Hikayat Dewa Judi Jadi Misteri di Gunung Kendeng Sragen

Gunung Kendeng disebut juga Gunung Morojoyo. Konon, nama itu diambil dari nama pria Sragen yang dikenal sebagai Dewa Judi.

diperbarui 18 Des 2018, 03:02 WIB
Diterbitkan 18 Des 2018, 03:02 WIB
kendeng
Matahari terbit diatas pegunungan Kendeng Utara. Sapuan kabut pagi memanjakan mata. (foto: Liputan6.com/dok.JM-PPK/edhie prayitno ige)

Sragen - Jajaran perbukitan terlihat dari Sragen kota saat melihat ke utara. Bukit-bukit tersebut berada di wilayah utara Bengawan Solo. Warga setempat menyebut bukit itu dengan sebutan gunung.

Salah satu bukit itu menjadi batas Desa Tanggan dan Desa Gesi di wilayah Kecamatan Gesi, tepatnya di Dukuh Jatisari RT 004/RW 001, Desa Tanggan, Gesi. Bukit tersebut dikenal dengan nama Gunung Kendeng.

Nama tersebut hampir sama dengan nama pegunungan yang membentang di bagian utara Jawa, yakni Pegunungan Kendeng.

Pegiat Kebudayaan Gesi, Jarwanto, saat dihubungi Solopos.com, beberapa waktu lalu, mengungkapkan nama Kendeng di wilayah Gesi itu diyakini sebagai asal mula nama Pegunungan Kendeng yang terhampar di bagian utara Jawa Tengah-Jawa Timur.

"Konon dari cerita turun-temurun, kata Kendeng berasal dari adanya kabut yang berada di puncak bukit. Orang Jawa menyebut kabut itu seperti asap yang kemendeng (tebal). Dari sebutan kemudian disebut kendeng," katanya.

Selain bernama Gunung Kendeng, gunung tersebut juga disebut Gunung Morojoyo. Jarwanto mengatakan nama Morojoyo berasal dari nama seorang tokoh yang dimakamkan di kaki gunung itu. Dia mengungkapkan Morojoyo dikenal dengan julukan Dewa Judi yang berasal dari Sragen.

Morojoyo dibunuh musuhnya di Gunung Kendeng itu setelah berjudi di daerah Gesi. "Nama asli Morojoyo masih misteri. Morojoyo jadi sebutannya karena selalu menang judi. Motif pembunuhannya diyakini karena dendam musuhnya yang kalah berjudi," katanya.

Di puncak bukit itu teradapat sebuah tugu berbentuk segi empat dengan masing-masing sisinya berukuran 60 cm dan tinggi 2 meter. Jarwanto mengatakan tugu itu dibangun pada zaman kolonial Belanda.

Dia mengungkapkan tugu itu menjadi tanda sekaligus sebagai pos pengintaian dan komunikasi pada zaman kolonial Belanda.

"Dulu di tugu itu tertulis 350 meter di atas permukaan laut. Artinya puncak bukit itu berada di ketinggian 350 meter dari permukaan air laut. Tapi sayang tulisan itu sudah hilang, mungkin dirusak tangan jahil. Dari puncak Gunung Kendeng itu bisa melihat hampir seluruh wilayah Sragen karena merupakan puncak dataran tertinggi di Bumi Sukowati," tuturnya.

Jarwanto melanjutkan dari puncak bukit itu konon sering digunakan untuk komunikasi sederhana, salah satunya dengan menggunakan cermin pemantul cahaya yang bisa dilihat dari pos pengintaian Belanda di lereng Gunung Lawu. Dia mengelus dada karena kondisi tugu Gunung Kendeng itu tidak terawat.

Dia melanjutkan di lereng sebelah selatan Gunung Kendeng pernah ada rumah tempat personel pasukan Belanda yang berjaga. Tak jauh dari tempat itu ada lembah yang disebut Nglencong dan di ujung lembahnya disebut Mbekungkung.

“Konon, lembah Mbekungkung itu menjadi tempat berburu raja di era Paku Buwono VIII. Nama mbekungkung berasal dari alat untuk menjebak macan atau harimau. Macan hasil tangkapan tidak dibunuh tetapi digunakan untuk melatih prajurit pilihan, yakni sebagai uji kelulusan dengan melawan harimau dengan tangan kosong," tuturnya.

Kabid Kesatuan dan Ketahanan Bangsa Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sragen, Agus Endarto, sempat menyurvei lokasi tugu tersebut. Dia menyebut tugu itu menjadi bukti jejak kolonial Belanda di Sragen.

"Ini puncak penuh harapan karena bisa memandang lepas Sragen dan sekitarnya," kesannya.

 

Baca berita menarik lainnya dari Solopos.com.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya