barulah mereka mengetahui kabar dari penduduk setempat. Warga bercerita, dua minggu sebelum ia dan ketiga temannya bermalam di Watu Kotak, ada pendaki yang hilang.
Pendaki gunung itu akhirnya ditemukan dalam keadaan meninggal di Watu Kotak. Lembaran jas hujan yang mereka gunakan sebagai alas tidur ternyata sempat digunakan untuk membungkus jasad pendaki gunung yang meninggal.
Pasar Bubrah Merapi
Pengalaman itu bukan satu-satunya yang pernah dilewati oleh Wungkal. Sekitar awal 2000, dia pernah melihat langsung pengalaman mistis dua orang temannya di Pasar Bubrah sewaktu mendaki Merapi.
Kala itu, Wungkal bersama dengan empat temannya memutuskan untuk bermalam dan mendirikan tenda di Pasar Bubrah sebelum ke puncak Merapi.
"Ada dua orang teman yang kelelahan dan mendadak mereka blank, antara sadar dan tidak sadar," kata laki-laki yang pernah mengikuti sekolah navigasi darat dan kerap diundang sebagai pemateri hutan gunung ini.
Sekitar 15 menit, keduanya mengalami blank. Setelah sadar, barulah mereka bercerita tentang kejadian yang dialaminya.
Teman pertama merasa berada di tengah pasar sebuah permukiman. Ia melihat banyak orang lalu lalang dan sempat meminta air minum karena kehausan. Namun, tidak seorang pun yang menggubris dan hanya diam.
Teman kedua merasakan hal serupa. Ia berada di tengah pasar dan menyusuri keramaian orang yang beraktivitas di dalamnya. Mitos soal Pasar Bubrah banyak diamini oleh para pendaki. Sering disebut pasar jin, mistis, dan keangkerannya juga kerap dikaitkan dengan tokoh Mak Lampir yang tersohor lewat sandiwara radio.
Mbah Marijan, juru kunci Merapi terdahulu, juga pernah bercerita soal kerajaan gaib di Pasar Bubrah.
Pasar Bubrah merupakan kawasan terdekat dengan puncak sekaligus batas pendakian Gunung Merapi. Biasanya pendaki mendirikan tenda di tempat ini karena tanahnya datar, sekalipun berbatu dan kerap diterpa angin kencang.
Advertisement
Berjalan di Sebelah Banaspati
Wungkal juga pernah melihat secara langsung wujud banaspati di Gunung Arjuno, Jawa Timur. Makhluk gaib berbentuk bola api itu terbang di sebelah rombongannya ketika hendak turun dari Arjuno.
Saat itu, ia mendaki gunung bersama rombongan, sekitar 20 orang. Dalam perjalanan turun selepas magrib, Wungkal dan beberapa teman yang berada di depan melihat banaspati di sebelah mereka.
"Itu pertama kali, saya melihat banaspati, dan untungnya lewat di sebelah, bukan memotong jalan kami," ucapnya.
Menurut mitos yang berkembang, apabila banaspati melintas di depan atau memotong jalan, orang yang melihat bisa kehilangan kesadaran seketika.
Setelah melihat banaspati, mereka pun memutuskan untuk mengajak rombongan beristirahat, bermalam, dan mendirikan tenda di kawasan yang disebut hutan Lali Jiwo. Sesuai namanya, hutan itu ternyata cukup menyeramkan.
Beberapa temannya diperlihatkan beragam makhluk halus, salah satunya pocong.
Wungkal mengaku pada awal ia menyukai aktivitas naik gunung justru tidak pernah menemukan peristiwa gaib. Meskipun demikian, ia tidak merasa peristiwa itu membuatnya trauma naik gunung.
Ia meyakini peribahasa, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ia berusaha keras tidak melanggar adat istiadat dan kepercayaan setempat.
Wungkal menilai, kehidupan di dunia ini bukan hanya manusia yang tampak, ada dimensi lainnya.
"Mungkin yang belum pernah mengalami, berpikir ini mistis, memang tidak harus mutlak percaya, tetapi yang saya paparkan berdasarkan pengalaman," ujarnya yang juga kerap terlibat dalam berbagai operasi SAR ini.
Â
Simak video pilihan berikut ini: